Halaman

Selasa, 31 Januari 2012

Kurma

Hari Pertama

Halo, Malvina. Aku tak menanyakan kabar, karena aku tahu kau dalam keadaan baik. Oh ya, aku membawakan satu buah kurma yang kuselipi dalam amplop surat ini. Semoga kurma itu masih dalam keadaan baik seperti saat aku mengirimkannya. Tolong, coba kurma itu ya. Aku tahu kau tak suka kurma, aku tahu kau hanya pernah mencobanya satu kali seumur hidup, aku tahu kau menganggapnya itu asam, tapi tolonglah. Cobalah kurma itu. Kurma itu sangat beda dari kurma-kurma yang sudah ada.

Ini surat pertamaku. Kau tak perlu tahu siapa aku, tetapi sadarilah. Karena, aku selalu menatapmu dari jendela. Tak perlu melihat jendela tetangga, yang jelas aku melihatmu. Dicoba, ya.


M.

Aku segera mencari kurma didalam amplop putih itu. Amplop yang sangat bening. Bersih. Tak ada warna yang mencemarinya. Tak ada perangko, jadi kusimpulkan Sang Pengirim bukan dari tempat yang jauh.

Setelah aku menemukannya -dengan terpaksa -aku menggigit kurma itu sebagai peristiwa kedua dalam hidup.


...Dan aku hanya bisa tersenyum puas. Lidahku mengatakan dia sangat menyesal. Sensasi kurma ini membuatku membeku tergoda.


Hari Kedua

Tahukah kau, Malvina? Aku sangat terbahak melihat aksimu kemarin. Kau sangat menikmati kurma itu, bukan? Konyolnya, kau terus mencari kurma yang lain dalam amplop yang jelas-jelas sudah kukatakan hanya ada sebuah kurma.

Kini, aku membawakanmu dua toples kurma. Jangan khawatir, kurma ini sama seperti kurma yang kemarin. Bahkan, rasanya bisa berlipat-lipat lebih lezat dibandingkan kemarin.

Sekali lagi, tak usah pedulikan siapa aku. Jelasnya, aku peduli padamu. Aku mengirimkan surat beserta kurma ini agar kamu dapat merasakannya lezatnya makanan para haji ini.

Selamat berpesta kurma,

M.

Jujur, aku melompat-lompat bahagia saat menerimanya. Dan aku belum pernah dikirimkan kurma sebanyak ini. Segera aku memakannya tanpa henti. Membiarkan kurma ini menari-nari di rimba air liurku. Pasrah akan kurma yang bersentuhan dengan berbagai enzim dimulutku. Jika sudah seperti ini, sepertinya hari ini aku akan bersendawa kurma.

Oh ya, untuk M, siapa bilang aku peduli dengan identitas dirimu? Siapa yang berkata bahwa aku terus mencari dirimu?

Maaf, ya. Aku sudah mengetahui siapa Sang Dalang dibalik surat-suratmu ini. Tunggu saja. Aku akan menemukanmu. Tanpa harus mencari.


Hari Ketiga


Lagi-lagi aku tertawa geli, Malvina. Harus kuakui, kau benar-benar hebat. Sekarang, aku mengetahui mengapa kamu suka mengomentari orang lain. Karena dirimu sudah tidak ada yang bisa dikomentari, direnungi, dikoreksi, oleh dirimu sendiri! Kau sangat mengenali dirimu sendiri!

Aku sangat salut saat aku mendengarnya dilubuk hatimu yang paling dalam, bahwa kau tidak perlu mencari diriku, karena kau sangat mengenalinya. Hatimu dan otakmu rindu akan 'firasat' yang saling mengubungkan keduanya -setidaknya untuk tiga hari. Kau benar-benar mengetahui firasatmu sudah terbang kesana, ya.

Dan yang sangat menakjubkan, kau tahu bahwa kurma-kurma lezat itu berasal dari surga. Dan kau juga mengetahui bahwa jiwamu yang mencuri kurma-kurma itu!

Mungkin ini surat terakhirku, karena tidak ada lagi yang perlu dikirim dan tak ada lagi yang perlu diungkap. Kita, raga, jiwa, hati otak, dan lainnya akan bersatu lagi. Di alam sana.

Oleh karena itu, kutancapkan tanaman kurma ini kemakammu saja, ya. Biar orang-orang heran mengapa ada pohon kurma dimakammu.


Salam hangat,


Malvina, jiwamu yang sudah lebih dulu keatas sana.

P.S. Aku sungguh meralat semua perkataanku kalau kamu hebat! Kudengar, orang-orang yang sedikit lagi meninggal mempunyai firasat bahwa dirinya akan meninggal! Pantas saja kau mengetahui segala tetek bengeknya!

Kamis, 26 Januari 2012

Air Mata di Hari Merah

Aku tak suka awan hitam. Aku tak suka mendung. Aku tak suka petir. Semuanya. Semua yang berhubungan dengan hujan, sangat aku benci. Termasuk, satu hari yang rutin datang setiap tahun.


...Imlek.


Dimsum

"Ibu sudah buatkan dimsum, sayang." ucap Mei itu sambil meletakkannya dimeja yang berukuran persegi panjang. Yang selalu diduduki oleh 4 manusia. Aku, Ayah, Mei dan setan kecil.

Wajah mereka tampak bahagia, tetapi aku tidak. Bibirku mengatup. Diam. Aku yang pegang kunciku ini. Segera mereka melahap makanannya, tetapi aku hanya mengaduknya, menghancurnya, membiarkan dia terkena angin.

"Oh iya, sebentar lagi Imlek. Nanti rumah ini kita hias, yuk!" seru Ayah dengan semangat. Matanya yang sipit terbuka sedikit, walau tetap terlihat sipit. Begitu juga yang lain. Kecuali, aku. Topik yang selalu dibahas setiap tahun.

Aku benci dimsum.



Angpau


"Sebentar lagi, Nenek akan datang. Sambut dengan baik, ya!" seru Mei dengan semangat. Ayah hanya mengangguk sambil membetulkan lampion yang bergoyang.

Sedangkan aku, masih membeku dipojok ruangan.

"Ayah, Nenek datang!" Feng berteriak sembari menunjuk mobil merah yang datang. Menunggu orang yang turun dari sana. Ya, Neneknya. Tapi bukan Nenekku. Sama sekali bukan.

Segera aku memasuki kamar, dan kembali menguncinya. Membanting tubuh ketempat tidurku, menyumbat telingaku dengan earphone. Aku menjadi orang tuli selama mereka datang.

"Feng, lihat Nenek bawa apa?" tanyanya menggoda. Walaupun sayup-sayup suara itu masih masuk ketelingaku. Aku menaikkan volume lagu yang sedang bersenandung. Membiarkan lagu ini menguasai telingaku ini.

"Angpaauu!" Feng melompat kegirangan. Kaki mungilnya menghentakkan lantai yang terbuat dari kayu. Teriakannya memantul kesegala arah. Bodohnya, aku tetap mendengarnya.

Aku mematikan lagu. Sejauh apapun, suara itu masih menyusupi indraku. Mematikan suasana. Aku hanya memeluk bantal. Menatap hujan. Dan mendengar perbincangan mereka. Tak ada angpau untukku. Bahkan mereka, tak menanyakanku sedang dimana.


Aku benci Angpau.


Pemakaman

Aku mengelus batu itu. Menghapus segala kotoran yang menempel dinamanya. Mencabut-cabuti tanaman-tanaman pengganggu disana.

Tak ada payung, tak ada penghalang kepalaku. Hujan terus membanjiriku. Rambutku. Kemeja hitamku. Semuanya. Termasuk, mataku, yang juga membanjir. Hujan itu tak sebanding dengan kebahagiaan mereka. Mereka yang sedang bersulang dan bertukar angpau.

"Ibu..."

Aku kembali menangis. Aku benar-benar tidak sanggup untuk hidup. Tetapi, jantungku masih terus berdenyut. Darahku masih mengalir. Namun, hati ini sudah mati, Bu.

"Damar kesini lagi, kan, Bu? Menengoki Ibu?" Aku berbincang dengan kesunyian. Tak ada jawaban. Yang ada hanya suara gertakan petir. "Pokoknya, setiap Imlek, Damar akan kesini. Menemani Ibu. Ya?"

Aku tak tahan lagi. Keluhan hidupku sudah beribu-ribu membendung. Membayangiku selama empat tahun terakhir, setelah kepergian Ibu. "Aku berbeda dengan mereka semua, Bu. Aku hitam, Mereka putih. Mataku terbuka lebar, mereka selalu memicing. Sedangkan Ayah, sibuk dengan mereka, keluarganya yang baru," Aku segera menyeka air mata. Walau air itu terus turun kembali. "Dan... Ayah rela keluar Islam karena mereka, Bu."

Aku menyadari bahwa hidupku sekarang hanyalah kekosongan. Aku sudah tidak punya siapa-siapa. Merayakan Idul Fitri dengan sepi, merayakan Imlek juga merasa sepi. Hari-hari itu hanya diisi bersama Ibu, sungguh. "Tapi tak apalah, aku lebih bahagia mirip dengan Ibu,"

Wajahnya menerawang diotakku. Ibu mirip sekali denganku. Aku bernapas lega. Aku bangga, Bu.

Aku segera merangkul nisannya dan memeluknya erat.


"Tunggu aku ya, Bu."

Selesai

Pencarian Terakhir

Pernahkah kau merasakan cinta yang rumit?

Pernahkah kau mencintai seseorang sepenuhnya?

Pernahkah kau memiliki cinta yang tidak kau harapkan?

Pernahkah cintamu berakhir sebelum cincin melingkar dijari manismu?

Pernahkah pasanganmu meninggalkanmu dengan begitu saja?

Meninggalkanmu selama-lamanya?

…Dan sadarkah pasanganmu yang sudah pergi masih mencintaimu?

***

Sebelum ia melangkah kebadan pesawat, ia melihat keadaan dibelakangnya. Hampa. Tak ada yang menunggu. Tak ada yang mengucapkan selamat tinggal padanya. Seolah mimpi yang datang padanya benar-benar tak salah. Keputusannya yang diambil juga tak salah. Tak meleset sedikit pun.

Dia segera masuk kedalam pesawat. Dia segera merebahkan kepala suntuknya setelah menemukan kursi miliknya untuk beberapa jam kedepan. Merilekskan darah-darah yang sempat tersumbat disuatu tempat. Terkadang sering membuatnya mengeluh kesemutan. Tapi memang benar, mengingat ini semua, dia seperti berada dalam perangkap seseorang.

Selang 2 menit, telepon gengganmnya berbunyi. Dengan gerak-gerik yang tak ikhlas, ia segera menerima panggilan tersebut. Tertera disana: Anjar, Pacarnya. Dulu.

“Halo, Tra? Tra, kamu kenapa mengakhiri hubungan kita yang sudah dibangun dengan baik, sih? Aku cinta kamu, Tra. Aku gak bisa menerima ini semua kalau tidak ada alasannya,” Anjar langsung mengoceh saat Astra mengklik tombol hijau. Tanpa jeda. Tanpa henti. Anjar langsung menumpahkan semuanya.

Sedangkan Astra, hanya bisa membuang napasnya berat. Air mata mulai menyeruak dari tempatnya. “Maaf, Jar. Tapi aku…”

“Apa?”

“Aku memang enggak bisa,”

Klik. Astra segera menutup teleponnya. Membayangkan bagaimana wajah Anjar dilain tempat. Pasti ia memberontak kecil. Sedangkan dirinya, juga masih bimbang dengan tujuannya. Belum jelas.

Astra menyandarkan tulang-tulang punggungnya kembali. Pasrah udara memasuki tubuhnya, membuat tulang dadanya menaik. Bahkan dalam hati kecilnya, dia tidak bisa berjanji akan menebus semuanya, cintanya, pekerjaannya, segalanya. Karena dirinya, belum yakin akan bisa kembali.

***

“Kamu yakin mau melakukan ini semua? Ini bahaya sekali, Tra,” kata Paman Ardi sambil meneguk kopi panasnya. Dia tak menyangka keponakannya benar-benar senekat ini.

Dengan napas yang sesak, Astra menjawab, “Yakin, Paman. Dia sudah datang sebelas kali kedalam mimpiku. Kalau sudah begitu, apalagi kalau bukan yang disebut wahyu,”

“Tapi, Tra. Mimpi itu bukan harus diikuti, mimpi itu belaka. Tak mungkin benar-benar ada,”

Astra meneguk kopinya untuk yang terakhir kali. Dia menyisakannya sedikit. Memang benar sih, dia belum sepenuhnya yakin. Tapi seseorang didalam mimpi itu seolah menariknya untuk datang. Untuk datang kepadanya.

“Em, begini saja. Aku menginap disini semalaman, besok aku akan mencarinya. Paman tak usah khawatir, ya?” Dia segera meninggalkan ruang tamu. Dan segera menuju kamar di rumah pamannya, di Pontianak. Besok, dia akan mencari seseorang yang namanya saja belum pernah terdengar ditelinganya : Wisnu.

***

Kakinya melangkah dengan yakin. Pasrah akan apa saja yang hinggap dikakinya. Ular, serangga, hewan beracun, semuanya. Kini, beberapa bola mata tertuju kepadanya dan seorang anak kecil disampingnya. Dari tadi, dia dituntun oleh seorang anak untuk menemui Wisnu. Awalnya, anak itu tidak mengerti apa yang dibicarakan Astra. Setelah Astra menyebut nama ‘Wisnu’ dia segera mengangguk-angguk pelan.

Astra memandang sekitar. Pohon tinggi dimana-mana. Rumput dimana-mana. Manusia-manusia yang telanjang, walau tak sepenuhnya. Mereka hanya menutupi kemaluannya dan menatap Astra dengan tatapan menyeramkan. Dia juga mengelus dada saat mengetahui keadaan sebenarnya. Dibenaknya, ia pikir ia akan dicabik-cabik sebagai manusia yang tidak dikenal. Tapi kenyataannya, sangat salah. Dan itu semua, benar-benar suasana yang sama seperti dimimpinya.

Tiba-tiba, anak kecil itu menunjuk kearah punggung seseorang. Tak memakai baju juga. Hanya memakai sebuah kain bermotif untuk menutupi kemaluannya. Astra memicingkan mata. Apakah ini yang namanya, Wisnu?

“Wisnu?”

Anak kecil meninggalkanku sendirian. Suasana menjadi sunyi. Tak ada suara. Yang terdengar hanya panggilanku tadi untuknya. Orang yang disebut ‘Wisnu’ itu berbalik badan. Dan ia melempar senyum padaku.

“Aku tahu kau akan datang, Astra,”

Astra menelan ludah. Matanya sedikit melotot. Air matanya mulai beraksi membasahi wajahnya yang penuh keringat. Keringatnya mendingin setelah menatap orang didepannya. Matanya, suaranya, bahasanya, benar-benar seperti orang yang dia sangat kenal.

“Astra? Kau ingat aku, kan?”

Air matanya terus membanjir. Dia tak menyangka bahwa ‘Wisnu’ adalah dia. Orang yang selama sebelas hari menghampiri mimpinya. Segera ia berlari kecil menuju badan orang itu, dan memeluknya erat-erat. Rasa kangen tak terbendung lagi. Dia benar-benar sempat merasa kehilangan amat dalam karenanya.

“Aku tahu, Aku selalu tahu,” Jerit Astra dalam tangis. Pelukannya tak mau lepas. Semakin erat. Wangi keringat orang yang ia peluk juga sangat familiar baginya. Dia tahu. Dia tahu. Wisnu adalah orang yang ia rindukan lima tahun lamanya. “kenapa? Kenapa waktu itu kau pergi? Kenapa kau meninggalkanku?” Ia merutuk-rutuk didada Wisnu.

Wisnu melepaskan pelukannya. Meletakkan tangannya dipundak Astra. Lalu mendaratkan tangan gagahnya dipipi Astra, menghapus air matanya, dan menuju ketelinga Astra. Disana, ia memunculkan sebuah benda dengan ajaib: Cincin.

“Aku pernah berjanji padamu. Aku akan menjadi orang yang pertama untuk melingkarkan cincin ini,” Wisnu segera melingkarkannya kejari manis Astra. “Aku ada kembali karena ini, aku bukan pendusta, Astra.”

Astra menatap cincin yang sekarang menghinggap dijari manisnya. Cincin yang terbuat dari kayu, berwarna merah dan hitam, bermotif seperti batik Toraja, kini melingkar ditempat yang ia impi-impikan.

“Kau masih menerimaku walau dalam wujud Wisnu, kan?”

Astra memandang Wisnu kembali. Dia sedang tidak memandang Wisnu sekarang. Dia sedang memandang Brahma, yang dulu sangat ia cintai. Brahma yang meninggalkannya selama lima tahun untuk bertemu Tuhan. Akhirnya, Astra menyadari bahwa Brahma bukan lagi Brahma, melainkan sosok Wisnu.

Dia segera menjinjit dan mendaratkan kecup sayang pada Wisnu. “Aku selalu menerimanya, Brahma!”


Selesai

Jumat, 20 Januari 2012

Perbincangan Semu

Banda Aceh, 26 Desember 2011.

Anak itu merogoh sakunya. Mencari pensil yang ia genggam terakhir kali, pensil yang sangat memiliki nilai sejarah amat penting baginya. Segera ia meletakkan diatas kertas putih yang dialasi sebuah papan berukuran kecil. Ia segera menorehkan kisah disana.

Anak itu sesekali memandangnya. Diiringi senandung desiran pasir, lantunan deburan ombak yang selalu menjadi simfoni paling indah sepanjang hidupnya. Ia menyapu pandangan sekitar pantai, tempat yang mencerminkan kepribadiannya.

Seketika ombak mulai menunjukkan getaran, seolah ia berbicara kepada anak itu. "Hei, Galang. Kau benar-benar melewati balas takdir," ucapnya dari arah yang tak menentu.

Anak itu mendongak ke laut yang membentang luas didepan. Ia hanya tersenyum kecil sembari menggerakkan pensil yang menghasilkan bayang-bayang laut.

Ombak semakin menari pelan, membentuk suatu putaran yang membuat anak itu tersenyum. "Oh, aku mengetahuinya. Maafkan aku jika kamu belum..."

"Aku hanya heran. Kenapa kau menghancurkan semuanya." Anak itu tidak mengalihkan pandangan dari kertas sketsanya. "Kau melunturkan cat air lukisanku. Dan jangan berbangga kalau semua zat kembali kepada air."

Suasana hening seketika. Yang terdengar hanya suara ombak yang sampai ke bibir pantai. "Maafkan aku, Galang. Hanya ada sedikit perselisihan dengan Neptunus -Aku tak ingin ini semua, tapi bagaimana lagi, dia sangat mendesakku. Dia amat murka, entah mengapa."

Anak itu menghela napas. Membiarkan jemari-jemarinya terus menari. "Kau tahu, bukan? Aku ingin membuka pameran lukisan-lukisanku suatu saat nanti?"

"Aku tahu. Aku selalu tahu. Sudah kubilang, aku sempat ragu untuk melakukan ini. Ditambah mimpimu yang kau rancang dengan begitu indah."

"Dusta."

Ombak mempertahankan keadaan. Ia menyadari bahwa ia juga sedang menjadi objek lukisan seseorang.

"Asal kau tahu, kau sangat magis." seru ombak.

Anak itu bergeming. Walau tangannya tetap tidak berhenti menari. Ia tertawa kecil. "Kau lebih magis, bodoh."

Walau rasanya aneh, tawa mereka semakin menjadi-jadi. Mereka seperti berjumpa dalam acara reuni. Rasa kangen memang tak terbendung lagi. Tak bertemu selama 7 tahun bukan waktu yang singkat.

"Harus kuakui. Aku memang terkapar mati ditanganmu," ujar anak kecil dengan senyum memandang lukisannya yang selesai. Ia tampak puas dengan hal yang ada didepannya. Lukisan yang akan ia simpan baik-baik diatas sana.

Amplitudo ombak semakin menurun. Ia merendahkan dirinya yang sebenarnya sangat buas. Siluet Sang Pelukis Kecil itu lama-lama juga memudar. Pelukis Kecil kembali kelangit , tempat tinggalnya. Sedangkan Ombak meneruskan kehidupannya. Mereka hanya berbincang untuk bernostalgia peristiwa 7 tahun yang lalu.

Selesai

Kamis, 19 Januari 2012

Gadis Korek Api

Kepada Gadis Korek Api,


Maaf jika surat ini mengganggumu, mengacaukan jam kerjamu dan lainnya. Aku hanya ingin mengatakan -kau benar-benar orang yang beruntung, Gadis.

Ditengah banyaknya orang yang ada didekatmu, mereka benar-benar merugi. Mereka terlarut dalam seduhan dunia yang memang nikmat. Mereka tidak tahu cara menyeduh dunia ini agar benar-benar manis. Mereka tak tahu. Tetapi, kau tahu itu.

Mungkin kau benar-benar menganggap ini tak penting, tapi cobalah. Aku selalu mendukungmu. Aku selalu memantaumu. Kau yang selalu berada di pinggir-pinggir kota, dibalut salju yang begitu dingin -sehingga kau menenggelamkan kepalamu dalam jubah merahmu. Memandang batang-batang korek api, dan...

Kau selalu menyisakan aku untuk hal itu, Gadis. Kau memancarkan api dari korek api yang selalu kau bawa, membayangkan kasih sayang keluargamu, aku tahu itu. Kau memang butuh mereka. Tapi tenang, Gadis. Aku selalu ada untukmu. Memantau kau dari kejauhan yang benar-benar kau tak sadari. Aku juga percaya bahwa kau tak akan larut dalam permainan dongeng ini. Aku tahu kau bisa merubah dongeng-dongeng yang sudah ada.

Dan masihkah kau tak menyadari bahwa ada orang yang sangat menyayangimu dari kejauhan?

Sadarilah, Gadis. Aku jatuh hati padamu, karena kau benar-benar orang yang menghargaiku. Kini, ikutilah pernyataanku. Ambil sebatang korek api, dan pancarkanlah cahaya dari sana.






...Karena aku, ada disana.


Pemantaumu,


Waktu.

Senin, 16 Januari 2012

Surat untuk Kak Dee

Untuk Blog Contest Mizan.com

Link

Kepada Dewi ‘Dee’ Lestari,


Assalamualaikum, Kak Dee.

Bagaimana Partikel-nya? (tidak sopan, bukan menanyakan kabar) :D

Sebelumnya, aku dan Kak Dee terpaut usia yang cukup jauh. Mungkin… kita berbeda 21 tahun untuk tahun Naga ini. Jadi, sebaiknya aku memanggil apa, ya? Tante? Ibu?. Tapi sepertinya ‘kak’ lebih tepat untuk membuat aku menjadi lebih nyaman menulisnya –mungkin Kak Dee juga merasa lebih nyaman juga. Mungkin.

Aku masih 14 tahun. Masih menduduki bangku SMP dan mengenyam aljabar. Tetapi, aku menyukai karya-karyamu. Semenjak 5 SD. Boleh aku ceritakan sedikit, ya?

Awalnya, aku hanya menyalakan televisi yang sedang menampilkan acara musik. Mungkin sekitar tahun 2009. Dan aku melihat orang menyenandungkan lagu ‘Malaikat Juga Tahu’ yang sedang populer. Waktu itu aku juga menikmatinya. Sungguh, aku mengenal Kak Dee pertama kali bukan sebagai penulis, melainkan penyanyi.

Sampai akhirnya, aku menemukan akun Twitter –Kak Dee di linikalaku. Saat aku meng-kliknya –tampil profile twitter Kak Dee, sekaligus tertera bio dan background. Background saat itu adalah cover Perahu Kertas. Aku juga melihat followers Kak Dee yang cukup banyak. Semenjak itu, aku mulai mengenal Kak Dee sebagai penulis.

Diawali dengan membeli buku Perahu Kertas, Kak Dee menyajikan cerita yang benar-benar menakjubkan. Alur ceritanya tak membosankan walaupun kisah cinta Keenan dengan beberapa perempuan, tetapi aku tetap menikmatinya. Aku pun menambahkan nama Kak Dee sebagai penulis favoritku. Aku juga sudah membeli novel Madre-mu, lho.

Dan ini juga yang harus Kak Dee ketahui.

Saat aku membaca Madre, aku melihat kata yang dituangkan Bapak Sitok Srengenge, yaitu Supernova. Jujur, aku belum mengenal Supernova milik Kak Dee yang sangat merajalela pada tahun aku masih baru mulai belajar membaca. Mungkin ini masalah zamanku yang berbeda dengan Kak Dee –dan kebetulan Ibuku tak suka membaca, saat kutanya tentang Supernova, dia hanya berkomentar : “Iya, Kak. Itu terkenal banget dulu.”

Tetapi, rasa penasaranku akan Supernova sedikit mereda.

Di rumah Nenek, tepatnya di rak-rak buku yang usang, aku menemukan buku Supernova: Petir. Itu buku sudah cukup lama. Buku itu terbitan Akur, Cetakan 1: Desember 2004. Segera aku mencari lagi, siapa tahu aku menemukan Akar dan Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh. Tapi hasilnya nihil. Aku hanya menemukan Petir. Dimulai dengan Kado Hari Jadi yang menceritakan Dhimas, Ruben, Gio, Diva yang sama sekali tidak kukenal siapa mereka –sehingga aku melanjutkan ke bagian petir yang seperti memulai kisah dari awal.

Sampai sekarang, bukumu yang aku miliki : Supernova Episode Petir, Perahu Kertas dan Madre. Mungkin belum lengkap semuanya, tetapi aku benar-benar ingin memiliki semuanya. Itu saja. Seandainya aku lebih tua –sekitar 5 tahun dari umurku sekarang, mungkin aku bisa memilikinya. Terlebih-lebih Supernova yang sangat menarik.

Kak Dee, mungkin ini saja dari suratku. Aku suka buku-buku Kak Dee. Kata-kata yang dirangkai sangat menarik, filosofi-filosofi yang sangat menggugah, alur yang sangat luar biasa, semuanya. Tetaplah menulis, ya. Dan satu lagi yang perlu diingat, Kak Dee menginspirasi pembaca, termasuk diriku.


Oh, iya. Sampaikan salamku pada Dhimas, Ruben, Gio, Diva, Ferre, Rana, Bodhi, Kell, dan katakan bahwa aku ingin bertemu mereka.


Salam Supernova,


Sofwan Rizky.


Nama: Mohamad Sofwan Rizky

Untuk: Mizan.com

Sabtu, 14 Januari 2012

Sang Pengembara

Kepada Sang Pengembara,

yang entah dimana berada.


Selamat pagi, pengembara.

Bagaimana kabarmu? Apakah baik? Atau buruk? Sungguh, jangan mengatakan kau kenapa-kenapa disana. Aku tak mau mendengarnya. Aku sudah cukup menunggumu dengan waktu yang lama, tolong jangan katakan kau sakit.

Pengembara, ada satu yang ingin kukatakan:


Bahwa aku masih setia menunggumu.


Aku yakin kau akan datang padaku. Dia juga masih menunggumu. Semua menunggumu. Walau kadang mereka mengeluh, bahwa menunggu hanya akan membuat lama. Tetapi aku tidak, aku tetap menantikannya. Aku juga bisa menerima ocehan-ocehan orang lain yang kadang menyentakkan hati.

Pengembara, bolehkah aku memiliki satu keinginan?

Cepatlah datang, Pengembara. Jangan berkelana terlalu lama. Datanglah kepada kami, aku sudah siap menampungmu. Aku hanya takut, mereka tidak setia lagi denganku, saat aku masih setia menunggumu.

Aku juga takut, kau sedang tersesat disana. Di dimensi lain yang sangat tidak kau mengerti. Katakan. Kau ada dimana? Di benua apa? Katakan padaku, Pengembara. Aku akan rela menjemputmu, walau sejauh apapun.

Aku sudah siap untuk memiliki uterus, plasenta, zona amniotik, untuk menampung dirimu, Pengembara. Dirimu yang kunantikan.

Sekian saja dari suratku, Pengembara. Semoga kau bisa mengertinya, walaupun kau belum pandai membaca.



“Cepatlah datang kepadaku, Pengembara!”


Salam rindu –teramat dalam,


Calon Ibumu.


P.S. Ini surat yang ke-2 saya dalam #30harimenulissuratcinta . :o

Kena!

Untuk Andira,

Kekasihku yang masih kusayangi.

Selamat pagi –oh, siang Andira. (Aku tahu kau selalu bangun siang, aku masih ingat kita dulu, Andira.) Maaf aku mungkin menjadi racun bagi matamu yang baru saja terbuka dari mimpi indahmu bersamanya.

Sekarang, bagaimana kabarmu? Jujur, aku belum mendengar kabarmu lagi sejak itu. Kau ingat? Sejak kau memintaku untuk datang ke restoran ternama pada hari jadi kita kesepuluh bulan? Waktu itu, aku sudah berdandan sangat rapih, Andira. Aku juga mencoba memperbaiki kepribadianku yang berantakan demi dirimu. Waktu itu kau juga memakai gaun yang sangat cantik, gaun dengan berlian cantik sebagai motif. Aku langsung takjub –menebak apa yang ingin kau bicarakan jika kau berdandan sangat luar biasa ini.

Tapi, yang terjadi sangat berkebalikan dengan realita malam itu, Andira.

Kau mengakhiri hubungan kita tanpa alasan. Belum sempat kau memesan makanan, kau sudah mengatakan kalau kita sudah tidak bisa bersama lagi. Hatiku tersentak, Andira. Aku masih belum siap untuk tidak lagi bersamamu. Tapi, kau hanya langsung meninggalkanku ditempat dan keluar dari restoran.

Mengapa, Andira? Mengapa?

Saat itu aku masih menyayangimu, Andira. Aku belum bisa menerima kenyataan ini. Aku masih menaruh rasa cinta yang dalam padamu. Ditambah lagi ternyata gaunmu malam itu kau pakai untuk menemui kekasih barumu. Kenapa kau seperti itu, Andira? Aku masih menyimpan jam tangan Swatch darimu –setiap hari kupakai, kurawat bahkan aku langsung ke toko jam bila rusak. Sekarang, apa kau masih menyimpan boneka beruang dariku, Andira?

Andira, aku mengirim surat ini bukan untuk memperdaya otakmu. Tak ada pelet atau apalah dalam surat ini. Aku hanya ingin mengatakan:



…Akubencipadamuperempuanyangmemutuskanlelakitanpaalasanyangjelas!*


Salam sayang,


Ares.


*Aku masih ingat bahwa kau mengidap fobia hippopotomonstrosesquippedaliophobia, fobia akan kata-kata panjang. Rasakan!


P.S. Surat cinta atau sadis ini, untuk mengikuti #30harimenulissuratcinta . Saya kumpulkan ini, Kak @adisimmanuel !