Halaman

Kamis, 26 Januari 2012

Pencarian Terakhir

Pernahkah kau merasakan cinta yang rumit?

Pernahkah kau mencintai seseorang sepenuhnya?

Pernahkah kau memiliki cinta yang tidak kau harapkan?

Pernahkah cintamu berakhir sebelum cincin melingkar dijari manismu?

Pernahkah pasanganmu meninggalkanmu dengan begitu saja?

Meninggalkanmu selama-lamanya?

…Dan sadarkah pasanganmu yang sudah pergi masih mencintaimu?

***

Sebelum ia melangkah kebadan pesawat, ia melihat keadaan dibelakangnya. Hampa. Tak ada yang menunggu. Tak ada yang mengucapkan selamat tinggal padanya. Seolah mimpi yang datang padanya benar-benar tak salah. Keputusannya yang diambil juga tak salah. Tak meleset sedikit pun.

Dia segera masuk kedalam pesawat. Dia segera merebahkan kepala suntuknya setelah menemukan kursi miliknya untuk beberapa jam kedepan. Merilekskan darah-darah yang sempat tersumbat disuatu tempat. Terkadang sering membuatnya mengeluh kesemutan. Tapi memang benar, mengingat ini semua, dia seperti berada dalam perangkap seseorang.

Selang 2 menit, telepon gengganmnya berbunyi. Dengan gerak-gerik yang tak ikhlas, ia segera menerima panggilan tersebut. Tertera disana: Anjar, Pacarnya. Dulu.

“Halo, Tra? Tra, kamu kenapa mengakhiri hubungan kita yang sudah dibangun dengan baik, sih? Aku cinta kamu, Tra. Aku gak bisa menerima ini semua kalau tidak ada alasannya,” Anjar langsung mengoceh saat Astra mengklik tombol hijau. Tanpa jeda. Tanpa henti. Anjar langsung menumpahkan semuanya.

Sedangkan Astra, hanya bisa membuang napasnya berat. Air mata mulai menyeruak dari tempatnya. “Maaf, Jar. Tapi aku…”

“Apa?”

“Aku memang enggak bisa,”

Klik. Astra segera menutup teleponnya. Membayangkan bagaimana wajah Anjar dilain tempat. Pasti ia memberontak kecil. Sedangkan dirinya, juga masih bimbang dengan tujuannya. Belum jelas.

Astra menyandarkan tulang-tulang punggungnya kembali. Pasrah udara memasuki tubuhnya, membuat tulang dadanya menaik. Bahkan dalam hati kecilnya, dia tidak bisa berjanji akan menebus semuanya, cintanya, pekerjaannya, segalanya. Karena dirinya, belum yakin akan bisa kembali.

***

“Kamu yakin mau melakukan ini semua? Ini bahaya sekali, Tra,” kata Paman Ardi sambil meneguk kopi panasnya. Dia tak menyangka keponakannya benar-benar senekat ini.

Dengan napas yang sesak, Astra menjawab, “Yakin, Paman. Dia sudah datang sebelas kali kedalam mimpiku. Kalau sudah begitu, apalagi kalau bukan yang disebut wahyu,”

“Tapi, Tra. Mimpi itu bukan harus diikuti, mimpi itu belaka. Tak mungkin benar-benar ada,”

Astra meneguk kopinya untuk yang terakhir kali. Dia menyisakannya sedikit. Memang benar sih, dia belum sepenuhnya yakin. Tapi seseorang didalam mimpi itu seolah menariknya untuk datang. Untuk datang kepadanya.

“Em, begini saja. Aku menginap disini semalaman, besok aku akan mencarinya. Paman tak usah khawatir, ya?” Dia segera meninggalkan ruang tamu. Dan segera menuju kamar di rumah pamannya, di Pontianak. Besok, dia akan mencari seseorang yang namanya saja belum pernah terdengar ditelinganya : Wisnu.

***

Kakinya melangkah dengan yakin. Pasrah akan apa saja yang hinggap dikakinya. Ular, serangga, hewan beracun, semuanya. Kini, beberapa bola mata tertuju kepadanya dan seorang anak kecil disampingnya. Dari tadi, dia dituntun oleh seorang anak untuk menemui Wisnu. Awalnya, anak itu tidak mengerti apa yang dibicarakan Astra. Setelah Astra menyebut nama ‘Wisnu’ dia segera mengangguk-angguk pelan.

Astra memandang sekitar. Pohon tinggi dimana-mana. Rumput dimana-mana. Manusia-manusia yang telanjang, walau tak sepenuhnya. Mereka hanya menutupi kemaluannya dan menatap Astra dengan tatapan menyeramkan. Dia juga mengelus dada saat mengetahui keadaan sebenarnya. Dibenaknya, ia pikir ia akan dicabik-cabik sebagai manusia yang tidak dikenal. Tapi kenyataannya, sangat salah. Dan itu semua, benar-benar suasana yang sama seperti dimimpinya.

Tiba-tiba, anak kecil itu menunjuk kearah punggung seseorang. Tak memakai baju juga. Hanya memakai sebuah kain bermotif untuk menutupi kemaluannya. Astra memicingkan mata. Apakah ini yang namanya, Wisnu?

“Wisnu?”

Anak kecil meninggalkanku sendirian. Suasana menjadi sunyi. Tak ada suara. Yang terdengar hanya panggilanku tadi untuknya. Orang yang disebut ‘Wisnu’ itu berbalik badan. Dan ia melempar senyum padaku.

“Aku tahu kau akan datang, Astra,”

Astra menelan ludah. Matanya sedikit melotot. Air matanya mulai beraksi membasahi wajahnya yang penuh keringat. Keringatnya mendingin setelah menatap orang didepannya. Matanya, suaranya, bahasanya, benar-benar seperti orang yang dia sangat kenal.

“Astra? Kau ingat aku, kan?”

Air matanya terus membanjir. Dia tak menyangka bahwa ‘Wisnu’ adalah dia. Orang yang selama sebelas hari menghampiri mimpinya. Segera ia berlari kecil menuju badan orang itu, dan memeluknya erat-erat. Rasa kangen tak terbendung lagi. Dia benar-benar sempat merasa kehilangan amat dalam karenanya.

“Aku tahu, Aku selalu tahu,” Jerit Astra dalam tangis. Pelukannya tak mau lepas. Semakin erat. Wangi keringat orang yang ia peluk juga sangat familiar baginya. Dia tahu. Dia tahu. Wisnu adalah orang yang ia rindukan lima tahun lamanya. “kenapa? Kenapa waktu itu kau pergi? Kenapa kau meninggalkanku?” Ia merutuk-rutuk didada Wisnu.

Wisnu melepaskan pelukannya. Meletakkan tangannya dipundak Astra. Lalu mendaratkan tangan gagahnya dipipi Astra, menghapus air matanya, dan menuju ketelinga Astra. Disana, ia memunculkan sebuah benda dengan ajaib: Cincin.

“Aku pernah berjanji padamu. Aku akan menjadi orang yang pertama untuk melingkarkan cincin ini,” Wisnu segera melingkarkannya kejari manis Astra. “Aku ada kembali karena ini, aku bukan pendusta, Astra.”

Astra menatap cincin yang sekarang menghinggap dijari manisnya. Cincin yang terbuat dari kayu, berwarna merah dan hitam, bermotif seperti batik Toraja, kini melingkar ditempat yang ia impi-impikan.

“Kau masih menerimaku walau dalam wujud Wisnu, kan?”

Astra memandang Wisnu kembali. Dia sedang tidak memandang Wisnu sekarang. Dia sedang memandang Brahma, yang dulu sangat ia cintai. Brahma yang meninggalkannya selama lima tahun untuk bertemu Tuhan. Akhirnya, Astra menyadari bahwa Brahma bukan lagi Brahma, melainkan sosok Wisnu.

Dia segera menjinjit dan mendaratkan kecup sayang pada Wisnu. “Aku selalu menerimanya, Brahma!”


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar