Halaman

Sabtu, 25 Agustus 2012

The Cupib Team [ #2 Uphyl ]


The Cupib Team datang lagi! Kali ini, saya akan memperkenalkan tokoh baru: Uphyl, upil ajaib milik Xiao Mei. Saya menuliskan bagian kedua ini malam-malam, di tengah mata yang sudah meruyup suntuk. Jadi, maaf bila alurnya terlalu cepat atau tidak pas.

Selamat membaca!
 
***
Tubuh Xiao Mei masih terguncang getar, bibirnya sulit digerakkan. Kumpulan kata-kata takjub mengubun di hatinya, namun tertahan saat menyentuh kulit bibir.

“Kenapa Xiao Mei? Kenapa kamu diam saja?” Upil itu berkacak pinggang, berkata santai seolah tak pernah menjejak realitas.

Xiao Mei tergidik. Cukup saja pemandangan di depannya satu itu menghapuskan kewarasannya. Coba, deh, apakah ada sebuah upil yang memiliki tangan dan kaki, ditambah lagi, upil itu bergaya tengil sekali? “SIAPA KAMU, SIAPA?” Xiao Mei menyodorkan gagang sapu, yang sudah pasti bisa melenyapkan upil satu itu.

“Hei, hei, aku itu upilmu. Kamu mentorku, Xiao Mei. Aku sudah diutus untuk bersamamu. Mewaraskan dunia, lewat The Cupib Team!”

Xiao Mei mengernyitkan kening, tak mengerti apa yang diucapkan upil aneh bin ajaib itu. “Duh, saya nggak ngerti kamu ngomong apa. Pergi, pergi! Jadi upil, ya upil aja! Sini, masuk lagi.” Perintah Xiao Mei, mendekatkan hidungnya ke upil satu itu.

Refleks, upil itu pun mengelak, menghindar dari lubang hidung Xiao Mei. “Hih, aku bukan upil biasa, Xiao Mei. Aku mentormu. Kita adalah satu agen dan satu misi!”

Xiao Mei menganga lebar, mencoba memberikan waktu untuk upil itu berbicara. Gagang sapu itu mendadak lengser dari tangannya, hingga jatuh membentur lantai. Efek pemain sinetron handal.

“Nah, bagus bila kamu bisa diam,” upil itu mendeham, siap bertutur panjang. “Hem, hem, hem. Namaku Uphyl CJ9. Teman-teman memanggilku sih Uphyl. Di Planet Cubip, aku adalah upil berinteligensi paling mencuat dibandingkan yang lain. Jadi, nggak heran Bos Besar mengirimkan aku, untuk menjadi mentor kamu.”

“Ha? Apa sih? Nggak jelas.” Gerutu Xiao Mei.

“Dengarkan aku dulu!” gertak upil yang bernama Uphyl, tak sabar. “Planet Cubip sedang dalam keadaan bahaya. Quthu si Kutu Alay telah berhasil terjun ke bumi. Dia ingin mengacaukan segala tatanan dunia. Mulai dari ilmu, penghuninya, semuanya! Quthu datang membawa pasukan-pasukannya, dan gerombolannya tidak bisa dianggap remeh,” Uphyl menelan ludahnya (semoga ada) berat, “sehingga, Bos Besar telah mengutus lima kandidat manusia untuk mewaraskan semuanya. Sebelum terlambat. Dan salah satunya itu kamu, Xiao Mei. Kamulah anggota pertama The Cupib Team. Dan kamu harus menerima kalau aku adalah mentormu.”

Xiao Mei menggelengkan kepalanya berkali, menampar pipinya sendiri. Alhasil, bukan tersadar diri, tetapi ia sadar itu rasanya sakit. “Apakah aku mimpi? Lalu, ke mana empat kandidat itu berada?”

Uphyl mencoba berpikir, serius. “Hem, aku juga tidak tahu. Empat mentor yang lain juga masih mencarinya. Dan aku beruntung, aku bisa menemukanmu secepat ini.”

“Tapi sebenarnya aku tak berharap menemukanmu.” Ucap Xiao Mei lesu, tak bersemangat. “Lalu, apa yang harus kulakukan?”

“Yang kamu harus lakukan? Memberantas kejahatan Si Quthu jahat, Xiao Mei! Ingat, aku memiliki kekuatan super. Aku bisa membantumu kapan saja dan di mana saja. Jadi, kamu harus membawaku ke mana pun kamu pergi!”

Xiao Mei membuang napas panjang. “Aku harus membawamu ke sekolah? Aku harus meletakkanmu di mana? Di hidungku?”

Uphyl cepat-cepat menyergah, “nggak mau! Nggak lagi-lagi, deh! Biarkan aku menghirup udara bebas!”

Xiao Mei terduduk lemas di tempat tidurnya, membayangkan kehidupannya yang semakin absurd setelah kedatangan Uphyl dari Planet Cubip, Quthu si Kutu Alay dan Haven yang menjerit-jerit bila ia melihat semua keanehan itu terjadi. Dan seketika, Xiao Mei memejamkan mata, meminta tolong kepada ibunya entah di mana...

Mama, tolonglah anakmu ini...
***
Jam istirahat. Xiao Mei membuka bekalnya, menggigit setangkup roti yang sudah ia siapkan sebelumnya.

“Xiao Mei, siapa sih gerombolan cewek-cewek pecicilan tadi? Sok cantik sekali mereka. Rempong pula.” Keluh Uphyl, mendarat di pundak Xiao Mei tiba-tiba.

Xiao Mei pun terkesiap. Ia tak menyangka, bahwa upil ternyata gaul juga. “Namanya Haven Cs. Mereka memang sudah begitu. Tetapi untukku, aku sudah kebal dibebati obrolan mereka yang memuakkan.”

Uphyl memasang wajah iba, menepuk-nepuk pundak Xiao Mei. “Cup-cup, sabar ya...”

Seusai mereka berbincang, terdengar teriakan yang menggema keras di sepanjang koridor. Puluhan anak menghambur, berlari-lari sembari menjerit di koridor sekolah. Xiao Mei menoleh, menatap Uphyl bingung. “Phyl, ada apa, nih? Kok pada lari-lari begini? Apa aku harus berlari juga? Atau kembali melanjutkan memakan roti ini?”

Wajah Uphyl mendadak panik. Tiba-tiba, seolah ada radar, Uphyl berketap-ketip, memunculkan sinar warna-warni seperti lampu disko. Dia pun tak luput dari bunyi PIB! PIB! PIB! Yang amat keras. “Xiao Mei, keadaan kita dalam bahaya! Quthu si Kutu Alay sudah...”

Belum selesai kalimat itu terlontar, tiba-tiba kumpulan kutu-kutu datang, menerobos kaca koridor. Belum usai, datang kembali kutu-kutu yang lebih besar, terbang sambil berkacak pinggang.

“HALLOUCHH, DUNIAHH! QEMI MAO NIMBRUNG NIH, UNTUK MEMBASMI EIKE-EIKE SEMUA YANG ICH ICH ICH GANGGU, DECH!” Teriak kutu raksasa yang bernama  Quthu, sambil tertawa terbahak-bahak.

Xiao Mei meringis ngeri, langkahnya seketika memundur. Ia tak tahu harus membalas ucapan itu dengan bahasa apa. Karena, dia pun tak tahu, itu bahasa apa? “Uphyl, apa yang harus kita lakukan!”

“Kamu harus mengatakan sesuatu jurus kepadaku, Xiao Mei! Agar aku bisa melawannya!”

“JURUS? JURUS APA?”

“APA SAJA! CEPAT! SEBELUM VIRUS ITU MENYEBAR!”

Xiao Mei pun berpikir keras dalam keterbatasan waktu, mencari-cari nama jurus yang masuk akal. Hingga akhirnya, ia pun mencetuskan sesuatu. “UPHYL, MAJU!”

Uphyl pun melompat, menuju Quthu raksasa itu.

“GELEMBUNG UPIL KECIL-KECILAN!” teriak Xiao Mei keras, menaruh pandangan matanya di setiap gerakan Uphyl.

Sebelum Quthu si Raksasa ingin mengeluarkan jurus alaynya, gelembung-gelembung upil sudah menubruk tubuhnya. Uphyl berhasil membuat Quthu terhempas jauh, hampir melayang di udara.

“Bagus, Uphyl!” dukung Xiao Mei dari arah belakang, mengangkat jempolnya.

Saat mereka kira Quthu sudah kalah terhempas ke belakang dan kalah, ternyata Quthu malah berbalik menyerang, dengan kekuatan yang lebih kuat. Ia mengeluarkan serupa cairan hitam ke tubuh upil yang dinamakan Quthu jurus ‘Cairan Hitam Pekat Eksotis Menghipnotis’, hingga Uphyl terjengkal jauh, jatuh lemas di pangkuan Xiao Mei.

“UPHYYL! Ayo, Uphyl! Kamu harus bangkit lagi! Kamu bisa mengalahkan monster itu!”

Uphyl, dengan mata yang sudah suntuk, berkata lirih. “Maafkan aku, Xiao Mei. Itu terlalu sulit sekarang...”

“Kenapa? Kamu harus bangun!”

“Aku...” Uphyl berucap.

“Apa? Kenapa?” tanya Xiao Mei bertubi-tubi.

“Aku... pengen pipis.”

Dan seketika, bumi terasa mengendur. Amarah Xiao Mei mengubun tinggi. Segera, Xiao Mei meraih tangan Uphyl, mengajaknya berlari menuju toilet.

Mereka berlari-lari, menjauhi cairan hitam si Quthu Alay yang beranjak mendekat.

***
Sesampainya di depan toilet, Xiao Mei segera mendobrak pintu yang ada, tanpa memperdulikan itu toilet laki-laki atau toilet perempuan.

“Kamu mau pipis di mana? Di WC? Di wastafel? Atau di got-nya?” tanya Xiao Mei mendesak, menatap serius wajah Uphyl yang tampak kebelet.

“Ya, di toilet, lah! Memang biasanya di mana!” bantah Uphyl, tak terima.

“Duh, aku yang manusia aja suka di wastafel, kok!” sahut Xiao Mei santai, menggedor-gedor pintu WC yang terkunci. “Ya ampun, pakai ada yang di dalam segala. Nggak tahu keadaannya terjepit banget apa?”

“Hoooi! Yang di dalam cepetan! Kami sedang ingin memberantas Quthu Alay!” teriak Xiao Mei, mendesak.

Lengang sempat mampir berkuasa. Tak lama, terdengar tangis yang bergaung di dalam sana.

“Huhuhu... aku takut sama teman-teman, bila mereka tahu aku pup di celana. Aku takut aku nggak akan punya teman lagi... huhuhu...” isakan itu semakin terdengar keras, tangisnya pun meledak di mana-mana.

Xiao Mei menatap Uphyl bingung. Merasa antusias, Xiao Mei mendekatkan telinganya di pintu.

Dan seketika, ia mengenali siapa pemilik suara itu...

Siapakah manusia yang pupnya terlanjur ke luar itu?

Bersambung

Jumat, 17 Agustus 2012

Reuni

Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia Ke-67!

Khusus hari ini, saya menulis sebuah kisah kecil. Mendadak, sih, tetapi senang saja bisa menulis cerita untuk Indonesia. :D Walau terlalu panjang, semoga tetap bisa dinikmati.

Selamat membaca! ;D

***
17 Agustus 2012

Dalam satu ruangan yang lengang, mereka masing-masing beriak tenang. Ada satu yang termangu di depan jendela, ada yang mengetik, ada juga yang sedang mengusutkan kening saat melihat Koran hari itu. Dirgahayu Indonesia Ke- 67.

Kartini menyengir santai, walau hatinya terasa terbahak puas. Indonesia masih hidup? “Kawan, Indonesia hari ini berulang tahun!”

Jemari Cut Dien berhenti bergerak. Mungkin, ia tersentak. Bersikap kalem, membenamkan matanya yang terbelalak. Ia memutar punggung, bertatap mata dengan Kartini. “Indonesia berulang tahun?”

Pattimura yang sedang duduk termenung pun terlonjak. “Benarkah? Indonesia masih bertahan?”

Kartini mengangguk lemas, tanpa daya.

“Apakah wajahku masih tertoreh di uang sepuluh ribu?” tanya Cut Dien mendesak, seiring dengan nada bicaranya yang hampir tersedak. Bergetar, juga gentar.

“Sayang, belum ada Koran khusus untukmu, ya. Sehingga kau tidak perlu ketinggalan zaman begitu,” Kartini mendelik tajam ke arah Cut Dien, melipat tangan di dadanya. “Wajahmu sudah lama lenyap dari uang sepuluh ribu. Sekarang, uang Indonesia satu itu sudah berganti tokoh, sekaligus warna. Sultan Mahmud Badaruddin yang memantau di sana. Ingin mengadakan survei, katanya. Ia ingin mengecek, apakah ada kejujuran yang disekap jauh-jauh di depan hadapan uang sepuluh ribu?”

Cut Dien tertawa. Ia kembali meneruskan ritual mengetiknya. “Baguslah, kalau begitu. Sungguh, aku benar-benar tak nyaman bila wajahku ada di sana. Bukan begitu, Thomas?”

Pattimura melirik Cut Dien. Nama aslinya terselip dalam kalimat tersebut. “He? Ya, begitulah. Walau wajahku termasuk dalam uang seribu, tetapi tetap saja. Banyak juga kok, orang yang menyelewengkannya.”

“Duh, sudah hentikan. Aku nggak tega mendengar perbincangan kalian. Indonesia pasti sekarang sudah ambruk, sudah sekarat. Tetapi lihat saja, Indonesia sudah di ujung ambang, masih saja ada yang menyambitnya berkali-kali. Bisa jadi, pecutan itu lebih perih dibandingkan malaikat pencabut nyawa,” ujar Kartini, menundukkan wajahnya lesu.

“Aku juga merasakan hal yang sama. Indonesia dulu dengan Indonesia sekarang memang berbeda. Aku jadi sedih, mengingat bagaimana aku memperjuangkannya dulu.” Tutur Cut Dien hambar.

“Maksudnya, kau menyesal, begitu?” sergah Pattimura, dengan tekanan nada di setiap kata.

Cut Dien hanya menghela napas berat. Entah mengapa, saat ‘Indonesia’ berkelebat di benaknya, jemarinya mendadak kelu. Sulit untuk kembali mencium bibir mesin ketik. “Bukan begitu, Thomas. Aku hanya sedih, apakah ada manusia sekarang yang memperjuangkan Indonesia seperti kita dulu?”

“Zaman sudah berbeda. Kini, cuman segelintir orang yang menganggap Indonesia bukanlah hanya tempat berpijak. Tempat hidup. Mereka lebih memilih, memanfaatkan Indonesia untuk berbagai bisnis, merebut segala sumber daya yang tertanam. Dan itu benar-benar mengerikan. Mereka tidak tahu kalau Indonesia itu hidup. Indonesia itu ada. Ia melihat. Ia juga merasakan. Betapa sakitnya menahan cekikan warganya setiap hari. Bahkan, setiap menit.”

Keheningan pun perlahan membungkus mereka menjadi satu. Hanya kolaborasi napas sendu yang berbaur, menggeliat masing-masing. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Nama mereka sudah terlanjur dikenang. Senjata bambu mereka sudah tumbang. Mereka hanya bisa berdoa. Bagaimana peperangan saudara terjadi kini.

Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Mereka semua terkesiap. Pattimura, bergegas berdiri. Ia menyipitkan mata. Dan dalam sedetik, sebuah senyuman terbit di bibirnya. “Bung Karno! Bung Hatta!”

Tinggallah Cut Dien yang terjebak penasaran. “Benarkah? Itu mereka?”

Kartini tahu, ada yang tak beres. Ia menyipitkan kedua bola matanya, meneliti sosok yang hadir di belakang punggung kedua tokoh proklamator itu. “Tunggu, siapa itu?” jemarinya menunjuk sosok yang masih menjadi bayang hitam.

Bung Karno dan Bung Hatta, dengan wajah lesu dan lemas, melangkah masuk, dan mereka menjawab dengan lirih. “Dia... Indonesia.”

***
Pattimura membawa beberapa kursi, mempersilakan ketiga tamu itu untuk duduk. Saat ia mempersilakan Indonesia untuk duduk, entah mengapa hatinya serasa teriris pilu. Ngilu. Melihat bagaimana sosok Indonesia yang sudah tua, mau duduk saja begitu susah. Kulitnya yang sudah mengeriput, tampak lemah, tertindas oleh borok dan luka di mana-mana.

“T-terimakasih, Thomas.” Indonesia mendongakkan kepalanya, menunjukkan wajah reotnya, tetapi masih sanggup-sanggupnya ia memancarkan senyum kehangatan. Dan senyum itu membuat Pattimura bergidik. Pundaknya melemas. Ia tak kuat bila terus-terusan berdiri.

“Ehem, ya. Ternyata, kalian sudah berkumpul lebih dulu. Baguslah, kalau kalian masih berinisiatif. Merasa terpanggil, ya?” ujar Bung Karno, menyudutkan sedikit tawa, walau itu terasa begitu pahit. “Oh, ya. Kami membawa Indonesia ke sini. Dia sedang berulang tahun hari ini. Karena katanya, dia kangen. Dia rindu orang-orang seperti kalian.”

Kartini tersedak. Dia segera menutup matanya, menampung butir air matanya yang menandak rontok. Ia terisak sesak. Tubuhnya tergoncang goyah. Dia tak kuat. Dia tak sanggup. Setelah sekian lama ia tak bertemu dengan Indonesia, dan saat waktu mempertemukan mereka, ia mendadak... iba. Bagaimana ia melihat tubuh Indonesia yang semakin kurus, hanya kulit tipis seperti selembar tisu yang membekap tulang, luka-luka bersebaran di mana-mana, pundak yang bobrok, wajah yang seperti meleleh, semuanya. Kartini tak sanggup melanjutkannya lagi.

“...Ya, mungkin kalian kaget. Mungkin kalian sedih. Tetapi, begitulah keadaan Indonesia kini. Begitulah yang Indonesia bendung selama ini. Tubuhnya yang kecil, semakin ringkih menampung kejahatan-kejahatan yang tercipta. Kejahatan-kejahatan yang memuncak tinggi, sehingga tubuh mungil Indonesia pun sudah tak sanggup mencegahnya lagi,” jelas Bung Karno.

Pattimura mengambil napas panjang, menjadikan kumpulan oksigen itu seperti sebuah kompensasi yang mengiringi matanya. Matanya menangkap pemandangan yang begitu miris. Indonesia benar-benar tampak menderita. “Ehm, ya, Indonesia. Sudah lama, ya, kita tidak berjumpa lagi.”

Indonesia kembali tersenyum, menunjukkan matanya yang pecak sebelah. “Ya, sudah lama sekali, ya.”

Pattimura diam membisu. Bulu tangannya merinding kompak. Ia tak tahu harus melanjutkan apa lagi. Namun, ia tidak bisa menahan pertanyaannya terlalu lama. Sehingga, ia terlanjur menumpahkannya. “Indonesia, mengapa matamu pecak sebelah?” tanyanya gugup.

Sedangkan Indonesia hanya menengadahkan wajah, memegang matanya yang pecak itu. “Oh, ini.” Ia berkata singkat, senyumnya belum juga mengempis. “Ini karena banyak rakyat miskin yang menderita, Thomas. Banyak tangis yang bergulir dari mata-mata mereka. Sehingga, ya begini. Karena setiap mereka menangis, aku juga menangis, lebih parah malah. Setiap mereka terisak, bahkan aku tak sanggup bernapas. Setiap mereka bangun di pagi hari dengan mata yang bengkak... ya, mataku pasti sudah seperti ingin loncat keluar. Aku tak kuat melihat mereka seperti itu.”

Pattimura menautkan alisnya, Indonesia benar-benar tidak seharusnya mendapatkan siksaan begitu perih. “Bukannya rakyat-rakyat miskin yang sering membuat ulah, ya?”

Indonesia terkekeh kecil, “kehidupan sekarang sudah terjungkir balik, Thomas. Kaum-kaum proletar yang menuntut, yang memberontak di mana-mana itu tak separah mereka yang sedang merajalela di dunia atas. Mereka gemertak, karena yang kaya pun juga semakin merebut hak-hak mereka. Merampas standar kemampuan mereka.” Indonesia menelan ludah pahitnya, “kaum-kaum miskin limbung karena mereka kehilangan arah. Harga-harga bahan pokok hidup yang naik membuat mereka tersungkur. Mereka tak lagi bisa mengikut pasrah terhadap muara negara. Mereka kehilangan tujuan. Karena... ya, tujuan mereka hidup cuman bahagia. Mereka nggak muluk-muluk untuk memiliki mimpi. Masih bisa makan aja sudah bersyukur. Dan parahnya, kini hak makan mereka saja sudah terebut oleh tangan-tangan jahil kelas atas.”

“Bukankah kita kaya SDA, Indonesia?” Pattimura menuangkan keheranannya lagi. Kartini sudah roboh, menangis-nangis histeris di pelukan Cut Dien. Kesedihan telah menohok jantungnya, mungkin.

Indonesia tiba-tiba melihat tubuhnya yang cungkring, tipis, dan itu terlihat begitu miris. Namun, masih sempat-sempatnya saja ia untuk menyunggingkan cengiran kalem. “Inilah yang membuat badanku remuk, Thomas. Badanku tak sanggup menopang bagaimana manusia bergantung penuh terhadap uang. Ya, selembar kertas itu. Uang seolah menggantikan peran Tuhan. Kini, banyak mereka yang lebih takut miskin dibanding takut mati. Bukan hanya bagi kaum miskin, tetapi yang kaya pun sama. Uang berlimpah-limpah yang mereka dapat bukan membuat mereka bersyukur. Itu semakin membuat mereka tak puas.

“Jadilah, mereka merekrut orang-orang desa dengan janji-janji manis. Dan alhasil, mereka tergiur. Mereka lebih memilih ke kota yang menjanjikan dibandingkan di pedesaan. Lalu, ambruklah kita dalam urusan pertanian. Tahu, tempe, pun kena imbasnya. Bagaimana kedua objek itu, tahu dan tempe, hal yang seharusnya sudah bisa kita kuasai –melihat kesuburan alam kita, menambah tersuruknya negaraku. Tahu Sumedang saja mungkin sudah tidak asli Sumedang. Manusia-manusia lebih memilih ke tempat-tempat yang ‘uang’nya menjanjikan. Kelas atas pun mulai memperbudak mereka dalam sebuah proyek besar-besaran. Dan, proyek mereka pasti tak luput dari peranku, Thomas. Secara tak langsung, tambang, timah, kekayaan yang kupunya pun raib secara perlahan. He-he, kau bisa lihat lah bagaimana tubuhku bisa setipis ini.”

“Seolah-olah uang menggiring kita kembali kepada kapitalisme.”

“Memang sangkar yang paling tepat untuk uang hanya itu, kan? Dalam sangkar itulah kita bisa melihat, bagaimana yang kaya semakin kaya. Dan semakin terpuruklah negaraku dalam soal ekonomi. Apalagi, kini uang sudah bermutasi menjadi berbagai hal, mulai dari kartu ATM, saham, bunga, dan sebagainya. Padahal, uang pun bukan satu-satunya sasaran yang bisa kita salahkan. Uang hanya medium. Hasrat kitalah yang menghantarkan kita kepada hal-hal tak diinginkan. Sebut sajalah yang sedang eksis, korupsi. Duh, duh, duh, banyak sekali sekarang manusia yang merenggut hak-hak orang lain lewat uang. Ada yang korupsi lewat jalur pajak, bahkan Al-Quran pun juga menjadi salah satu satu korbannya. Jika sudah begitu, kesengsaraan akan menjalar ke mana-mana, sampai ke akar-akarnya–tak lain dan tak bukan, rakyat miskin.”

Saat rentetan kalimat diucapkan oleh Indonesia, Cut Dien segera menyerobot, “ada kalanya kita harus kembali ke zaman barter. Lewat barter, kita tak butuh mata. Kita hanya butuh rasa percaya. Kita tak perlu melihat-lihat bagaimana besarnya barang yang akan kita dapatkan atau betapa kecilnya barang yang akan kita rengkuh. Tetapi, bukankah itu begitu indah, di kala manusia saling membutuhkan?”

Indonesia tersenyum tipis, dan ia tertawa. “Dalam konteks uang pun sebenarnya kita bisa menemukan keindahan, Cut Dien. Tetapi, ya itu masalahnya, hasrat kitalah yang menjebloskan kita ke dalam lubang penuh maki.”

Cut Dien terdiam. Ia lebih memilih mengelus punggung Kartini yang masih menangis.

Bung Hatta pun akhirnya berceletuk, “dan saya bingung juga. Mengapa mereka terlalu senang bergumul dengan uang, bila di akhir kehidupan, sekali renggut, habislah sudah?”

Mendengar pernyataan itu, Indonesia kembali terpingkal pelan. “Gaya bicaramu seperti Mephistopheles saja.”

Bung Hatta mengernyitkan kening, kedua alisnya menyatu, “Apa itu? Jenis nyamuk?”

“Bukan, bukan. Hanya seorang tokoh dalam karya Goethe, Faust.”

“Tetapi, jika direnungi, pertanyaan yang dilontarkan Bung Hatta ada bagusnya juga bila dipikirkan. Sepertinya manusia berkomplot dengan kawanan uang untuk mendapatkan kepuasan diri. Bukankah bila kita kaya, kita akan bangga? Kita bisa membanggakan diri?”

“Thomas, jika mereka setelah kaya akan benar-benar mati, di mana tempat mereka membanggakan diri?” tandas Bung Karno tegas.

Percekcokan itu pun dijawab santai oleh Indonesia, “di akhirat nanti, mungkin.”

Cut Dien pun segera memotong, “Hih, kalau di surga nanti segala doa bisa dikabulkan, salah satu doaku adalah semoga waktu tak mengizinkan mereka menyombongkan kekayaan mereka.”

Kartini yang sejak tadi mematung pun akhirnya berceloteh. Ia menyeka air matanya, memeriksa tenggorokannya yang sejak tadi tercekat. Setelah itu, ia mulai bicara. Dengan nada goyah. “Aku hanya sedih melihatmu, Indonesia. Bagaimana sekarang umurmu sudah 67 tahun, tetapi kau tetap saja rela menahan pedih. Rela menjadi tempat pelampiasan kejahatan mereka. Kukira, setelah aku pergi, akan ada generasi di zaman maju yang akan membahagiakanmu. Membuatmu bangkit kembali. Tetapi kenyataannya? Orang-orang itu hanya memperburuk keadaan.”

Cut Dien pun mengangguk, “aku juga salut kepadamu, Indonesia. Perjuanganku untuk membelamu tak sia-sia. Walau kondisimu sekarang yang sedang hancur, namun kau tetap menjadi Indonesia yang kukenal. Kubanggakan.”

Pattimura pun ikut berujar, “manusia zaman sekarang tak seperti yang kuharapkan. Bahkan, bila Tuhan mengizinkanku untuk bangkit lagi, aku rela untuk memperbaiki keadaanmu, Indonesia. Aku benar-benar mencintaimu. Amat teramat sangat.”

Bung Karno dan Bung Hatta ikut manggut-manggut, Kartini turut menggerakkan kepalanya yang tersandar di pundak Cut Dien.

Mendengar pengakuan itu, Indonesia terenyuh. Ia memercikkan sedikit senyum rapuh, namun tetap menguatkan mereka semua. Ia meletakkan tangannya di dada, dan berkata lantang, walau akhirnya menjelma menjadi bisik-bisik halus, “aku benar-benar merindukan orang seperti kalian. Sangat rindu. Asal kalian tahu.”

SELESAI

Senin, 06 Agustus 2012

The Cupib Team ( #1 Xiao Mei)


Halo! Kembali lagi, kali ini dengan hal yang berbeda. Saya ingin memperkenalkan dengan serial baru dari blog ini, yaitu The Cupib Team. Cerita konyol penuh dengan absurditas namun mengisi kekosongan waktu, saya anggap bisa menuang indah dalam blog ini.

Karena mulai sekarang, saya ingin menulis The Cupib Team . Tokoh-tokohnya nanti juga akan bermunculan, karena pasti, The Cupib Team bukan berisi satu orang, namun banyak. Dan juga memiliki banyak kemampuan aneh.

Episode pertama, dimulai dari gadis cina, Xiao Mei. Selamat menikmati! :D


***
Pib. Pib. Pib.

Seiring dengan deringan alarmnya yang nyaring, Mei bangkit dari ranjangnya. Tak lupa ia mengangkat kedua tangannya, meregangkan tulang punggungnya. Ia ber-hoam-lebar, mempertunjukkan dua lubang hidungnya yang besarnya bukan main. Namun, Mei tak pernah ambil pusing. Dia juga tak malu-malu menyejajarkan dua lubang hidungnya dengan sebuah goa penuh kelelawar-kelelawar yang hinggap di stalaktitnya. Karena apa?

Pib.
Rutinitasnya yang aneh bukan main mengantarkannya untuk menyandang sebuah titel kewarasan. Setidaknya, menurutnya. Bukan menurut orang lain. Karena apa? (lagi), menurut seorang Xiao Mei, semua manusia di dunia ini itu gila. Hanya beberapa yang waras. Ya, contohnya dia.

Pib.
Sebuah bunyi yang selalu ia suka. Ya, upilnya yang jatuh. Mei tak pernah tahu apakah ada kotoran hidung yang jatuh dengan sendirinya dari sebuah hidung. Mei juga tak pernah memikirkan bila apakah ada upil yang berbunyi ‘pib’ bila menyentuh permukaan. Karena seumur hidupnya peristiwa itu terlihat langka, Mei mengkalsifikasikannya menjadi kemampuan khusus. Jarang-jarang, kan, ada upil yang bisa berbunyi lucu seperti sandal anak-anak yang cit-cit-cit bila berjalan.

Pib.

Tuh, kan. Upilnya nggak terbendung lagi. Dengan mudahnya upilnya berseliweran keluar dari tempatnya tanpa ada portal yang membendung. Mei menggeleng-gelengkan kepalanya ekstra cepat, dan ajaibnya, upil-upilnya juga keluar lancar seperti meriam. Mei menyeringai, dia membayangkan bagaimana jadinya bila upilnya benar-benar meriam. Meledak di mana-mana. Kalau itu terjadi, ia bisa menggunakannya untuk menakut-nakuti Haven yang sering menyebutnya ‘Cipil’ atau sebutlah ‘Cina Upil’.

Pib.

Mei bangkit dan menuju kamar mandi. Sampai sekarang, entah mengapa ia sama sekali tidak risih atau histeris karena upilnya yang ajaib itu. Malah, dia menunggu sesuatu dari sana. Apakah upilku bisa berbunyi ‘hickory, dickory, dock, the mouse ran up the clock’?

***

Kaki-kaki kecil Xiao Mei menyusuri koridor kelasnya. Derapan kakinya yang mungil seperti sedang menapak di empuknya bantal awan. Tak terdengar. Tas kecilnya yang menghinggap di pundaknya sangat imut bila disandingkan dengan rambutnya yang dikucir dua dan indahnya, bergoyang-goyang. Seperti sungut semut bila berjalan, berbunyi tuing-tuing.

Xiao Mei pun sampai di depan kelasnya. Dan dengan santainya, ia membuka gagang pintunya dan...

“OH TIDAAK! CIPIL DATAAANG!” Suara Bob Si Gendut langsung berkeliaran di mana-mana. Tersumpal puluhan roti yang masuk di mulutnya, tak menyurutkan teriakannya yang seperti speaker masjid.

Dengan tenangnya, Xiao Mei hanya menyipitkan matanya yang sudah sipit. Sigap, ia duduk di tempatnya.

Xiao Mei duduk paling belakang, paling pojok, sendirian pula. Berbeda dengan anak-anak yang lain, yang sudah dijatahkan untuk duduk berdua sebangku. Tetapi, apa boleh buat, Xiao Mei harus mengerti. Dia berjalan dalam radius lima meter dari teman-temannya yang norak itu saja sudah ngacir duluan.

Dan benar saja, gerombolannya Haven Cs datang menghampiri meja Xiao Mei. “Eww. Jadi orang kok nggak pernah sadar, ya.” Xiao Mei hanya terdiam. Matanya benar-benar muak melihat Haven yang sok memainkan rambutnya yang panjang.

Tak mau kalah, Xiao Mei membenarkan kucir duanya, agar terus bisa bergoyang-goyang.

Dengan sinisnya, Haven gemertak. Ia menghantam meja Xiao Mei. “EH! Jangan sok ikutin gue, ya. Rambut lo itu jauh abis sama gue. Dan, rambut lo itu nggak ada yang bisa dimainin. Namanya juga Cipil. Apa, Girls?”

Dengan kompak, Ellie, Annie, Eve menyahut dari belakang Angel. “CINA UPIL!”

Kali ini, Xiao Mei benar-benar marah. Berani-beraninya seorang Haven menghina-hina kucir dua miliknya. Tidak tahukah dia bahwa gaya kucir ini peninggalan ibu Xiao Mei? Tidak tahukah bahwa rambut Xiao Mei sangat bersejarah? Rambut yang sudah dioles dengan darah semut?

Cepat, Xiao Mei memasukkan jari telunjuknya di hidung. Mengobrak-abriknya, mencari kekuatannya yang entah menyelip di mana. Seperti biasa, pencarian itu terlihat mudah. Xiao Mei langsung menyodorkan upilnya kepada Haven, dan langsung disambut dengan jeritan Haven yang terlihat basi itu.

“EWWW! CIPIL! IH! IH!” Haven kabur, kembali ke tempatnya. Ia mendelik kepada Xiao Mei, mengerucutkan bibirnya sok imut. “Ih, lo bener-bener gila, ya. Upil kok dipamer-pamerin,”
Xiao Mei hanya terdiam. Ya, itulah senjata ampuhnya selama ini. Senjata untuk melumpuhkan teman-temannya yang busuknya sama semua. Satu buah upil, yang padahal hanya benda kecil tersumbat di hidung.

Diam-diam, ia memasukkan upilnya kembali ke hidungnya.

***

Di tengah malam yang menusuk dingin, Xiao Mei masih terjaga.

Ia hanya merebahkan tubuhnya di ranjang, memperhatikan upilnya baik-baik. Sungguh, deh. Sejorok-joroknya dia, dia masih sempat untuk berpikir terakhir kalinya. Upil kan jorok. Dan upil nggak ada yang berbunyi ‘Pib’. Maksud Mama itu apa, sih, menyuruhku untuk siap sedia dengan upil di hidungku?

Xiao Mei tahu, lubang hidungnya besar. Diameter hidungnya mungkin mencapai tiga senti. Tetapi, sampai sekarang, dia benar-benar belum tahu. Mengapa almarhum mamanya memerintahkannya untuk terus berupil?

Dengan mata yang sudah meruyup suntuk, Xiao Mei terus memerhatikan salah satu upilnya baik-baik. Bulat, jumbo (bila dibandingkan dengan upil manusia normal), hijau, teksturnya tak polos, bergerigi. Ia terus memperluas matanya untuk meneliti seluk beluk upilnya.

Selang dua detik, matanya tiba-tiba terbeliak. Matanya membundar lebar, mengerjap-ngerjap beberapa kali. Ia terlonjak dari tempat tidurnya, memperhatikan upilnya yang tiba-tiba bersinar terang. Sinarnya sangat menyilaukan mata.

Mulut Xiao Mei menganga, ia tak henti-hentinya untuk takjub. Tubuhnya hanya mematung karena sendi-sendinya yang memaku. Tak bisa digerakkan. Dalam relungnya, ia sedikit berdecak, u-upilku k-kenapa?

Dan selanjutnya, semua pertanyaannya terungkap sudah. Upil yang bersinar itu melayang, berpendar menerangi ruangan. Upil itu pun bergerak, menyembulkan mata, bibir, mengeluarkan tangan dan kaki. Xiao Mei semakin dibuat terpukau.

Sinar itu semakin menyala, Xiao Mei semakin terperanjat.

Upil itu pun merekah, bibirnya mulai bergerak.

Xiao Mei semakin tergidik. Tak siap menyaksikan fenomena selanjutnya.

Dalam keheningan malam yang membungkus ruangan, sinar itu melenyap. Upil itu terus merekah, memancarkan pesonanya.

Dalam dua detik, entah mengapa upil itu ternyata berbahasa. “Hai, Xiao Mei. Selamat datang di Cupib Team!”

Bersambung

Sabtu, 04 Agustus 2012

Agen Mars (2)


Kembali lagi! :D Merasa mempunyai hutang dan ditagih keras oleh waktu, saya akhirnya angkat tangan. Memungut satu kata demi kata, menyerahkannya pada tangan yang terus menengadah. Tangan apa? Tangan panjang berwarna putih polos. Kertas.

***
Ah, itu dia! Kardus-kardus bekas!
Matanya merona seketika. Menghunus sebuah benda di seberang jalan. Layaknya filem dengan sebuah kilat yang terus melewat. Kendaraan terlalu cepat sehingga membuyarkan semuanya.
Kakinya mulai melangkah tanpa ragu. Sekilas senyum mengiringi langkah kecilnya. Berbinar memanah kumpulan kardus-kardus tak bermajikan itu.
Sebuah mobil dari arah jauh melaju dengan cepat. Berlomba dengan cahaya, bunyi dan gerombolannya. Termasuk, langkah kecil Mimi.
Mimi, yang terlalu asyik dengan penemuannya tak peduli soal itu. Tak ada longokan, tak ada tengokan. Pasrah dengan apa yang akan menghantamnya. Bertaruh, kardus itu lebih penting dari nyawanya.
Mobil semakin dekat, tetapi tidak ada antisipasi. Mimi terus berlari kencang, sama seperti mobil tadi, yang akan menghadangnya.
Benar saja, selang dua detik, teriakan sudah membahana. Menggores luka yang pedih terhadap mata. Pemandangan pilu sudah bisa mengiris hati para manusia yang melihatnya.

***
Di Rumah Sakit, Budi benar-benar goyah. Dia benar-benar tidak terkendali. Keringat dingin sudah menetes hingga jatuh tak terhitung. Perasaan takut sudah bergetar kencang, membunyikan lonceng hatinya.
Mimi, Mimi, Mimi.
Nama yang terus terngiang di telinga Budi. Sejak tetangganya mengabarkan bahwa Mimi mengalami kecelakaan, hatinya tidak terus berhenti berceloteh. Buih-buih mata sudah siap di belakang panggung. Opera menyedihkan akan segera disibak, berlatar sebuah fiksi yang belum diungkap.
Kini, dia sudah berada di samping adiknya yang terbaring lemas. Matanya mengatup, senyum tak lagi muncul. Sejumlah harapan terus bermunculan di tengah tangis yang sangat menyesakkan hati.
Bangun Mimi, bangun.
Tak henti ia merapal kalimat sejenis itu. Berkali-kali, hingga kalimat itu seperti menjelma menjadi mantra, menjadi napas baru yang menembus tubuh adiknya, hingga Mimi menggerakkan tangannya dan matanya terbuka dengan sangat berat.
“Kak…”
Budi mendongak pelan. Wajahnya ingin sumringah, tetapi entah mengapa tidak bisa. Tangannya langsung menghampiri tangan Mimi. “Mimi…”
Dengan gerakan mulut yang berat, Mimi mengucap, “Kak, tolong jaga bumi, ya. Mimi nggak yakin, Mimi bisa mengabdi lebih lama,”
Budi menganga, menggeleng-geleng. Tangisnya mengucur dengan spontan. “Nggak, Mimi. Kamu itu kuat, kamu bisa menjalani semua ini, Mi,”
Mimi mencoba tersenyum simpul, menyebarkan keindahan. “Mimi ingin yakin, namun rasanya susah, Kak. Mimi hanya sadar, bahwa misi kita itu kekal, sedangkan Mimi tidak,”
“Mi, kamu itu pernah bilang, kamu ingin menjalani misi dengan giat, kamu pernah bilang kamu mau menjadi alien Mars yang baik. Kamu masih ingat, kan? Kamu masih mau seperti itu, kan? Kamu harus bangkit, Mi. Kakak nggak bisa berdiri sendirian,” Tangisnya semakin menyesakkan pita suara. Tercekat dalam segenggam kesedihan. Kesedihan yang sama seperti saat ingin kehilangan ayahnya. Ayahnya, yang merangkai semua cerita ini dengan indah, hingga dirinya dan adiknya percaya, bahwa semua itu benar adanya. Percaya bahwa dirinya adalah makhluk asing yang diturunkan di bumi dengan sejumlah misi, menyelamatkan bumi dari bahaya. Dirinya tahu, itu konyol. Itu fana. Tetapi, dia percaya. Sangat percaya.

...Budi, ayah ingin bilang sekali lagi, rawatlah bumi seperti kamu mencintai hidup. Kamu hanya cukup berpikir, zaman masih membentang luas. Generasi Mars masih menunggu di belakang. Kita, alien-alien kecil hanya cukup menjalani misi dengan sebaik-baiknya. Mars sangat sayang kepada Bumi, Budi. Ketauhilah.

Mimi tersenyum kecil, “Mimi bukan alien, Kak,”

...Nanti, jika ayah lebih dulu kembali ke Mars, meninggalkanmu dan adikmu sendirian, tak usah khawatir. Kamu tinggal menurunkan rahasia hidup ini kepada adikmu dan berkata: sayangilah bumi seperti Mars menyayangi Bumi. Bilang kepadanya, kita adalah alien ajaib, bukan manusia biasa. Jangan mengungkap cerita ini terlalu cepat, Budi. Karena adikmu pasti akan mengetahuinya lebih cepat. Jangan cemas.

“M...Mimi?”
“Mimi itu manusia biasa, Kak. Mimi sama seperti manusia lainnya, berpijak di tanah, lahir di bumi dengan menembus rahim masing-masing,” Mimi mengambil napas panjang, berusaha untuk kuat dalam mengutus kata-kata. “Tetapi tak ada yang salah, Kak. Cerita fiksi itu benar-benar membuat kita kuat, sekaligus berbeda,”

Saat dia beranjak dewasa, dia akan mengetahui segalanya. Dirinya akan menyadari, cerita ini akan membuat kita berbeda. Cerita belaka dari Ayah ini akan menguatkan jalinan kalian. Ini yang akan menopang hidup kalian, percayalah.

Budi menyeka air matanya, terharu melihat drama yang akan segera berakhir ini. Cerita yang akan berwujud dalam butiran debu hingga berbaur dengan luasnya udara. Tak memandang arah.
“Cerita ayah membuat Mimi lebih mensyukuri hidup, Kak. Cerita ayah yang membuat Mimi kuat di balik segala keterbatasan,”
“Tapi, Mi. Mimi jangan tinggalin Kakak lebih dulu. Kita harus menjalankan misi ini sampai selesai. Bumi masih butuh bantuan kita, Mi. Masih banyak orang-orang jahat di bumi ini,” Budi semakin terisak tangis. Dia benar-benar tidak siap menutup semua lembaran cerita ini.

...Sampai pada saatnya, kita memang harus menutup lembaran cerita ini semua. Karena jika kita sudah membuka, kita harus berani untuk menutup, Budi. Tak usah cemas, penutup tak selalu mengerikan. Alien-alien yang diutus Mars masih tetap ada di luar sana. Masih ada orang yang bersifat layaknya penghuni Mars. Tak usah khawatir, Budi.

Budi menangis dengan derasnya. Dia merasakan atmosfer yang sama saat memori-memori mengingatkannya kepada perbincangan empat mata dengan ayahnya, saat kematian sedang mendekat. Namun dirinya tak lagi-lagi siap. Menutup semuanya. Dia belum siap.
Mimi menggerakkan tangannya dengan berat, menatap mata Budi yang sudah penuh dengan air. “Kakak jangan nangis. Mimi yakin, Kakak masih bisa menjalani misi walau tanpa Mimi. Mimi yakin, kok, soalnya Kakak selalu ikhlas menjalani hidup. Walau hanya terus memungut sampah, tetapi Kakak ikhlas. Itu yang buat Mimi yakin,”
“Mimi...” lirih Budi dengan membalas tatapannya. Tatapan lurus dengan menegaskan kata-kata.
“Maafkan Mimi belum sempat memberi kenang-kenangan untuk Kakak, ya. Namun Mimi hanya ingin titipkan kepercayaan kepada Kakak. Mimi serahkan peran Mimi dalam misi ini untuk Kakak,”
Budi tidak bisa lagi berkata-kata. Terbata-bata pun tidak. Hanya tangis yang menjelaskan semuanya.
“Kak, sayangilah bumi seperti Mars menyayangi Bumi. Ubahlah bumi menjadi planet yang indah. Bahagiakanlah seluruh manusia di muka bumi. Karena Kakak, tak pernah sendiri. Mimi dan Ayah, akan memantau Kakak dari teropong di planet Mars,”
Tiba-tiba napas Mimi mulai sesak. Jantungnya bertalu tak beraturan. Tenggorokannya tercekat dengan keras. Sebuah ruh akan direnggut pada saat yang bersamaan. Meninggalkan raga yang sudah menjadi teman lama.
Mata Mimi mendelik, mengucap dengan tergagap-gagap, “...Kak, tolong jaga bumi, ya...”
Tatapan kosong Mimi berubah menjadi mata yang menutup. Kepalanya terbaring lemas dengan senyum yang mencerah. Wajahnya menampakkan senyum bahagia dalam sebuah perpisahan yang manis.
Budi teriak diiringi tangis yang semakin membanjir, menggenggam tangan Mimi dengan erat. Membelai rambut panjang adiknya yang sangat ia puja. Lagi-lagi dia harus kehilangan orang yang ia amat sayangi.
“Ya, Mimi. Kakak selalu ingat. Selalu,” Budi memeluk tubuh adiknya erat dengan air mata yang terus mengalir di tebing pipinya.
Dia pun mendekatkan bibirnya ke telinga Mimi, berharap adiknya masih bisa mendengar sebuah bisikan cinta terakhir darinya.
“Kakak janji, Mimi. Kakak janji. Kakak, akan menjadi agen Mars yang bisa membahagiakan bumi, manusia, dan kamu,”

Budi, waktu memang terus berperan. Perlahan, alien-alien akan kembali ke planet asalnya. Tapi tak usah khawatir, kau jalankan saja misimu dengan sebaik-baiknya. Karena kami, akan selalu menontonmu dalam teropong Mars yang amat jauh, namun dekat di hati.



...Selamat menjadi agen Mars, Budi.

SELESAI