Halaman

Sabtu, 16 Februari 2013

Monolog Lelaki



Saya tahu kamu butuh diam. Saya tahu kesedihan kamu sudah sepatutnya diredam.
Karena apa, saya juga nggak sanggup melihat kamu menangis. Meringkuk sendiri, terisak sendiri, tetapi secara nggak langsung hati saya juga ikut-ikutan meringis.
Kamu tahu kenapa? Di saat jarak kita yang sudah tak mengenal angka, di saat detik-detik bergilir tanpa makna, kamu meninggalkan saya dalam sebuah ruangan yang khusus akan satu makna: kamu menangis.
Lho, saya harus berbuat apa? Saya hanya bisa diam di kursi ini, berhadapan dengan kamu yang menangis sendiri, dan saya nggak tahu apakah saya harus menenangkan kamu, menggenggam tangan kamu, menghapus air mata kamu–saya tahu ini basi memang, apalah asalkan kamu nggak begini.
Konyol, ya memang. Saya selalu kebagian sisi pahit dari kamu. Saya juga nggak pernah menyangka bisa sebegini relanya, bisa sebegini berkorbannya untuk perempuan kayak kamu. Awalnya, saya giring kamu ke zona yang membuat kamu nyaman, saya pertemukan kamu dengan cowok yang kamu idamkan, tetapi lihat, kamu kembali kepada saya di saat kamu sudah mengakhiri itu semua. Ya, boleh deh kalian semua anggap saya pengecut. Cibir saja saya sesuka hati. Hidup saya memang aneh begini. Saya juga nggak tahu. Saya hanya ingin dia bahagia, makanya itu saya perjuangkan. Tetapi... di saat dia sudah menangis begini, saya harus ... nah, itu dia. Saya harus bagaimana?
Kini, saya cuman bisa diam. Saya nggak tahu ini karena persepsi alamiah saya bahwa kamu butuh diam, atau memang saya nggak bisa berkata apa-apa. Atau bahkan, saya nggak bisa melawan lelaki yang sudah menyakiti kamu, yang sudah membuat kamu menangis. Karena, semua itu kembali ke satu pertanyaan dangkal yang membuat saya jauh lebih dangkal: saya cuman sahabat kamu tok. Saya berjuang segede monaspun saya juga akan menjadi sahabat di mata kamu. Tapi, kalau saya diam, sahabat macam apa saya, atau... patutkah saya disebut orang yang mencintai kamu, yang ingin kamu tetap bahagia?
He-he-he, kamu benar-benar sukses meninggalkan saya dalam kebisuan ini. Buktinya, otak saya nyeletuk sana-sini kan, dilatari dengan adegan kamu menangis tersedu-sedu saat ini. Kamu itu hebat, memang. Begini nih, yang buat saya bodoh di hadapan kamu : pikiran saya tuh semrawut, tapi tindakannya nol. Saya nggak bisa buat apa-apa di saat kamu menangis seperti ...
Eh, tunggu. Siapa bilang? Saya bisa, kok. Saya bisa tenangkan kamu. Saya bisa mengusir kesedihan kamu. Saya bisa membuat kamu melupakan lelaki itu. Asalkan, kamu mau dengar. Sedikiiiit saja. Karena kalau banyak-banyak, pasti kamu bilang saya basi. Atau, ‘ngambil quote siapa, lo?’. Jadi, izinkan saya, seorang sahabatmu ini, berkata sama kamu ...
“Mel, jangan nangis terus, dong. Makin jelek masalahnya.”
Dan saat kamu mendengar itu, perlahan-lahan kamu mendongakkan kepala, dan terbitlah satu senyum kecil di sana. “Sialan lo.”
See?  Saya bisa, kan?
Karena apa, saya nggak akan pernah bangga bila saya bisa menangisi seorang perempuan. Tetapi, saya akan bangga, bila suatu saat saya bisa membuat perempuan berhenti dari tangisnya.
Dan, dengar ini, saya rela bila selalu menjadi orang yang membuat kamu berhenti menangis, Mel. Sumpah. Boleh, ya?

Selesai

Pause. Ini curhat sedikit saja, ya. Pertama-tama, saya maaf sekali jarang update blog ini karena apa, padatnya kehidupan anak kelas 9 SMP. Try out, ulangan, ujian praktek, duh, mendingan nggak perlu diteruskan. Jadi, mumpung hari-hari santai begini, ruang ide saya entah mengapa serasa kepenuhan. Dan anehnya, ide-ide itu bisa dibilang lain dari sebelumnya. Entah karena efek bosan, saya jadi mencoba sekaligus menghibur kebosanan saya dengan menulis genre Metropop. Saya nggak tahu, apakah Monolog Lelaki sudah dikatakan berhasil, soalnya ini genre Metropop yang pertama kali saya buat. Kalau dibilang sulit, jelas. Sulit dalam arti membuat bacaan yang mengalir, dan nyaman untuk dibaca. Dan ... ya, Monolog Lelaki ini sukses mengobati kebosanan dan keletihan saya dalam menjalani kehidupan kelas 9 SMP ini.

Cukup sekian. Pffft. *buka buku paket*