Halaman

Jumat, 20 Januari 2012

Perbincangan Semu

Banda Aceh, 26 Desember 2011.

Anak itu merogoh sakunya. Mencari pensil yang ia genggam terakhir kali, pensil yang sangat memiliki nilai sejarah amat penting baginya. Segera ia meletakkan diatas kertas putih yang dialasi sebuah papan berukuran kecil. Ia segera menorehkan kisah disana.

Anak itu sesekali memandangnya. Diiringi senandung desiran pasir, lantunan deburan ombak yang selalu menjadi simfoni paling indah sepanjang hidupnya. Ia menyapu pandangan sekitar pantai, tempat yang mencerminkan kepribadiannya.

Seketika ombak mulai menunjukkan getaran, seolah ia berbicara kepada anak itu. "Hei, Galang. Kau benar-benar melewati balas takdir," ucapnya dari arah yang tak menentu.

Anak itu mendongak ke laut yang membentang luas didepan. Ia hanya tersenyum kecil sembari menggerakkan pensil yang menghasilkan bayang-bayang laut.

Ombak semakin menari pelan, membentuk suatu putaran yang membuat anak itu tersenyum. "Oh, aku mengetahuinya. Maafkan aku jika kamu belum..."

"Aku hanya heran. Kenapa kau menghancurkan semuanya." Anak itu tidak mengalihkan pandangan dari kertas sketsanya. "Kau melunturkan cat air lukisanku. Dan jangan berbangga kalau semua zat kembali kepada air."

Suasana hening seketika. Yang terdengar hanya suara ombak yang sampai ke bibir pantai. "Maafkan aku, Galang. Hanya ada sedikit perselisihan dengan Neptunus -Aku tak ingin ini semua, tapi bagaimana lagi, dia sangat mendesakku. Dia amat murka, entah mengapa."

Anak itu menghela napas. Membiarkan jemari-jemarinya terus menari. "Kau tahu, bukan? Aku ingin membuka pameran lukisan-lukisanku suatu saat nanti?"

"Aku tahu. Aku selalu tahu. Sudah kubilang, aku sempat ragu untuk melakukan ini. Ditambah mimpimu yang kau rancang dengan begitu indah."

"Dusta."

Ombak mempertahankan keadaan. Ia menyadari bahwa ia juga sedang menjadi objek lukisan seseorang.

"Asal kau tahu, kau sangat magis." seru ombak.

Anak itu bergeming. Walau tangannya tetap tidak berhenti menari. Ia tertawa kecil. "Kau lebih magis, bodoh."

Walau rasanya aneh, tawa mereka semakin menjadi-jadi. Mereka seperti berjumpa dalam acara reuni. Rasa kangen memang tak terbendung lagi. Tak bertemu selama 7 tahun bukan waktu yang singkat.

"Harus kuakui. Aku memang terkapar mati ditanganmu," ujar anak kecil dengan senyum memandang lukisannya yang selesai. Ia tampak puas dengan hal yang ada didepannya. Lukisan yang akan ia simpan baik-baik diatas sana.

Amplitudo ombak semakin menurun. Ia merendahkan dirinya yang sebenarnya sangat buas. Siluet Sang Pelukis Kecil itu lama-lama juga memudar. Pelukis Kecil kembali kelangit , tempat tinggalnya. Sedangkan Ombak meneruskan kehidupannya. Mereka hanya berbincang untuk bernostalgia peristiwa 7 tahun yang lalu.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar