Aku balik terdiam. Aku benar-benar tak tahu bagaimana harus menepis semuanya. Kenangan burukku tentang gelap tampaknya sudah menjadinimbus yang tak pernah bisa kugapai, kusingkir atau kumusnahkan. Aku dan takdirku hanyalah dua kubu yang dilapisi sebuah tabir tipis, namun masih tetap bisa saling mengusik. Dekat, terpisah, namun saling terhubung. Itulah yang membuatku gila.
Masalahnya, sudah berkali-kali aku melihat Theo melukis dalam gelap. Tak ada kunang-kunang, tak ada cahaya bulan, tak ada secercah cahaya pun di ruangannya. Suasana gelap yang menaungi dirinya tak menyurutkannya untuk menorehkan berbagai warna dalam kanvas putih. Satu goresan, satu guratan … semua tercetak rapi di atas selembar kertas putih. Aku juga heran. Namun, di titik itulah ia menjejakkan kecemasan dalam jiwaku.
Ada saatnya aku takut Theo akan mengalami apa yang aku alami. Aku tak ingin sepinya membebati kesadarannya, mengikis keutuhan jiwanya, hingga habis dilahap makhluk lain. Aku tak ingin dia merasakan bagaimana menjadi ganda dalam tunggal. Bagaimana berdiri tegak dalam satu dan dibarengi dengan dua yang melingkar di pundak. Semua racauan anehku yang dulu sempat tercipta, kuharap tak pernah sekalipun melengkung dalam jejak warna lukisannya.
Aku hanya ingin dia tahu… bahwa aku sayang dia. Aku tak ingin dia dilanda siksa. Itu saja.
Aku tak ingin dia didatangi separuh jiwanya yang sempat memberontak, yang berani-beraninya keluar dari raganya. Aku tak ingin dimensinya direbut oleh makhluk yang tak pernah ia kenal, namun terasa sangat dekat dengannya. Sebab, itulah ranjau-ranjau hitam kehidupan. Dekat adalah ranjaumu, sedangkan jauh adalah Nirwanamu. Setidaknya, itulah yang pernah dikatakan Alakazam.
Asal kalian tahu, aku tak pernah bisa membantah Alakazam. Alakazam memang makhluk keras kepala. Aku juga tak mengerti. Dialah satu-satunya makhluk yang mendukung aksi  Theo untuk melukis dalam kegelapan. Hanya Alakazam-lah tempat di mana semua hal yang bersifat antagonis menjadi sinergis. Oleh sebab itu, dia-lah penghambat usahaku untuk mencegah Theo agar tidak sekali-kalinya membuka semua pintu jiwa yang ada.
“Kak lihat ini,” Theo menunjuk-nunjuk kanvasnya, “kanvas adalah rumah bagi setiap keputusan yang kuambil. Dan aku ingin… kegelapan mengambil keputusanku, menjadikannya noktah bintang dan remang bulan di langit hitam.”
Aku memejamkan mata, menarik bola mataku yang hampir tercelat keluar. Kalian bisa sebut rasa khawatirku kepadanya ini berlebihan, aku tak peduli. Aku hanya ingin dia hidup normal, bukan seperti ini.
“Dalam kegelapan yang sunyi, semua cahaya merongrong … aku dapat melihatnya. Aku dapat merasakannya.” Tutur Theo polos, tak menyadari apa-apa.
Rasanya aku ingin menangis. Berlutut di depan bocah kecil yang sangat kucinta ini.
“Bahkan, lukisanku akan lebih berwarna bila gelap yang menyinari …”
Bodoh. Cukup, Bodoh. Cukup.
“Dan asal Kakak tahu, objek lukisanku juga ada bila …”
“Theo, dengar,” sergahku tegas. Kutatap mata Theo lamat-lamat. “Tidak ada sesuatu yang berarti dalam gelap. Tidak ada hal yang kau cari di sana. Di sana, hanyalah ada sisa-sisa mimpi yang retak. Tak lebih! Sekarang, buang kanvasmu, lupakan objek lukismu.”
Aku mengusap wajah, pening. Di depan Theo yang masih menganga, aku berbalik arah, berjalan ke luar, atau bisa saja ke dalam. Alakazam telah menjungkirbalikkan dunia nyataku dan mengoyak sekat imaginasiku. Aku dibuat kalut oleh pusarannya yanga amat dahsyat.
Sungguh, aku benar-benar menyesal dia pernah tercipta di dunia ini.

***
Semua bermula dari batas imaginasiku yang kedodoran.
Kesepian yang memenuhi semua ruang dalam diriku, ternyata membuatku lupa siapa pemilik tubuh ini. Rasa rinduku yang semakin melesak, imaji-imaji wajah orang tuaku yang sudah tiada, adalah sebagian dari kenyataan pahit yang harus kucecapi satu-satu.
Dan saat itu aku tak pernah sadar, bahwa sepiku telah mengikis sebagian akalku.
Tetanggaku pernah bergurau, bahwa aku telah menandatangani kontrak batin dengan hitam dan gelap. Dalam gelap, otakku sering bekerja melampaui batas kesadaran. Sekat imajinasiku mendadak melonggar, membuat jejak spasi yang sangat lengang dan jauh untuk dijangkau. Entah berasal dari mana bakat ini muncul, namun setiap napas yang kuhela, terbersit sejumlah cerita yang membawaku pergi entah ke mana.
Awalnya, ibu-ibu di sekitar rumahku kagum dengan kemandirianku. Mereka selalu mengatakan kepada anaknya, bahwa anaknya harus mencontoh kebiasaanku yang bagus, yaitu berani tidur sendiri. Tetapi, seiring kebiasaan-kebiasaan anehku yang mulai menampak, mereka menarik ulur perkataannya. Mereka mulai mengecapku gila, yang selalu berteriak nyalang di tengah malam. Mereka menyuruh anak-anaknya untuk menjauhiku, bahkan jangan sekali-kalinya melewati halaman rumahku.
Hingga akhirnya aku merasa, bahwa aku memang menjadi anak yang aneh. Kejadian-kejadian janggal bertaburan, menyerbuku, membuat kepalaku pusing dan semrawut. Dimensiku mendadak goyah, hingga aku hilang kendali. Seperti saat aku melihat kardus mi instan di pojok ruangan, dan aku mendadak berimaginasi seolah-olah aku berada di dalam kardus tersebut. Dan konyolnya, dalam sekejap aku benar-benar ada di sana. Keanehan itu pun berlanjut sampai sekarang. Kini, mudah bagiku untuk merayap di dinding, berenang di selokan air, terbang ke atas langit, karena semua itu bisa terjadi dengan hanya membayangkannya saja. Tetapi, masalah besarnya adalah sulit bagiku untuk kembali menjejak dunia realitas. Aku kembali ke dunia nyata pun bisa dianggap rancu. Pernah sempat kupikir bahwa aku sudah kembali ke dunia nyata, tetapi ternyata aku masih dalam imaginasiku. Pernah sempat kupikir aku ada di dalam dunia imaginasiku, tapi kenyataannya aku berada dalam dunia penuh fakta. Semua itu, semua keanehan itu, membuatku tak bisa membedakan yang mana dunia nyata tempatku berasal, dan di mana dunia maya yang kureka.
Sampai suatu saat, tercetus sebuah ide absurd dalam otakku. Aku beranggapan, bila imaginasiku membawaku masuk ke dalam dunia lain, pasti aku bisa mewujudkan apa yang kuinginkan dengan hanya membayangkannya saja. Malam hari, di saat Theo sudah terlelap di kamarnya, aku menutup pintu, menarik jendela kamar, mematikan semua penerangan yang ada hingga dunia terasa buta. Aku duduk bersila, memejamkan mata, berharap semua kejanggalan ini terhempas, dengan ideku yang kuharap berhasil.
Dalam pejaman mata, kubayangkan sesosok makhluk yang dapat membuatku sadar, membuatku tahu yang mana dunia nyataku dan mana dunia khayalanku, sekaligus membuatku mudah untuk kembali ke dunia nyata. Kupasrahkan semua yang kupunya kepada hati dan otakku. Kubiarkan mereka mengarus, menjelajah, mengalir sebagaimana adanya. Kubayangkan sebuah wajah yang berhidung besar, berbibir tebal, kerdil, dan entah mengapa … membawa dua sendok di tangannya.
Kras! Kras! Kras!
Tiba-tiba, seolah khayalanku adalah mantra, muncul secercah cahaya di hadapanku. Cahaya itu menampakkan sebuah siluet mungil. Aku mengerjapkan mata. Dalam waktu yang seolah membeku, muncul sesosok makhluk yang terpampang di depan mata, berteriak padaku : “Alakazam!” seraya menepuk dua sendok di tangannya hingga tercipta dentingan nyaring.
Aku terpekik. Semenjak malam itu, hanya satu hal yang kutangkap tepat dari gerak-gerik Alakazam : jika dia menepukkan kedua sendoknya, itu berarti aku berada di dunia nyata. Namun, bayanganku tentang Alakazam kini melebar ke mana-mana. Alakazam memuarakan dampak yang buruk dalam hidupku. Semua batas demi batas perlahan memudar, menghanyutkan aku dalam segelintir pertanyaan. Berkali-kali aku terjengkal, diam tak mengelak. Terkadang, aku pun sempat-sempatnya berpikir, bahwa bisa saja dia yang nyata dan aku yang maya.
Ia membuatku tersiksa dalam gelap. Dan aku tak ingin hal itu terjadi pada Theo.

***
Gelap malam semakin mengental, sinar bulan makin meremang.
Aku memasuki kamar kecilku, dan kupikirkan kebiasaan Theo yang semakin aneh. Pemandangan yang baru saja kulihat semakin membulatkan firasat burukku terhadap Theo. Theo, yang kutahu senang melukis, tetapi tak pernah sekali-kalinya dia senang berlama-lama untuk bergumul di dalam gelap. Tak pernah sekali-kalinya ia berbicara ngawur seperti tadi. Tak pernah! Aku meremas rambut, berharap semua masalah ini selesai dengan sekali renggut. Theo kini satu-satunya harta yang kupunya. Hanya dia kasta tertinggi bagiku untuk meletakkan sejumlah harap. Hanya dia mimpi dari segala mimpi. Dan kini… haruskah aku pasrah bila kegelapan melibasnya?
Pikiranku bercabang lagi. Alakazam akhir-akhir ini belum juga datang dan tidak memainkan kedua sendoknya. Aku tidak bisa memastikan apa yang kupandang tentang Theo itu benar, bisa saja ini hanya sebagian dari imaginasiku yang bodoh. Namun, semakin Alakazam tak juga datang, aku semakin merangkum bahwa … Alakazam sibuk bermain dengan Theo, dan dia menjadikan Theo senang dengan gelap. Hingga Theo bisa menjelajah ke dimensi lain, membuat kami terjebak dalam kerangka yang berbeda…
“KAKAAAAK!”
Aku terkesiap. Suara itu membidik sarafku tepat. Itu suara Theo! Itu teriakan Theo!
Sontak, aku segera bangkit, membuka pintu kamarku sigap, hingga … kulihat semua ruangan di sekitarku hilang. Tak ada dinding pembatas, tak ada lantai keramik yang sebelumnya kuinjak, tak ada jalan tempatku untuk melaju. Semuanya hilang. Seolah digilas oleh terang. Cahaya berpendar dan berkeliaran di mana-mana. Tetapi, dalam cahaya yang mengepungku seperti ini, aku tak bisa melihat apa yang sebelumnya kulihat! Gelap!
Kucoba menggapai-gapai, meraba-raba kehampaan yang ada di sekitar. Kuterus meneriakkan nama Theo, memanggilnya, memintanya untuk menunggu sebentar. Sempat kupikir ini adalah sebagian dari khayalanku yang konyol, tetapi seingatku, aku tadi tak mengkhayal apa-apa.
Kuterus berjalan, meniti lurus yang tak berinti. Wajahku resah, meredam amarah yang tersulut memercik. Wajah Theo menggumpal dalam benakku. Dan dalam satu ruang yang sama, aku dapat merasakan wajahnya, lukisannya, suaranya, yang tiba-tiba tertiup masuk ke telingaku. Suara yang beriring dengan dentingan halus dua buah sendok. “Dalam kegelapan yang sunyi, semua cahaya merongrong … aku dapat melihatnya. Aku dapat merasakannya.”
Aku tertegun. Bulu tanganku merinding kompak. Cuma dalam gelap, cahaya bisa terpantik dan terlihat jelas. Itulah kalimat kuncinya.
Tungku jiwaku mendadak membara, dan aku semakin panas dibuatnya. Segera, kupejamkan mataku ragu-ragu, merajut gelap dalam kelopak mataku, hingga kucoba berjalan pelan-pelan, melangkah lebih cepat, berlari, menembus kabut hitam, menepis riuh sendok yang semakin menjadi-jadi, melepaskan memori anehku dengan Alakazam yang semakin menggeliat… menerjang gelap yang tak pernah seseram ini.
Seiring jauhnya kuberlari, langkahku semakin terasa ringan, mirip seperti melompat pada kapas yang terjejas, hingga melepas semua bias yang menghinggap, seolah-olah aku adalah jati yang sedang meranggas. Tubuhku serasa ringan, mungkin ini rasanya menjadi angan. Sulit digenggam tetapi selalu dinanti. Sulit diusir, namun tetap melekat erat-erat. Dalam detik yang kurengkuh hangat, aku bisa merasakan indahnya ditipu dengan takdir, tanpa harus banyak bicara… seperti khayal yang tak pernah tertolak.
Dalam ketenangan yang mendesirkan sunyi, kucoba untuk membuka mata. Kuamati sekelilingku baik-baik. Semua kembali seperti semula. Aku kembali berpijak, dinding-dinding tertata di tempatnya. Aku pun telah berdiri di depan pintu kamar Theo yang tertutup. Dan kini, dapat kudengar lebih jelas jentikan sendok yang apik, amat menggoda semesta indra yang kujaga…
Secepat mungkin kubuka pintu kamar Theo, tempat bunyi itu berasal. Dan semakin kagetlah aku setelah kupandangi seluruh sudut kamarnya. Di sana, tak dapat kutemukan Theo. Tak dapat kutemukan teriakannya yang meminta tolong. Yang aku dapatkan, hanyalah sebuah kanvas lukisnya yang tergeletak di sebuah kursi kecil. Aku menelan ludah. Ragu, aku beranjak mendekat, meraih kanvas lukisnya yang masih basah. Kugenggam kanvas itu, membuka lembar demi lembar.
Cukup dalam desauan angin yang mengecup satu sama lain mataku sukses dibuat membeliak. Kuteliti gambar yang ada di sana, kubolak-balik halaman yang sedang kutopang, semua lukisannya menggambarkan rekaman-rekaman pengalamanku yang aneh dengan Alakazam. Kutemukan diriku yang sedang di dalam kardus mi instan, kutemukan pertemuan pertamaku dengan Alakazam, kutemukan Theo yang berjabat tangan dengan Alakazam dan bahkan, kutemukan diriku saat perjalanan tadi, di mana aku berusaha mengusir cahaya dengan gelap yang tersimpan di telapak tangan, si penggenggam keputusan.
Napasku tercekat. Kebodohanku menetas. Aku mendadak miskin akan bahasa. Kubuka lembar terakhir yang ada di sana, hingga aku disambut dengan wajah Theo yang meringis dengan dua sendok yang berada di tangannya: “Tak keberatan bukan, bila selama ini aku melukis dirimu saat terlelap dalam gelap? Bukankah sudah seharusnya takdir menjahit mulut pemiliknya rapat-rapat, hingga beku seperti sebuah lukisan?” dengan cekikikan kecil, dia menggabungkan kedua sendok itu riang, hingga meruntuhkan gema dari singgasananya.
“Alakazam!”