Halaman

Sabtu, 04 Agustus 2012

Agen Mars (2)


Kembali lagi! :D Merasa mempunyai hutang dan ditagih keras oleh waktu, saya akhirnya angkat tangan. Memungut satu kata demi kata, menyerahkannya pada tangan yang terus menengadah. Tangan apa? Tangan panjang berwarna putih polos. Kertas.

***
Ah, itu dia! Kardus-kardus bekas!
Matanya merona seketika. Menghunus sebuah benda di seberang jalan. Layaknya filem dengan sebuah kilat yang terus melewat. Kendaraan terlalu cepat sehingga membuyarkan semuanya.
Kakinya mulai melangkah tanpa ragu. Sekilas senyum mengiringi langkah kecilnya. Berbinar memanah kumpulan kardus-kardus tak bermajikan itu.
Sebuah mobil dari arah jauh melaju dengan cepat. Berlomba dengan cahaya, bunyi dan gerombolannya. Termasuk, langkah kecil Mimi.
Mimi, yang terlalu asyik dengan penemuannya tak peduli soal itu. Tak ada longokan, tak ada tengokan. Pasrah dengan apa yang akan menghantamnya. Bertaruh, kardus itu lebih penting dari nyawanya.
Mobil semakin dekat, tetapi tidak ada antisipasi. Mimi terus berlari kencang, sama seperti mobil tadi, yang akan menghadangnya.
Benar saja, selang dua detik, teriakan sudah membahana. Menggores luka yang pedih terhadap mata. Pemandangan pilu sudah bisa mengiris hati para manusia yang melihatnya.

***
Di Rumah Sakit, Budi benar-benar goyah. Dia benar-benar tidak terkendali. Keringat dingin sudah menetes hingga jatuh tak terhitung. Perasaan takut sudah bergetar kencang, membunyikan lonceng hatinya.
Mimi, Mimi, Mimi.
Nama yang terus terngiang di telinga Budi. Sejak tetangganya mengabarkan bahwa Mimi mengalami kecelakaan, hatinya tidak terus berhenti berceloteh. Buih-buih mata sudah siap di belakang panggung. Opera menyedihkan akan segera disibak, berlatar sebuah fiksi yang belum diungkap.
Kini, dia sudah berada di samping adiknya yang terbaring lemas. Matanya mengatup, senyum tak lagi muncul. Sejumlah harapan terus bermunculan di tengah tangis yang sangat menyesakkan hati.
Bangun Mimi, bangun.
Tak henti ia merapal kalimat sejenis itu. Berkali-kali, hingga kalimat itu seperti menjelma menjadi mantra, menjadi napas baru yang menembus tubuh adiknya, hingga Mimi menggerakkan tangannya dan matanya terbuka dengan sangat berat.
“Kak…”
Budi mendongak pelan. Wajahnya ingin sumringah, tetapi entah mengapa tidak bisa. Tangannya langsung menghampiri tangan Mimi. “Mimi…”
Dengan gerakan mulut yang berat, Mimi mengucap, “Kak, tolong jaga bumi, ya. Mimi nggak yakin, Mimi bisa mengabdi lebih lama,”
Budi menganga, menggeleng-geleng. Tangisnya mengucur dengan spontan. “Nggak, Mimi. Kamu itu kuat, kamu bisa menjalani semua ini, Mi,”
Mimi mencoba tersenyum simpul, menyebarkan keindahan. “Mimi ingin yakin, namun rasanya susah, Kak. Mimi hanya sadar, bahwa misi kita itu kekal, sedangkan Mimi tidak,”
“Mi, kamu itu pernah bilang, kamu ingin menjalani misi dengan giat, kamu pernah bilang kamu mau menjadi alien Mars yang baik. Kamu masih ingat, kan? Kamu masih mau seperti itu, kan? Kamu harus bangkit, Mi. Kakak nggak bisa berdiri sendirian,” Tangisnya semakin menyesakkan pita suara. Tercekat dalam segenggam kesedihan. Kesedihan yang sama seperti saat ingin kehilangan ayahnya. Ayahnya, yang merangkai semua cerita ini dengan indah, hingga dirinya dan adiknya percaya, bahwa semua itu benar adanya. Percaya bahwa dirinya adalah makhluk asing yang diturunkan di bumi dengan sejumlah misi, menyelamatkan bumi dari bahaya. Dirinya tahu, itu konyol. Itu fana. Tetapi, dia percaya. Sangat percaya.

...Budi, ayah ingin bilang sekali lagi, rawatlah bumi seperti kamu mencintai hidup. Kamu hanya cukup berpikir, zaman masih membentang luas. Generasi Mars masih menunggu di belakang. Kita, alien-alien kecil hanya cukup menjalani misi dengan sebaik-baiknya. Mars sangat sayang kepada Bumi, Budi. Ketauhilah.

Mimi tersenyum kecil, “Mimi bukan alien, Kak,”

...Nanti, jika ayah lebih dulu kembali ke Mars, meninggalkanmu dan adikmu sendirian, tak usah khawatir. Kamu tinggal menurunkan rahasia hidup ini kepada adikmu dan berkata: sayangilah bumi seperti Mars menyayangi Bumi. Bilang kepadanya, kita adalah alien ajaib, bukan manusia biasa. Jangan mengungkap cerita ini terlalu cepat, Budi. Karena adikmu pasti akan mengetahuinya lebih cepat. Jangan cemas.

“M...Mimi?”
“Mimi itu manusia biasa, Kak. Mimi sama seperti manusia lainnya, berpijak di tanah, lahir di bumi dengan menembus rahim masing-masing,” Mimi mengambil napas panjang, berusaha untuk kuat dalam mengutus kata-kata. “Tetapi tak ada yang salah, Kak. Cerita fiksi itu benar-benar membuat kita kuat, sekaligus berbeda,”

Saat dia beranjak dewasa, dia akan mengetahui segalanya. Dirinya akan menyadari, cerita ini akan membuat kita berbeda. Cerita belaka dari Ayah ini akan menguatkan jalinan kalian. Ini yang akan menopang hidup kalian, percayalah.

Budi menyeka air matanya, terharu melihat drama yang akan segera berakhir ini. Cerita yang akan berwujud dalam butiran debu hingga berbaur dengan luasnya udara. Tak memandang arah.
“Cerita ayah membuat Mimi lebih mensyukuri hidup, Kak. Cerita ayah yang membuat Mimi kuat di balik segala keterbatasan,”
“Tapi, Mi. Mimi jangan tinggalin Kakak lebih dulu. Kita harus menjalankan misi ini sampai selesai. Bumi masih butuh bantuan kita, Mi. Masih banyak orang-orang jahat di bumi ini,” Budi semakin terisak tangis. Dia benar-benar tidak siap menutup semua lembaran cerita ini.

...Sampai pada saatnya, kita memang harus menutup lembaran cerita ini semua. Karena jika kita sudah membuka, kita harus berani untuk menutup, Budi. Tak usah cemas, penutup tak selalu mengerikan. Alien-alien yang diutus Mars masih tetap ada di luar sana. Masih ada orang yang bersifat layaknya penghuni Mars. Tak usah khawatir, Budi.

Budi menangis dengan derasnya. Dia merasakan atmosfer yang sama saat memori-memori mengingatkannya kepada perbincangan empat mata dengan ayahnya, saat kematian sedang mendekat. Namun dirinya tak lagi-lagi siap. Menutup semuanya. Dia belum siap.
Mimi menggerakkan tangannya dengan berat, menatap mata Budi yang sudah penuh dengan air. “Kakak jangan nangis. Mimi yakin, Kakak masih bisa menjalani misi walau tanpa Mimi. Mimi yakin, kok, soalnya Kakak selalu ikhlas menjalani hidup. Walau hanya terus memungut sampah, tetapi Kakak ikhlas. Itu yang buat Mimi yakin,”
“Mimi...” lirih Budi dengan membalas tatapannya. Tatapan lurus dengan menegaskan kata-kata.
“Maafkan Mimi belum sempat memberi kenang-kenangan untuk Kakak, ya. Namun Mimi hanya ingin titipkan kepercayaan kepada Kakak. Mimi serahkan peran Mimi dalam misi ini untuk Kakak,”
Budi tidak bisa lagi berkata-kata. Terbata-bata pun tidak. Hanya tangis yang menjelaskan semuanya.
“Kak, sayangilah bumi seperti Mars menyayangi Bumi. Ubahlah bumi menjadi planet yang indah. Bahagiakanlah seluruh manusia di muka bumi. Karena Kakak, tak pernah sendiri. Mimi dan Ayah, akan memantau Kakak dari teropong di planet Mars,”
Tiba-tiba napas Mimi mulai sesak. Jantungnya bertalu tak beraturan. Tenggorokannya tercekat dengan keras. Sebuah ruh akan direnggut pada saat yang bersamaan. Meninggalkan raga yang sudah menjadi teman lama.
Mata Mimi mendelik, mengucap dengan tergagap-gagap, “...Kak, tolong jaga bumi, ya...”
Tatapan kosong Mimi berubah menjadi mata yang menutup. Kepalanya terbaring lemas dengan senyum yang mencerah. Wajahnya menampakkan senyum bahagia dalam sebuah perpisahan yang manis.
Budi teriak diiringi tangis yang semakin membanjir, menggenggam tangan Mimi dengan erat. Membelai rambut panjang adiknya yang sangat ia puja. Lagi-lagi dia harus kehilangan orang yang ia amat sayangi.
“Ya, Mimi. Kakak selalu ingat. Selalu,” Budi memeluk tubuh adiknya erat dengan air mata yang terus mengalir di tebing pipinya.
Dia pun mendekatkan bibirnya ke telinga Mimi, berharap adiknya masih bisa mendengar sebuah bisikan cinta terakhir darinya.
“Kakak janji, Mimi. Kakak janji. Kakak, akan menjadi agen Mars yang bisa membahagiakan bumi, manusia, dan kamu,”

Budi, waktu memang terus berperan. Perlahan, alien-alien akan kembali ke planet asalnya. Tapi tak usah khawatir, kau jalankan saja misimu dengan sebaik-baiknya. Karena kami, akan selalu menontonmu dalam teropong Mars yang amat jauh, namun dekat di hati.



...Selamat menjadi agen Mars, Budi.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar