Halaman

Senin, 26 Maret 2012

Hadiah Kecil untuk Ayah

Untuk pahlawan penangkis segala bahaya,
Surat ini adalah segugus gumpalan rasa yang sudah bereaksi semenjak aku tercipta sebagai embrio dalam rahim ibuku. Sungguh, saat aku ada, rasa itu sudah ada. Rasa keingintahuan untuk mengenal dua orang yang sangat misterius.

Mungkin surat ini akan menjadi rongsokan sampah yang tidak akan berguna. Karena beberapa sebab, tidak dibaca, atau kau sudah mengetahui ini semua. Untuk kali ini, aku memberikanmu waktu untuk menyimpulkan segala hal, bahwa aku seorang pengecut, dan lainnya.

Surat ini hanya ingin sebagai ungkapan terima kasih yang sudah tertampung penuh dalam otak. Walau otakku sendiri tak pernah bosan menangkap namamu. Dirimu, yang termasuk dalam daftar orang-orang yang menjadi panutan hidupku.

Sungguh, engkau yang membuatku menyadari hidup. Mensyukuri hidup. Menyadarkan bahwa tak ada yang perlu disesali karena sudah terlahir menjadi manusia. Bertemu denganmu dan ibuku yang ternyata sangat baik dan penuh kasih sayang.

Aku tahu kau adalah manusia baik-baik. Entah mengapa. Saat kau menjadi imam dalam sebuah jamaah salat, membalikkan punggungmu menghadap kiblat, mempertontonkan punggungmu kepada mataku, itu semua benar-benar luar biasa. Sambil menyebut untaian kalimat indah untuk-Nya, kau sedang membopong diriku bersama makmum lainnya untuk mengelilingi surga yang masih terkunci.

Kau yang kutahu. Fisik dan seringai yang sangat kutahu. Bertubuh pendek, tak kurus dan tak gendut, memiliki lingkaran hitam di keningmu (katamu, kau dapatkan warna hitam itu saat berada di Sulawesi) dan dengkuran khasmu saat kau tidur.

Menurut penelitianku selama ini, teman-temanku menganggapmu bahwa kau itu sangat menyeramkan, dan aku hanya bisa terpingkal kecil. Mereka memang belum mengenalmu jauh sepertiku, tetapi pernyataan itu tak sepenuhnya salah. Dari luar, kau memang menyeramkan. Tetapi... itu yang membuat kami nyaman dari segi luar maupun dalam. Dari luar, mungkin kau disegani. Dari dalam, kau membuat kesejukan bagi keluargaku tanpa ada sisi seram sedikitpun.

Jika diberi pilihan, aku ingin sekali bersama dirimu, ibuku dan adikku untuk selamanya. Karena saat aku dewasa, ada bisikan kecil yang menjalar membangunkan gendang telingaku. Membuatku sadar dan bergidik takjub.


"...Jangan pernah lupa, kau diutus untuk membahagiakan orang tuamu,"



Dan bisikan itu yang memunculkan pepatah kecil yang menonggak diriku selama hidup. Yang menjadi rahasia yang terbangun tak sengaja dalam diri. Terpatri resmi.

"Aku diciptakan karena sebuah cinta dua pasangan manusia. Aku diciptakan untuk melengkapi sebuah cinta. Sebelum aku lahir, aku menjadi harapan dirimu dan ibuku. Bahkan sampai sekarang, kau masih menggantungkan harapan kepada diriku. Aku tahu itu. Aku selalu tahu,"


Ayah, mungkin ini secercah celah otak yang selalu rindu akan namamu. Berhias pemikiran-pemikiran, rutinitas, ajaran agama yang turun dari pemikiranmu. Aku, benar-benar tak menyesal sempat mengenalmu.

Ayah, mungkin aku tidak bisa membalas semua jasamu. Tidak bisa membalas butir-butir keringatmu yang kau hasilkan, tapi percayalah. Suatu saat, aku, anakmu, akan timbul di atas permukaan dunia, dan menyerukan: bahwa aku anakmu yang akan menaklukan dunia!

Dan maukah kau berjanji denganku untuk membangun rumah indah di Surga nanti untuk keluarga kita nanti?

Cukuplah sudah. Kisah-kisah yang sebenarnya tak sepenuhnya tumpah, namun dirangkum dengan manis. Terserah kau tak percaya bahwa aku bisa menulis ini, mengingat diriku yang jarang berinteraksi, berbincang denganmu hanya empat mata. Asal kau tahu, aku bisa, karena dirimu yang sudah duluan bisa.


Dan, ini adalah hadiah kecilku untuk usiamu yang sudah menginjak 43 tahun. Selamat ulang tahun, Ayah...


Anakmu,



Mohamad Sofwan Rizky.

P.S. Bagi para pembaca, jadilah saksi bahwa aku sempat menulisnya ya. Jika aku pergi lebih dulu, katakan padanya, bahwa aku sempat menulis surat untuknya. Beri tahu dia untuk membacanya di blog ini.



Jumat, 02 Maret 2012

Petir


Bagaikan parade menyorotkan atraksi
Menerangi sejumlah titik yang ia mau
Menggugah para makhluk di muka bumi
Membuatnya bersorak sorai gembira
Tak terkendali

Dia datang
Memecah keserakahan para saksi
Gemertaknya berkoar-koar gratis
Tanpa ada perjanjian kompromi
untuk sedikit dispensasi

Dia datang
Menjalankan sebuah misi terang-terangan
Tanpa harus strategi dan taktik belaka
Untuk menerjang para musuh
yang tak percaya kepada tuannya

Dia datang
Dengan mempertunjukkan keperkasaannya
dehaman kuat panjang
setruman ajaib
yang memonopoli permukaan

Dia datang
Terbahak puas melihat manusia
Terpojok dalam segelintir rasa takut
menutup telinga
menyebut nama tuannya

Dia pergi
dengan tugas terkendali
Gelakan tawa pasti terdengar
Kepuasan mengelilinginya pasti

Karena dia sebuah petunjuk jelas bagi para makhluk
bahwa ada yang akan menyambar lebih dahsyat
dibandingkan dirinya

-yang sebatas serenade kecil
bertabur jari
namun membuat telinga memekik takjub


...Tuannya petir.

Kamis, 01 Maret 2012

Terserah

Gesekan sendok beradu dengan cangkir. Melarutkan gula yang baru saja tertuang. Menabur rasa yang indah -akan segera tertanda jelas. Ini untuknya. Untuknya. Untuk Aleva.

Senyumnya tak berhenti mengembang. Bagai ragi dalam sebuah adonan roti. Sebersit cahaya matahari menyaksikan kebahagiaannya. Tuhan juga menjadi saksi relungnya yang menjadi tempat perkumpulan reaksi-reaksi cinta.

Dentingan sendok memetik bibir cangkir dengan anggun. Rana tersenyum puas. Wangi teh buatannya tercium harum. Lezat untuk dicicipi. Segera ia bangkit dengan membawakan teh andalannya menuju kursi depan.

"Aleva, lihat apa yang Ibu bawakan?" tanya Rana dengan nada menyenangkan. Bibir merahnya mekar tak menghambat.

Rana meletakkan cangkir di atas meja. Sengaja ia membuat suara tubrukan dengan kaca itu terdengar nyaring. Agar Aleva mendengar bahwa ibunya telah membuatkan teh untuknya.

Rana menopang dagunya. Menatap benih cantiknya. Melihat rambut hitamnya yang terajut dengan lurus, bibir anaknya yang jika dilihat mirip dengan suaminya, mata yang biru menunggu untuk disibak. Cantik, katanya. Tak apa ia menunggu sampai 19 tahun untuk mendapatkan seorang anak. Anaknya sangat tumbuh menjadi gadis rupawan.

Rana tersenyum lagi. Aleva memang suka minum teh. Entah mengapa. Teh salahsatu rutinitas yang digemari Aleva, sejak awal bertemu. Jika diingat, Rana sempat kaget saat Aleva meneguk secangkir teh. Habis. Tetapi akhirnya, itu semua merupakan tata cara yang dianggap wajar.

"Aleva, diminum tehnya," tangan Rana menggeser cangkir itu lebih dekat dengan Aleva yang sedang mematung kosong. Tak bergerak. Mata terbuka. "Ini teh kesukaanmu loh,"

"Terserah," jawab Aleva dengan nada datar tak terikhlaskan.

"Iya, ayo diminum Nak."

"Terserah,"

"Aleva..."

"Terserah,"

Rana mulai beraksi. Segera ia menyodorkan cangkir ke bibir mungil Aleva. Tak terbuka. Aleva melawan keras. Bibirnya terus mengatup bagaikan berhibernasi.

"Aleva, minum!"

"Terserah,"

Air mata Rana mulai berkecipak.

"Aleva!"

"Terserah,"

Pita suara Rana mulai merintih peluh.

"Aleva! Minum, Nak!"

"Terserah,"

Tangan Rana gemetar kuat. Cangkir terjatuh memecah keheningan. Membuka portal air mata di pelupuk mata Rana. Pita suaranya menjerit bebas. Dia merutuk-rutuk di lantai.

"Dasar kamu!" Rana bangkit dari lantai. Mencekik Aleva kuat. Meremas rambut anaknya. Mencubit anaknya keras.

"Terserah. Terserah. Terserah," ucap Aleva tanpa nada kesakitan.

Emosi Rana sudah mencapai titik tertinggi. Amarahnya sudah berkolaborasi dengan rasa sedih yang belum tersirat. Segera ia membuka bagian belakang baju Aleva. Membuka kulitnya paksa.

"Aku tak butuh kamu! Aku lebih baik menunggu beberapa tahun lagi agar ada benih yang tertanam dalam rahimku!"

Rana membuang baterai yang sejak bulan kemarin sudah tertancap di dalam tubuh Aleva. Tangisnya menyalang tak terperi. Ia lebih setia dengan menunggu. Walau terkadang itu meremas otak keseimbangannya kuat.

Kini dia tak butuh Aleva. Dia hanya butuh seorang anak...


...Manusia.

Selesai