Halaman

Jumat, 20 April 2012

Primata Berteriak

Salam Primata!
Kali ini, saya hanya ingin memperkenalkan blog saya yang lain. Blog ini saya buat lewat wordpress, karena ini pertama kalinya saya menjajah dunia sana. :'D

Langsung aja, kalian semua bisa kunjungi:


Awalnya, saya hanya tertarik dengan teori Darwin, tetapi tiba-tiba ide-ide lewat dan merangkai sebuah cerita. Mulai dari cerita monyet, simpanse, dan lainnya. Sayang kalau didiamkan di otak, akhirnya saya membuat blog baru tentang mamalia-mamalia primata! :D

Dan doakan semoga blog ini berjalan sebagaimana mestinya.

Sang Pengangkut & Primata

Kamis, 19 April 2012

Matahari

Ya! Sajak ini saya tulis untuk tugas sekolah, di mana kami diperintahkan membuat dua puisi, salahsatunya adalah tentang keindahan alam. Awalanya, ingin mengutip puisi Petir yang telah saya buat sebelumnya, tetapi ide-ide baru menolaknya mentah-mentah. Jadi, ini puisi barunya! :D

***

M A T A H A R I

Bumi tak sanggup untuk menolak

Berkutat dalam rotasi yang tak dapat dielakkan

Untuk membuyuti segugus bintang langka

Hingga larut dalam seduhan panasnya

Manusia tak lagi bisa berdusta

Tersengat hantaran panas tak terperi

Bola mata terbius untuk mengerjap

Bibir merapal untaian pujian alamiah

Hingga mereka tahu

Mereka adalah sebuah titik kecil

di mata Sang Surya

Bagai sebuah lentera yang kekal

dalam gelapnya kabut hitam

Menyorot bumi dengan sinar terang

Menghapuskan gelap tanpa harus melenyapkan

Menjadi penyembuh yang handal

dalam menghasilkan butiran air di pelipis

Teruslah engkau membungkus bumi

Merengkuh kehidupan manusia

Memeluk hangat gundah para manusia

Dan menunjukkan keagunganNya

Karena saat bertemu Matahari

Semua terasa begitu dekat

Mengabaikan batas waktu dan dimensi

Seperti sebuah hati

yang sedang bercengkrama dengan Sang Pencipta


(Mohamad Sofwan Rizky, 2012)

Bumi dan Kakek Tua

Hoi! Lama tidak bertemu, ya. Kali ini, saya akan memberikan kisah yang diciptakan untuk suatu sayembara, bertema tentang bumi. Tetapi entah ini yang akan dikirim, atau bukan. Yang jelas, yang terlintas di otak saya pertama kali hanyalah ini. Selamat Menikmati! :D

***

Segugus tangan kecil menghiasi kegembiraan para bunga. Anak itu bagai hujan yang melepas dahaga bagi bunga-bunga yang kehausan. Air-air merembesi kelopak bunga, hingga jatuh menetes di tanah. Bunga bergerak ke kanan dan ke kiri merayakan kegembiraannya. Bersorak sorai dalam gerakan yang sangat gemulai, membuat mata manusia tidak ingin mengerjap.

Namun, metafora itu tidak berlangsung terhadap Neuron. Dahinya mengernyit, bibirnya merengut rapat dan terdapat ocehan-ocehan kesal yang terus bermunculan. Tangannya bergerak asal-asalan ke segala tempat, tanpa mau tahu bunga mana yang sudah mendapat jatah air hari ini.

Sedangkan ibunya hanya menatap dari belakang, menahan tawa yang rasanya sudah ingin tumpah memenuhi udara. Menelan tawanya dalam-dalam, agar tidak terjadi muntah tawa yang bisa berlanjut terus menerus. Dirinya menggeleng-geleng sambil tersenyum, perlu adaptasi yang cukup panjang bagi Neuron untuk bersahabat dengan tanaman.

Benar saja, selang sepuluh detik, tawa itu lepas dan berkeliaran dalam labirin udara. Menggetarkan gendang telinga yang siap-siap akan meledak, memancarkan segala kekesalannya.

Neuron membanting penyiram tanaman dengan kesal. Membekaskan kesunyian yang mengiringi gesekan daun. Tawa itu berhenti, udara tidak lagi menjadi perantara bunyi. Neuron berbalik arah, memandang ibunya kesal.

“Aku tidak mau lagi menyiram tanaman! Biarkan saja mereka mati!”

***

Matahari menyembur sinarnya ke permukaan. Menghiasi dua wajah yang sedang termangu dalam segelintir pertanyaan.

Neuron terlonjak dari tempat duduknya, saat mengetahui dirinya sedang duduk di samping seorang kakek tua. Matanya terbelalak menatap wajah orang di sebelahnya itu, menampar pipinya sendiri, memastikan ini memang mimpi, tapi bukan mimpi horror.

Wajah yang sudah keriput seperti ingin meleleh dari posisi awalnya, kulit-kulit kering mengelupas, bola mata tak bulat sempurna –pandangan mata yang kosong, keringat yang terus menderas, seolah udara panas menyergapnya, hingga menggerogotinya secara perlahan. Ditambah lagi dengan tubuhnya yang bulat, wajah bulat, semua serba bulat –lagi-lagi tak bulat sempurna. Seluk beluk wajahnya tergambar jelas seperti dalam sampul buku-buku hantu milik Neuron. Sigap, Neuron mengambil jarak dari kakek tua itu, seraya meringis ketakutan.

“Kk…Kakek s…siapa?” tanyanya tergagap-gagap. Keringat dinginnya mengucur seketika. Jantungnya bertalu lebih cepat. Napasnya mengobral tak beraturan. Tubuhnya gemetar seperti kesetrum listrik. Dirinya benar-benar kehabisan kata-kata. Sepatah kata pun terlalu gugup untuk berhadapan dengan manusia ini.

“Kenapa kamu itu seperti mereka, Nak?” ucap kakek tua itu dengan pandangan yang tetap lurus ke depan. Seolah tak menyadari keberadaan Neuron di sampingnya.

Neuron mengernyitkan alis, memutar otaknya, mencerna kata-kata yang baru saja dilontarkan. Dia menggaruk-garuk kepala, rasa takutnya kini memudar menjadi rasa bingung. “Kakek bicara dengan siapa?”

“Dengan musuh-musuh atmosfer. Gerombolannya karbondioksida,” lanjutnya pelan. Intonasinya hilang dilahap hampa dalam mulutnya. Tak bergigi. Lidah yang menjalankan sepenuhnya.

“M…maksud Kakek?”

“Cukuplah ozon yang terkena cipratannya, terkena imbasnya, hingga dia marah dan lama-lama tak mau kompromi lagi,” Air muka kakek itu hanyut dalam seduhan benih air di pelupuk mata. Ujung matanya sedang dalam proses penciptaan suatu lambang sesaknya hati. Kata-kata ngawurnya mulai bergetar, goyah, menjelma menjadi bisik-bisik halus.

“M…ma,”

“Matahari jadi terlalu boros, Nak! Boros!” Dia mengetukkan tangannya di permukaan bangku taman. Membiarkan air matanya menuruni tebing pipinya perlahan. “Matahari menangis, Nak. Menangis,”

Dengan berpuluh-puluh pertanyaan yang menyerbunya dalam satu titik, Neuron akhirnya menanggapi diskusi tak formal namun berpokok bahasan yang berat. “Kenapa bisa begitu, Kek?”

“Bayangkan saja, dia itu ciptaan baik-baik, tetapi dipaksa jahat! Bayangkan!” Intonasi tinggi menekan di setiap kata yang terucap, mempercepat alur untuk menyimpulkan semua kejanggalan. “Dia tidak ingin manusia mengidap kanker kulit, dia tak ingin ada ‘badai matahari’ –yang menyangkut namanya, dia tidak mau, Nak. Dia ingin menjadi matahari yang baik, menyinari dunia, menjadi teman di subuh hari, menjadi penerang segala gulita di dunia, dia ingin itu, Nak,”

“Memang itu tugas matahari, kan?” tukas Neuron dengan wajah polos tak tahu apa-apa. Melupakan apa yang sering terjadi dalam hidupnya.

Kakek itu menghela napas panjang. Butir-butir air matanya terus jatuh tak beralas. “Manusia membuatnya kehilangan tugas-tugasnya,”

Neuron menunduk lesu, terperosok dalam palung pemikiran yang amat simpel, tetapi mengapa begitu rumit dipraktekkan. Teori-teori memang selalu terdengar bagus di telinga, tetapi terlalu buruk saat dipraktekkan. Pemanasan global selalu terngiang di telinganya, mengirimkan radar: ‘Gunakan sepeda’, ‘Tanam pohon di pekarangan rumahmu!’, ‘Buang sampah di tempatnya’, ‘Ingat 3R Neuron! Reuse, Reduce, Recycle!’, ‘Jangan terlalu lama menggunakan pendingin ruangan’, namun semua itu tertambat pada suatu celah otak yang tak berarti, terlupakan, terabaikan, menjadi sampah di otak.

Neuron tahu apa dampak, sebab, akibat dari pemanasan global. Dirinya tahu. Sekedar tahu. Dirinya akhirnya tahu, dia bukan manusia yang merombak, mencari teori baru untuk menghapus nama pemanasan global dalam masalah dunia. Dia bukan itu. Dia lebih menjorok kepada manusia yang menyebabkan pemanasan global.

“Asal kamu tahu, satu bibit tanaman itu akan membuat satu senyuman di mata alam,” Kakek tua menghapus air matanya. Kini ia tersenyum, memandang mata Neuron lamat-lamat. “Sangat berarti, Neuron,”

Kini, Neuron tidak bisa lagi menahan semua kebodohannya, kesalahannya, keegoisannya selama ini. Semuanya ditumpahkan saat itu juga. Air matanya mengalir deras. Dirinya terisak tangis yang terus menjadi-jadi. Dia tidak menyangka, dirinya adalah manusia yang begitu kejam. Menyiksa alam tanpa mau tahu kesedihannya. Menganggap semua makna hanya terkandung dalam untaian aksara, bukan dari sebuah kenyataan.

“Alam memang tidak bisa bicara, Neuron. Tak perlu mereka bicara. Karena keindahannya sudah menjelaskan semuanya,”

Kakek itu tersenyum, bangkit dari bangkunya. Meninggalkan Neuron yang masih terisak tangis. Melangkah menuju arah matahari yang ingin terbenam, ia berbalik badan, melambaikan tangannya ke arah Neuron.

“Alam ingin menjadi sahabatmu, Neuron!”

Neuron menyeka air matanya. Secercah senyum tampil menggantikan kegundahan rasa yang bereaksi pedih. Langkah kakek terus menjauh, siluetnya pun semakin panjang. Dia, bayangannya, bukan lagi sosok yang menyeramkan. Dia, adalah mahakarya Tuhan yang bermakna.

Neuron mengangguk mengerti. Kakek itu sangat kuat, sangat hebat. Karena beban itu sudah ditampung kakek sejak lama.

***

Sore yang sedang merajalela, matahari sudah sampai di ujung barat.

“Ibuuu!” teriak Neuron dari arah belakang. Tungkainya berinjit-injit menyusuri jalan menuju ibunya yang sedang berada di pekarangan rumah.

“Ada apa, Neuron? Kau sudah bangun?” Ibu menggengam kedua tangan Neuron yang melingkar di pinggangnya. Pelukan yang selalu hangat, menyejukkan hati. Pelukan memang konduktor panas yang handal.

Neuron memajukan bibirnya, “memang tadi, Neuron tidur ya, Bu?”

Ibu tersenyum simpul, mengacak-acak rambut Neuron yang tebal. “Tadi kamu itu tidur siang, Sayang. Sekarang, ada apa kamu memeluk ibu seperti ini?”

Neuron manggut-manggut sambil tersenyum. “Tanamannya sudah disiram, Bu? Kalau belum, biarkan Neuron yang mengurusnya,” ucap Neuron semangat. Ia langsung meraih penyiram tanaman dan bersiap-siap untuk menjadi Pak Tani kecil.

Ibu menaikkan alisnya. Dia menganga tak menyangka, dengan senyum yang belum menghindar dari bibirnya. “Sudah. Tetapi, kamu mengapa bisa jadi seperti ini?”

Mata Neuron melirik pada tumpukan sampah yang menumpuk di tempat sampah. “Bu, botol-botol bekasnya jangan dibuang, ya. Nanti Neuron buatkan pesawat-pesawatan. Oh, ya. Dari botol itu, Ibu juga bisa buat vas bunga, lho,” jelas Neuron semangat.

Ibu membelai kepala Neuron halus, sambil terus tersenyum. “Nah, gitu dong anak Ibu. Sayang dengan Bumi,”

Neuron memeluk ibunya lagi. Ingin sekali ia menjelaskan semuanya, bahwa manusia itulah yang membuatnya sadar akan keindahan ciptaan Tuhan yang harus dirawat. Ada titipan luar biasa dari Tuhan yang harus dijaga, dimanfaatkan dengan baik.

Dalam hati kecilnya yang paling dalam, ia berbisik pelan: Terimakasih ya, Kakek Tua…

***

Di tengah bintang-bintang yang bertebaran luas, di sanalah ia berada.

Senyumnya tak henti mengembang. Seperti ragi roti yang sedang menjalankan fungsinya dalam pembuatan roti. Satu kebahagiaan memang sangat berarti. Menghapus segala pahitnya hidup yang sangat berwarna.

Dia tersenyum lagi. Biarlah fisiknya sudah buruk rupa, tak lagi sempurna, kulit yang keriput meleleh, banyak sekali kesedihan dalam dirinya, semuanya ia lupakan. Dirinya lebih baik optimis, manusia setiap zamannya berbeda. Akan ada generasi muda yang membenahi dirinya suatu saat nanti. Dirinya yakin. Yakin sekali.

Galaksi bimasakti memang rumahnya sejak dulu. Berjalan dalam rel yang itu-itu saja, memang terkadang membuatnya bosan. Berkenalan dengan tujuh planet lainnya, serasa teman hanya sebatas sesama jenis. Dirinya butuh makhluk yang berbeda.

Kakek Tua tersenyum lagi. Neuron adalah salah satu bintang yang sudah ia temukan. Neuron sudah menemukan jalannya. Ia sudah masuk ke dalam lorong yang benar, tinggal berjalan dan menuju titik akhirnya. Neuron akan merubah dunia, menjadi lebih bermanfaat.

Kakek Tua tersenyum puas. Ia mulai berkutat lagi dalam rotasi yang tidak dapat dielakkan. Mengelilingi matahari yang menjadi pusatnya. Sibuk kembali pada kerjaan non-stopnya, bersifat layaknya planet yang normal. Namun tidak kuper.

Dirinya tahu, menjadi planet yang berisi kehidupan memang penuh risiko, tetapi juga penuh akan kebahagiaan. Salah satunya, menyaksikan para manusia menyayangi dirinya sepenuh hati.

Dalam hati kecilnya, ia berceloteh pelan: Siapa lagi bocah kecil yang akan kudatangi, ya?

SELESAI