Halaman

Jumat, 28 Oktober 2011

Kicauan Anak Kabisat

Perkenalkan,
Aku anak kabisat yang sudah menjalani hidup 12 tahun tapi masih dianggap 3 tahun. Dan aku, anak kabisat yang membenci tanggal 29 Februari, tapi tidak untuk hari ini.



MALAM HARI- lilin-lilin kecil menyala. Ayah dan Ibu begitu mengagetkanku dengan membawakan kue kesukaanku. Aku mendambakan ini selama 4 tahun. Melihat temanku yang setiap tahun dapat merayakan ulangtahunnya, dan aku tidak. Aku merasa ini aneh. Aku merasa ada kelainan dalam hidupku.

...Yang membuatku bingung jika menjawab pertanyaan yang sangat umum.

Umurmu berapa?

Pertanyaan yang simpel seperti mie gelas buatanmu. Tetapi ini seperti membuat pizza, bagiku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ini sungguh menyiksa. Walaupun Ayah selalu mengatakan bahwa aku harus menghitung umurku yang sebenarnya, tetapi aku selalu ragu untuk menjawabnya. Jika aku menjawab 'umur' dengan memperhitungkan berapa kali aku ulang tahun, aku merasa aneh. Mungkin orang lain akan lebih merasakannya.

Saat aku mengalami insomnia, menghitung domba bukan solusi yang aku sering gunakan. Aku selalu membayangkan masa depan dengan tanggal yang memiliki dua digit angka ini. Misalnya, :

'Jika aku sudah kakek-kakek nanti, disamping istriku yang sudah mulai kusut juga, anak-anakku berada disampingku, dan cucu-cucuku yang asik bermain. Aku tak bisa membayangkan jika semua anggota keluargaku lahir dengan tanggal selain 29 Februari. Aku bisa dikatakan tua sebelum waktunya. Itu berarti, jika dihitung dari umur, aku lebih muda dari anakku. Dan itu mengerikan.'

Kau bisa membayangkannya?

Ya ampun, kenapa ini begitu aneh? Kalau harus empat tahun sekali agar ada tanggal 29 Februari, lebih baik itu ditiadakan. Jika begitu, aku bisa ulang tahun pada tanggal 1 Maret. Seperti anak-anak lainnya.

***
"Ingin diabadikan?" tanya kakakku yang baru datang sambil memegang kamera hitam.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Ayah dan Ibu pun menghampiri diriku, dan merangkulku.

"Merapat."

Kami pun semakin rapat. Dan menampilkan senyum. Seadanya.

"1...2...3..."

Cahaya blitz menyerang mataku. Dan aku bergerak kembali setelah dibekukan oleh kamera hitam itu.


Selamat malam.

Lupa

Sejumlah kalimat melewati otakku
Dan aku tak sempat melihatnya
Tunggu, apa itu?
Mereka pun pergi. Jauh sekali.

Aku belum sempat mengetahui apapun
Apakah kamu tahu?
Apakah kamu sempat melihat mereka?
Apakah kamu sama sepertiku?

Otakku berusaha mengingat
Walaupun hanya sebatas siluet
yang bermain riang
Sejumlah kata bergabung dengan sejenis lainnya
Mencoba merangkai sebuah kalimat
yang semakin mempersulit diriku

Dan ya, aku memang lupa.

Curhatan Sang Upil

Pada suatu hari, di sebuah rumah yang berukuran kecil, terdapat didalamnya sebuah meja yang bersandar di dinding. Kalau kamu teliti dan membawa kaca pembesar...


...Kamu akan melihat dua buah upil.

Upil yang bulat dan hijau. Upil kesatu, dia menempel di lantai. Dengan tubuhnya yang lengket, dia hanya bisa pasrah kalau suatu saat akan tersapu. Upil kedua, dia menempel di dinding. Entah siapa yang menempelkannya. Jika kamu jeli dan memasang telingamu baik-baik...


...Kamu akan mendengar perbincangan mereka.

Sekarang, duduklah dengan manis. Dengarkanlah perbincangan mereka...

"Huhuhuhu.." Upil pertama. pun menangis. Mengangis yang tiada hentinya. Upil kedua hanya bisa memandangnya jengkel. Rasanya ingin membunuhnya. Tapi apa daya, dirinya juga sedang menempel di dinding.

"Ya ampun berisiknya, kamu bisa diam enggak sih?" tanya Upil kedua.

"Huhuhu... aku..."

Pause.

(Sebelum dilanjutkan, sebaiknya kita memanggil upil kesatu dengan 'Upal' dan upil kedua 'Upol'.)

Play.

"Huhuhu... aku telah dibuang oleh pemilikku.." ujar Upal dengan sedih.

"Haha. Apa yang perlu disedihkan? Aku saja merasa senang bisa keluar dari hidung pemilikku. Hidung pemilikku penuh dengan ingus. Aku tak betah disana." seru Upol.

"Itu beda! karena kamu itu baru sebentar di hidungnya! Aku? Aku sudah 4 hari ada disana! Aku sudah terlanjur cinta pada pemilikku!" ujar Upal sambil mengeluarkan air mata.

"Cinta? Buat apa kita cinta kepada Manusia! Jangan percaya padanya!" protes Upol.

"Tidak! Dia itu manusia yang baik! Buktinya, dia bisa mempertahankan aku di hidungnya selama 4 hari!"

"Lalu? Apa buktinya? Sekarang kamu ditempelnya diam-diam di lantai saat ia Salat kan? Tepatnya dibawah sajadahnya kan?"

Upal semakin menangis. Dia begitu galau karena sudah di PHP-in oleh pemiliknya. Di otaknya (Tolong maklumi kalau upil punya otak. Hanya untuk saat membaca ini saja. Ya?) , muncul memori-memori saat ia bersama pemiliknya.

...Saat pemiliknya disuruh membuang ingus oleh Ibunya, dia menolak.
...Saat pemiliknya tak pernah risih saat Upal ada di hidungnya.
...Saat pemiliknya rela tidur dengan sesak karena ada Upal di hidungnya.

Dan, yang paling membuat Upal semakin sedih adalah saat pemiliknya rela mendapat julukan 'Manusia Upil' oleh teman-temannya. Mengenaskan.

Memori-memori itu terus menari-nari di otak Upal. Upal semakin tak ingin berhenti menangis. Uuu, so sweet..

"Apa dia membuangku karena dia sudah tak kuat mendapatkan julukan 'Manusia Upil'? Apa dia sudah malu mempunya upil seperti aku? Apa dia sudah jatuh hati kepada upil yang lain?"

Upol yang melihat teman seperjuangan itu akhirnya merasa iba. Dan... Upol mengeluarkan air mata.

"HUAAA! Cukup Upal! Cukup! Aku tak kuat mendengarnya!" ucap Upol menangis.

"Seandainya, kalau aku tahu akhirnya begini.. Kalau aku akhirnya akan ditempel dilantai.. Lalu apa maksudnya merawatku dihidungmu selama 4 hari? Kenapa kau membuatku yakin kalau kau manusia baik? Lalu apa maksud itu semua? Busuk!" ujar Upal yang menangis tambah keras.

"HUAHUAHUA! Bagaimanapun juga, aku senasib olehmu, Upal! Aku juga ditempel di dinding! Aku merasakan kesedihan itu!" curhat Upol.

"HUAAA... Kenapa kita diciptakan sebagai upil? Kenapa kita lahir dihidung manusia yang tak bertanggung jawab?" Upal menangis semakin kencang. Dia tak bisa lagi menahan kesedihannya. Upol pun begitu, dia mengalir terbawa suasana kesedihan Upal. Oh, sedihnya...

Tiba-tiba, sebuah alunan musik terdengar. D'masiv. Jangan menyerah.

Syukuri apa yang ada...
Hidup adalah anugerah..
Tetap jalani hidup ini...
Melakukan yang terbaik...

Saat Upal dan Upol mendengarnya, tiba-tiba air matanya mengering. Mereka sadar, bahwa hidup mereka belum berakhir.

"Sudah, Upal! Jangan terlalu terbawa dengan kesedihan! Kita masih bisa melakukan sesuatu! Dengan memasuki hidung manusia yang lain!" seru Upol menghibur Upal.

Upal pun tersenyum. "Benar, kita juga harus bersyukur menjadi upil. Ya, galau pasti berakhir!"

"Hidup upil!"

Mereka pun tertawa bersama di tempat mereka menempel yang terbatas.

Cklek!

Pintu pun terbuka. Suara manusia melangkah terdengar. Upal dan Upol pun menoleh. Terdapat dua anak kecil yang masuk. Tiba-tiba...

"Itu pemilikku!" seru Upal menunjuk anak yang berbaju biru.

"Itu majikanku!" seru Upol menunjuk anak yang berbaju hijau.

Mereka pun terbengong-bengong. "Jadi selama ini, pemilik kita itu berteman?" ucap mereka bersamaan.

Dua anak-anak itu pun bermain mobil-mobilan. Upal dan Upol memandang dengan melas kepada pemilik mereka masing-masing. Serasa dalam lubuk hati Upal dan Upol paling dalam...

Masihkah kau ingat dengan diriku? Upil yang kau sayangi dulu?

Tiba-tiba, anak yang berbaju biru mengeluarkan suaranya. "Aduh! Sepertinya di hidung aku ada upil, deh!"

Anak yang berbaju hijau pun berhenti bermain. Dia langsung melihat hidung temannya. "Mana? Mana? Aku mau lihat!"

"Ada gak upilnya?"

"Hiii... iya bener! ada upil!"

Anak yang berbaju biru pun melihat juga hidung temannya itu. "Eh! Kamu juga ada upilnya, tauk!"

"Hah? Serius? Kita buang, yuk sebelum dijuluki 'Manusia Upil' lagi!" ajak anak yang berbaju hijau.

"Yuk!"

Mereka pun mencari tisu. Upal dan Upol menganga.

"Hmppffttt!" ucap mereka bersamaan saat membuang upil sekaligus ingus mereka. Setelah itu, tisu itu mereka tata dengan rapih, dan membuangnya di tempat sampah dengan sopan.

"Sekarang, kita main lagi, yuk!"

"Yuuk..."

Dan, Upal dan Upol menangis kembali.

"HUAAA! Kenapa mereka dibuang di tisu?" ujar Upal menangis.

"HUAAA! Kenapa mereka enggak ditempel aja!" ujar Upol menangis.

Mereka hanya bisa memandang iri terhadap upil yang dibuang ditempat sampah. Upal dan Upol merasa dikhianati dan merasa ini tak adil.

"Dasar, PHP!" seru Upal sambil menangis.





Sayangilah upilmu, buanglah mereka pada tempatnya...

Selesai

Sabtu, 22 Oktober 2011

MATA


Lagi-lagi, mataku harus memicing. Tanpa kacamata.

"Kemana kacamata lo?" tanya salahsatu temanku.

"Ketinggalan, bro." ucapku sambil menggaruk-garuk kepala.

"Lo yakin, Lo bisa jalan nih, di tengah mall yang segede gini?"

"Gausah dimasalahin soal jalan. Insyaallah bisa deh bro," jawabku setengah yakin.

"Serius Lo? Minus Lo itu gak kecil. Kalau perlu, Gue temenin dah balik lagi ke rumah,"

"Gausah, Gue bisa. Tenang aja, Dim."

"Oke, gue udah nawarin, ya. Dan gue gamau nuntunin lo sepanjang jalan-jalan di dalam nanti ya, Dan. Gue kesini mau cuci mata."

"Gue?"

"Makanya, menonton televisi jangan dekat-dekat, nak." canda Dimas.

"Sialan lo," ujarku singkat.

Setelah itu, kami pun segera memasuki dunia perempuan-perempuan Jakarta. Dan aku sangat menyesali mataku yang minus ini.

***
"Gila, sukses juga lo Dim dalam ngerebut hati perempuan!" colekku dan berbicara dengan suara yang kuusahakan tidak terdengar siapapun.

Karena, didepanku ada perempuan yang berhasil digaet Dimas. Dan perempuan ini langsung diajak makan bareng! Dan aku merasa menjadi sampah dalam meja makan ini.

"Oh ya, terus gimana karir kamu selanjutnya?" tanya Dimas berbasa-basi dengan Ratna, kenalan barunya tadi.

Aku hanya mengaduk-aduk sphagetty yang tak kunjung habis. Kalau ceritanya begini, mending gue gausah ikut! batinku dalam hati.

"Eh? Kamu keturunan bule ya?" tanya Dimas secara tiba-tiba.

Aku pun memperhatikan wajah Ratna. Bule darimana coba? Ngawur nih anak.

"Haha! Enggak, kok. Kalau boleh tahu, Bule darimana ya?" tanya Ratna balik.

"Soalnya matamu biru," jawab Dimas pelan.

Aku menelan ludah. Wajah Ratna nampaknya juga sedang menahan tawa. Gadis ini memakai contact lens, norak!

"Hahaha, ini itu contact lens. Sengaja aku memilih warna biru, karena biru itu jernih, layaknya air yang mengalir!"

Dimas hanya mengangguk-angguk sambil melongo.

"Memang sebenarnya, kamu minus berapa?"

"Lumayan gede, 3.25,"

"Wow! Tapi masih kalah sama temanku yang satu ini, nih. Minusnya gak karuan!" serunya sambil melirikku.

Aku mengangkat alis.

"Memang, minusnya berapa?"

"Tanya sendiri, deh sama orangnya!"

Mata biru Ratna berbalik kearahku.

"Oh, temanmu ini minus. Kusangka daritadi itu dia keturunan Tionghoa!" ucapnya polos.

Mereka hanya tertawa. Aku berusaha tertawa kecil. Walau tangan sudah mengepal.

***
"Jadi manusia yang bermata minus, itu gaenak. Sungguh menyiksa." ujar Ratna sambil meneguk hot chocolate-nya.

"Setuju," ucapku singkat.

"Awalnya memang gabisa menerima ini semua, tapi mau gimana lagi, mata udah terlanjur rusak."

Dimas yang daritadi hanya mengangguk-angguk saja, akhirnya bicara juga.

"Jangan putus asa gitu dong, kan masih ada wortel, yang kaya akan vitamin A!"

"Gabisa!" seruku dan Ratna bersamaan.

Dimas hanya melongo mendengar apa yang kami bicarakan.

"Loh? Kenapa? Bukannya wortel baik untuk mata?"

"Minum jus wortel atau makan wortel gabisa mengurangi minus. Untuk menghilangkan minus itu dapat dilakukan dengan memakai kacamata, contact lens dan mungkin... operasi laser." jelas Ratna.

"Makanya gue nyesel dulu males makan sayur. Padahal Ibu gue udah ngomel berapa kali biar gue makan sayur. Sekarang? Nasi sudah terlanjur menjadi bubur." ujarku.

Dimas hanya mengangguk-angguk seperti orang yang tidak tahu apa-apa.

"Terus, kenapa kamu enggak memakai kacamata?" tanya Ratna kearahku.

"Memang calon-calon orang lanjut usia gini, nih! Ketinggalan!" jawab Dimas.

"Siapa sih yang ditanya?" ujarku.

Dimas hanya terkekeh. Tapi tidak dengan Ratna. Dia masih terbingung.

"Terus, kamu kuat gak memakai kacamata? Kalau aku jadi kamu, aku udah sempoyongan, kali!" seru Ratna.

Aku hanya tersenyum.

"Kalau tujuannya mau cuci mata, apapun jadi jelas!" canda Dimas.

"Sialan," ucapku.

Kami pun akhirnya tertawa bersama dengan makanan yang menunggu untuk dimakan sejak tadi.

***
"Emm... kayaknya perempuan gabaik deh kalau pulang sendirian di tengah malam gini," Dimas daritadi memang sudah mengisyaratkan kalau dia meminta maaf sebesar-besarnya kepadaku. Karena, aku disuruh untuk pulang sendiri, naik taksi katanya.

Rencananya, dia ingin mengantar Ratna pulang sampai ke rumahnya. Dia ingin membuat Ratna terkesan akan pertemuan pertama mereka.

"Serius? Gapapa? Aku bisa pulang sendiri kok!" ucap Ratna.

"Udah gapapa," ucap Dimas sambil tersenyum. Belum dijawab oleh Ratna, Dimas sudah membukakan pintu depan mobil layaknya seorang sopir. "Silahkan masuk, Nona..."

Ratna tertawa kecil dan memasuki mobil Dimas.

"Sorry ya Bro, untuk kali ini aja." maafnya.

Aku hanya mengangguk dan mengangkat jempol.

Tak lama, mobil itu berlalu. Daun-daun pun berterbangan, mengenai diriku. Yang mencari taksi.

***
"Baik,mas." ucapnya sambil menyalakan argo. Angka nominal 5.000 pun muncul. Aku bernapas lega. Aku berhasil mendapatkan taksi yang berlabel 'TARIF BAWAH'. Yang, setelah kusadari bahwa uang sakuku tak cukup jika ingin bergaya menaiki taksi Silver Bird.

"Kanan ya, Pak." ucapku. Taksi itu pun akhirnya berbalik arah.

Aku memandang tanda pengenal si Sopir Taksi ini yang berada di depanku. Tertera disana: M. Norman. Aku pun memandang sopir taksi itu. Wajahnya sudah memiliki banyak kerutan. Kulitnya sudah keriput dan masih sibuk mencari nafkah. Kutebak, umurnya sudah melewati 55 tahun.

Dengan kondisi seperti ini, itu membuatku khawatir. Apakah aku bisa sampai ke rumah dengan selamat? Semoga mata Pak Norman ini baik-baik saja. Kan tak lucu jika dalam satu mobil ada dua orang yang sama-sama siwer. Yang tinggal menunggu mobil yang menabrak kami atau kami yang menabrak mobil lain.

Aku terus memperhatikannya. Berapa kali kulihat mata Pak Norman ini memicing. Aku pun semakin gelisah.

"Pak, Bapak tak apa? Saya bisa mencari taksi yang lain, kok." tanyaku.

Bapak itu malah tertawa. "Tak apa, mas. Cuman silau sama lampu jalan." jawabnya.

"Kalau ada apa-apa, saya bisa mencari taksi yang lain. Saya memaklumi kok mata orang yang sudah lanjut usia." ujarku prihatin.

"Enak saja! Mas kira mata saya sudah rusak apa, seperti mata Mas? Saya masih bisa melihat dengan jelas!" protesnya.

Aku pun melongo. Tahu darimana kalau aku ini manusia bermata minus?

"Kok, Bapak tahu kalau saya minus?"

"Ya, daritadi justru Mas yang terus memicing!" serunya.

Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil.

"Mas, mas. Mas itu gimana sih? Punya mata ya dijaga, jangan dibiarkan saja!" omelnya.

Aku menelan ludah. Sejak kapan orang ini bisa mengomeliku seenaknya?

"Saya juga maunya mata saya normal, Pak.." ucapku pelan.

Tiba-tiba taksi ini berhenti. Bukan karena mogok atau ban bocor, tetapi Sopir taksi ini yang memberhentikannya sendiri. Ia membuka jendela yang dilapisi kaca filem dan melihat langit yang hitam. Ia memalingkan wajahnya dari wajahku.

"Pak?" tanyaku bingung.

"Tunggu sebentar, nak. Tunggu." bisiknya lirih.

Akhirnya aku menunggu. Aku juga mulai gelisah. Ada apa dengan bapak ini?. Tak lama, mobil berjalan lagi. Aku melirik argo yang telah bertambah 2000 sebelum berhenti. Kebingunganku pun semakin memuncak setelah melihat mata Pak Norman ini membanjir. Aku semakin bertanya-tanya. Apa aku salah bicara?

"Pak.."

"Iya! Nanti 2000-nya saya ganti!" serunya dengan nada goyah.

***

"Walau tidak langsung, kita bisa membantu orang-orang yang kurang mampu. Betul?" seru Dimas.

Ratna hanya mengangguk. Hubungan Dimas dan Ratna semakin hari semakin lengket saja. Dan aku, semakin hari juga semakin menjadi benalu bagi mereka. Bukan karena sengaja, tetapi Dimas yang menyuruhku agar ikut juga.

Kami pun memasuki Rumah Sakit yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Aroma Rumah Sakit langsung tercium. Ya, seperti bau bayi. Tetapi, setelah memasuki lebih dalam lagi, aromanya berubah. Udara yang kurasakan juga berbeda. Semakin panas.

"Kita sudah sampai, langsung ke Dokter Adhi saja, yuk." ajak Ratna.

Kumpulan orang-orang-- yang hampir sebagian adalah orang manula. "Tuh, liat Han. Masih banyak orang yang kurang beruntung daripada Lo. Masih mending Lo minus. Mereka? Mereka lebih susah, Han." gumam Dimas.

Aku hanya melihat wajah orang-orang yang membentuk barisan panjang ini. Spanduk 'Operasi Gratis Katarak' semakin jelas terlihat. Akhirnya, kami sampai di depan pintu yang bertuliskan Dr.Adhi.

Ratna pun membuka gagang pintu dan memasuki langkah ke ruang dokter ini. "Hai, Kak Adhi. Maaf kita agak terlambat, ya!" maaf Ratna kepada kakaknya. Dokter Adhi hanya tersenyum. Ia tampak sedang menangani pasien pengidap katarak.

Dua pasien itu menengok.

Aku pun tercengang. Pasien yang terdiri dari Suami & Istri itu rasanya aku pernah mengenalnya. Saat Sang Suami mengangguk dan tersenyum, aku langsung mengenalnya. Ia Sopir Taksi yang kutemui semalam.

Aku pun membalas senyumnya. Dan Pak Norman terus memegang erat Istrinya yang akan segera melakukan operasi katarak. Sekarang, aku mengerti mengapa ia menangis semalam.

Selesai



Percaya Padamu, Kanaya!

"Nama saya Annisa Kanaya Larasati. Kalian bisa memanggilku, Naya. Terimakasih." ucapmu waktu itu. Aku langsung tahu, kamu bukan perempuan yang biasa. Caramu, tingkah lakumu, itu dapat terdeteksi olehku kalau kamu itu perempuan baik-baik.

Kamu duduk kembali, dan kuperhatikan terus dirimu. Tidak ada yang aneh, tenang dan biasa saja, Bagimu. Tetapi begitu luar biasa bagiku. Kamu tidak memplintir-plintir rambutmu seperti perempuan yang lain. Kamu membiarkan rambutmu begitu saja. Rapih.

Kanaya, aku belum pernah merasakan ini kepada perempuan-perempuan sebelumnya.

***

"Bay, lihat PR dari Bu Nisa dong, gue belom ngerjain, gangerti lebih tepatnya."

"Eh? Iya, tapi aku belum pasti kalau semua jawabannya..."

"Bodo amat," ucap Ardy, yang langsung mengambil buku tugasku.

Aku langsung kembali ke kamu, Kanaya. Kamu juga sama sepertiku, tempat peminjaman tugas dari Guru. Kamu selalu mengerjakan tugasmu tepat waktu, tak pernah lupa, dan itu yang kukesali.

Kapan kamu lupa mengerjakan PR? Kenapa kamu selalu ingat?

Setidaknya kalau kamu lupa, kamu bisa meminjam kepadaku dan kita bisa berbicara. Hampir setengah semester ini, kita belum pernah bicara. Basa-basi pun tidak.

Setiap pembagian kelompok, Aku selalu berharap kita dapat bersama. Tapi kamu selalu bersama dia, Galang. Tak heran makanya Galang jatuh hati padamu. Dan itu membuatku khawatir. Walau kamu mengabaikan semua berita kalau kamu akan segera ditembak olehnya, aku tetap khawatir. Walau aku tahu kamu tidak memperdulikannya, aku tetap khawatir. Aku takut suatu saat kamu berubah.

Dan menerimanya, sebagai kekasih pertamamu.

***
Aku selalu tersenyum jika diledek seperti ini. Kalau aku sama kamu itu cocok. Karena kita masih memakai Aku-Kamu.

"Oke deh, nanti Aku yang ngetik, kamu yang edit ya." ucapmu pada salahsatu temanmu.

"Aku, Kamu? Haha, lo sama Bayu makin cocok aja." canda salahsatu temanmu.

Kamu hanya tersenyum. Tak berkomentar apapun.

Memang ada yang salah dari bicara aku-kamu bagi anak SMA? Aku rasa tidak. Berkali-kali temanku menyuruhku agar bertransformasi dari anak Aku-Kamu menjadi anak Gue-Lo, tetapi aku tetap menolaknya. Aku juga selalu diancam kalau memakai aku-kamu akan menjadi calon korban bullying.

Aku ingin tahu apa komentarmu tentang ini. Tapi bagaimana caranya? Bicara berdua saja belum pernah.

Ya ampun, Pak, Bu. Kapan saya sekelompok bersama Kanaya?

***
"Kelompok 3. Muhammad Bayu Adhitama, Zahara Andani, ..."

Aku begitu antusias mendengar ucapan Pak Andi. Aku ingin sekali mendengar namamu berada di kelompok 3. Tolong Pak, sebut namanya...

"Annisa Kanaya Larasati, kalian membahas tentang..."

Aku tersenyum lebar. Akhirnya aku berhasil sekelompok denganmu disemester ini. Kukira kita tak akan pernah bisa bergabung dalam satu semester. Semakin berpikir bahwa kita tak akan berjodoh. Tak ditakdirkan dan aku yang terlalu berharap.

"Sekarang, Bapak beri waktu untuk berdiskusi dengan kelompok masing-masing,"

Semua anak berpencar. Bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Aku bangkit. Matamu tampak mencari-cari. Semoga kau mencari aku, bukan Zahara.
Aku segera menghampirimu. Tak enak bila kau yang menghampiri mejaku.

"Boleh aku duduk?" tanyaku pelan sambil menarik bangku terdekat.

"Kamu sudah menarik bangku, apa boleh buat." candamu pelan sambil tersenyum.

Aku menelan ludah. Tak seharusnya aku begini di perbincangan kita yang pertama. Dan oh! aku menyadari. Zahara sedang absen. Momen yang tepat, tapi aku berusaha agar tetap tenang.

"Kira-kira, kita mau gimana?" tanyaku sebagai permulaan perbincangan kita yang melanjut.

"Tugas kita, bukan kita."

"Oh ya, maaf. Tugas kita." jawabku. Bodoh sekali. Kenapa aku jadi begini?

"Sebaiknya aku yang ngetik ya, kamu nanti sama Zahara yang mengedit." jawabmu yang sudah tak asing bagiku. 'Aku yang mengetik, kamu yang mengedit.'

"Oh, ya. Kamu suka mengetik ya? Kayaknya kamu bebas memilih untuk mengambil alih tugas mengetik dan membiarkan orang lain untuk mengedit,"

Kamu melirik mataku. "Kalau kamu mau mengetik, bilang aja. Aku gak memaksakan kamu kok."

"Enggak, aku mau mengedit."

"Terus kenapa protes?"

"Siapa yang protes?" tanyaku memancing.

Kamu menghela napas. "Iya, aku salah bicara,"

"Hanya segini? Aku kira kamu bakal membalas. Kemana emansipasi wanita?"

"Maaf ya, kita ini diperintahkan untuk berdiskusi, bukan berdebat." jawabmu singkat.

Aku terdiam. Aku memang salah, bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal-hal yang tidak perlu. Ini ada waktunya, Bay.

"Oh ya, maaf."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan."

Kita mulai berdiskusi, dan aku semakin terbius olehmu.

***
"Serius lo? Lo udah siap buat nembak Kanaya?" tanya Dheryl.

"Insyaallah gue siap, doain aja ya," jawab Galang yakin.

"Halah, gayalu. Biasa ngerokok aja."

"Apaan sih? Selama ini gue tobat sebelum nembak Kanaya!" ujarnya.

Aku tersentak saat mendengarnya. Beruntung sekali telingaku dapat mendengarnya. Galang akan menyatakan cintanya kepada Kanaya?

Aku langsung khawatir. Apakah Naya akan menerimanya? Apakah Galang akan menjadi kekasih pertama bagi Kanaya? Apakah aku harus menanyakannya langsung kepada Naya?

Ya Tuhan, aku belum siap melihat Kanaya digandeng oranglain.

***
Aku memasuki kelas agak pagi dari biasanya. Aku berusaha membandingkan ramainya di Timeline dengan ramainya di sekolah.

Berita Galang akan segera menembak Kanaya sudah booming di kalangan kelas 11. Aku, anak yang dikenal sangat tertutup dengan yang namanya 'cinta' tak bisa berbuat apa-apa.

Apakah mungkin saat Galang menyatakan cinta kepada Kanaya aku harus datang secara tiba-tiba dan mengatakan 'HENTIKAAN!' ? Rasanya tak mungkin.

...Aku hanya bisa pasrah dan percaya kepadamu, Kanaya.

***
Bunga mawar yang segar sudah berada di tangan Galang. Kanaya yang daritadi berada di kelas bersikap tenang dan tak tahu apa-apa. Galang begitu yakin dilihat dari langkahnya. Sedangkan aku daritadi memelas dibalik jendela kelas.

Dan Galang pun memasuki kelas, mengumpatkan bunga mawar dibalik badannya.

"Nay..." ucapnya sambil menduduki kursi yang ada di sebelah Kanaya.

"Apa?" jawabmu tenang.

"Ada yang aku ingin omongin sama kamu,"

Aku menelan ludah. Sudah tidak siap mendengar setelah Galang mulai menggunakan kata ganti utama 'gue' dengan 'aku'.

"Iya, apa?" tanyamu.

Galang mengambil napas.

"Sejak bertemu denganmu, hatiku merasa ada yang beda. Kamu begitu berbeda dari perempuan yang lain. Kamu cantik, Kamu manis, Kamu pintar, segalanya ada di kamu."

Aku menelan ludah kedua kalinya. Keringatku semakin berjatuhan. Semakin nampak anak yang memelas dibalik jendela kelas. Ruang menontonku pun lama-lama semakin tidak nyaman. Yang menonton 'aksi' Galang menembak Kanaya semakin banyak penontonnya. Seperti tidak ingin dilewatkan oleh yang lain.

"Sekarang, maukah kamu menjadi kekasihku?" tanya Galang dengan menunduk dan mengeluarkan bunga yang dari tadi disembunyikannya.

Kanaya diam tanpa kata.

Aku. Hanya. Bisa. Menunggu. Responmu. Kumohon. Kamu. Sadar. Dan. Tidak. Berubah. Kumohon. Kanaya.

Kau mulai berbicara, berusaha mengangkat bibirmu yang daritadi tertahan.

"Maaf, aku enggak bisa. Kata mamaku aku enggak boleh pacaran dulu." jawabmu polos.

Suasana diluar kelas pun mencair. Berubah dari rasa ketegangan menjadi sesuatu yang konyol. Semua tertawa. Sedangkan Galang menanggung malu yang dirasakannya.

Tapi, entah kenapa, kamu malah memandangku dan tersenyum kepadaku.

Tunggu, Kanaya, apa artinya ini?

***

20 Tahun Kemudian...

"Ayah! Aku mendengar kabar kalau aku akan segera ditembak, Yah!" ucap Nandira, perempuan yang baru beranjak dewasa.

Aku memandang istriku yang sedang membuatkanku kopi. Aku jadi mengingat masa lalu.

"Sebaiknya kau tolak dan kau bilang 'Jika kamu benar-benar mencintaiku, tunggu sampai aku lulus SMA'." Jawabku yakin, sambil tersenyum.

"Yaa, Ayah. Tapi cowoknya ganteng, Yah. Masa aku tolak?"

"Memang kamu enggak tahu, cerita cinta Ibu dan Ayahmu sampai kami menikah?" tanya Kanaya menggoda Nandira. Ia pun meletakkan kopi yang hangat di meja.

"Memang seperti apa, Bu?"

"Kami memendam rasa selama SMA, demi prestasi Ayah dan Ibu dalam sekolah. Karena Ayah berpikir, suatu saat pasti ada waktunya. Dan berusaha percaya kepada Ibumu. Buktinya? Kami bisa sampai sekarang dan mempunyai dirimu," jawabku mendahului.

Ibuku mengangguk. Dan tertawa.

Tapi tidak dengan Nandira.

"Pa, masih jaman sekarang memendam-mendam rasa?"

Oh tidak, anakku terpengaruh oleh @Poconggg.



Selesai

Jumat, 21 Oktober 2011

Pertama, disini.

Jakarta, 21 Oktober 2011.
Ini adalah posting-an pertamaku di blog yang benar-benar aku mengerti sekarang. Aku sudah pernah membuat blog sebelumnya, tapi tak pernah aktif. Aku terinspirasi untuk membuat blog karena baru saja menyelesaikan buku Perahu Kertas karya Dee Lestari. Di halaman terakhir, aku bisa melihat sebuah alamat yang mengacu kepada suatu blog. Aku membukanya, dan aku tertarik. Tidak sampai disitu, aku juga membaca Ruang Tengah-nya Fahd Djibran dan itu tak kalah menariknya.

Kjokkenmodinger?
Ha-ha. Aku saja baru mengenal kata ini belum setahun. Dan aku mengenalnya bukan dari manusia, bukan dari manusia zaman dahulu, tetapi dari buku IPS. Ah, bukan. Bukan dari buku IPS. Dari tugas Bu Sudar yang diberikan padaku. Aku yakin, kalau tidak diberi tugas 'Apa itu Kjokkenmodinger?' Aku tak akan mengetahui apa artinya.

Menurut blog lain, Kjokkenmodinger atau sampah dapur adalah tumpukan kulit kerang yang menggunung atau membentuk bukit. Kjokkenmodinger ini banyak di temukan di muka di sepanjang pantai timur pulau Sumatera.

Dan... ini ada pada zaman pra-aksara.

Aku sungguh beruntung bisa mengenal IPS. Walau terkadang suka mengeluh:
'Kenapa sih ada IPS? Kenapa sih harus melihat masa lalu? Bukannya di timeline sering dikatakan kita harus Move on?'
'Move on Pak, Move on Bu..'
'Itu tanggal sejarah enggak bisa diganti jadi 'Pada suatu siang' atau 'Pada suatu Pagi' saja?'
'Apa sih pentingnya IPS?'

Tapi mungkin yang paling tepat...

"Kenalilah lebih dekat Negerimu dan belajarlah dari masa lalu."

Blog ini adalah utusan-utusan kecil dari otakku, bukan semata-mata untuk membuat ketenaran, hanya bertujuan menyebar kebaikan. Setidaknya, bagi diriku sendiri. Dan...



...Aku masih menunggu kebaikan itu.