Halaman

Kamis, 29 Desember 2011

Pertanyaan Seorang Ateis


Aku hanya bisa menghela napas melihat keadaan hidupku ini sejak kecil. Aku menjadi tampak iba dengan hidupku ini. Aku juga merasa kasihan. Dan aku merasa aku beda sendiri. Bertahun-tahun aku mengalami seperti ini, hanya membuatku gelisah. Digantungi dengan beribu-ribu ah, lebih dari itu. Bermilyar-milyar pertanyaan. Pertanyaan yang menurut orang simpel saat menjawabnya.

Saat aku mengenyam pendidikan, aku baru menyadarinya. Aku baru menyadari bahwa aku memang seperti anak yang memiliki kelainan. Disana, aku mengenal yang namanya agama. Bahkan 'nama' itu menjadi pelajaran rutin setiap minggu. Mulai muncul berbagai pertanyaan. Aku menanyakannya kepada orangtua, mereka hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dia membelai rambutku, dan berkata 'kau tak perlu mencarinya.' Setelah itu, aku merasa tenang. Melihat pelajaran 'Agama' yang hanya muncul sekali dalam seminggu. Kalah dibandingkan pelajaran Bahasa, Matematika dan IPA.

Tapi kau tahu? Rasa gelisah itu muncul lagi saat pengambilan rapor. Di halaman pertama, aku melihatnya. Tertera disana, "Agama: -". Kosong. Tidak berisi. Saat kubalik halamannya, melihat nilai-nilaiku, Nilai agama juga tak bernilai. Sekarang, muncul lagi pertanyaan.

Apa itu agama?

Saat menduduki bangku SMA, aku menjadi tertarik. Pergaulanku semakin luas. Melihat temanku bersujud-sujud di 'Masjid' sekolah, pergi ke gereja pada hari Minggu, temanku yang meletakkan sesaji di 'tempat suci', dan lainnya.

Aku membuka buku catatanku yang selalu kubawa. Mulai sekarang, aku akan mencatat pertanyaan-pertanyaan yang melintas di otakku. Pertanyaan yang menunggu untuk dijawab.

1. Apa itu yang bernama 'agama'? Kenapa harus ada 'itu' dalam hidup manusia?
2. Apa agamamu?
3. Kenapa Agamamu 'itu'? Kenapa tak yang lain? Mengapa kau meyakininya? Memang berasal dari hati? Atau bawaan orangtua? Sehingga, kau hanya mengikuti agama orangtuamu itu, tanpa tahu alasannya?

4. Siapa 'Tuhan'? Kau memercayainya?
5. Sempatkah kau berpikir, mengapa 'Tuhan' setiap agama berbeda?
6. Kenapa ada orang yang berpindah 'agama'?
7. Dan kamu bisa yakin agamamu benar ditengah banyaknya orang yang meyakini bahwa agamanya (yang berbeda darimu), juga benar?
8. Apakah setiap agama memiliki surga dan neraka-nya sendiri?

Aku menutup buku catatan. Pertanyaan ini semua butuh jawaban. Kau bisa menjawabnya? Tolong, siapapun. Bantu aku. Aku tahu, siapapun dirimu, apapun agamamu, kamu pasti yakin. Kamu yakin dengan agamamu. Agama yang menurut sebagian orang simpel, jadi tak heran sebagian orang juga melalaikannya.


Apakah kamu termasuk?


Belum, belum selesai.
Karena aku, masih mencarinya...


Foto: Kesini!

Rabu, 28 Desember 2011

Gadis Dongeng


Anela, peristiwa beberapa tahun lalu membuat hidupku lebih unik. Ya, unik. Aku benar-benar baru mengerti sekarang. Apa maksudmu saat perjumpaan kita di kafe seberang kampus. Saat itu aku hanya tertarik pada dirimu, bukan buku tebal dongengmu.

Dulu, aku hanya melihatmu turun dari bis kota di depan gerbang sekolah. Kau tampak sibuk. Merapihkan rambut, membawa beban yang tampaknya berat dibahumu dan tak luput buku tebal yang selalu kau bawa. Buku itu sangat tebal, Anela!

Aku mulai mengenalmu hanya dari berita angin. Berita yang sayup-sayup terdengar masuk ketelingaku. Berita yang langsung kucerna, dan tersenyum. Orang-orang bilang kau itu aneh. Ada juga yang bilang, kau itu gila.


...Dan kau tahu? Berita itu seperti mulai memunculkan benang merah diantara kita.

Benar-benar butuh perjuangan untukku untuk bisa duduk didepanmu saat kita bertemu di kafe. Aku memikirkan rencana ini semalaman. Berawal dari mengikutimu menaiki bis kota, berusaha untuk menabrakmu di tikungan kampus, mencarimu di perpustakaan, hingga berkontak langsung kepadamu untuk tugas kampus.

Saat itu juga, itulah pertama kali kita saling berbincang. Aku menanyakan segala pertanyaan yang terus mengikatku sejak aku mengenalmu. Semuanya ditumpahkan semua pada kedai kopi di seberang kampus kita. Aku tanyakan semuanya, hidupmu, bis kota, kehidupanmu, matamu yang cukup hebat menghadapi buku-buku tebal dan buku tebal yang selalu kau bawa itu.

Dan kau pasti masih mengingatnya, Anela. Saat kau mengatakannya, aku menjadi terbelalak. Aku benar-benar tak sanggup. Memori-memori yang sudah pecah menjadi satu diotakku pada saat itu. Kau pasti ingat, alasanku untuk menyelesaikan perbincangan di kafe ini. Dan kau dapat melihat ekspresiku membanting pintu kafe. Sementara kau hanya duduk manis dan tersenyum. Itu semua masih ada di otakmu, kan? Apakah kau tak mengertinya?


Ya, perasaanku yang aneh terhadap dirimu. Rasa sayang.



Aku masih tak sanggup menerimanya. Aku juga masih mengingat mimik muka sahabatku saat mendengarnya.

"Kau tak jadi, dengannya?" tanyanya.

Aku menggeleng lesu. Sahabatku menghembuskan napas berat. Dia benar-benar tak mengerti.

"Lalu, apa yang kau dapatkan dari pertemuan itu? Kau tak menyatakannya?"

"Yang aku ingat sepertinya dia juga menyukaiku,"

"Lalu, mengapa kau..."

"Dia ingin siapapun pacarnya nanti, ,menyukai dongeng."

Sahabatku terdiam. Sekarang ia baru mengerti sebabnya. Dia mengerti hubunganku dengan yang namanya dongeng. Hubungan bagai minyak dengan air. Tak akan. Takkan bisa menyatu. Saat itu, aku belum mengerti. Kenapa kau menyuruh siapapun calon pacarmu menyukai dongeng. Kisah-kisah yang tak akan jadi kenyataan. Seperti kisahku saat ini. Saat mendengarnya, Anela.

25 tahun silam, aku baru mengerti semuanya. Cucuku membeli buku dongeng. Ia meminta aku membacanya. Aku sudah menggeleng, tetapi ia merengek. Apa boleh buat, itu adalah pertama kalinya aku membaca dongeng.

Halaman demi halaman, akhirnya sampai dengan akhir yang tak bahagia. Sang puteri tidak menjadi permaisuri sang pangeran karena dongeng penyebabnya. Rasanya aku menjadi mengenali tokoh yang ada didalamnya. Sejenak aku berpikir, tokoh itu adalah aku dan dirinya, Anela. Segera aku menutup buku dan aku melihat namamu sebagai sang dalang di sampul depan.

Sekarang, aku baru mengerti. Kau menginginkan lelaki yang mempercayai dongeng untuk percaya akan dongeng yang sedang dijalaninya. Aku tak menyangka bahwa kisah kita adalah dongeng, Anela! Kini, aku menyesalinya. Sampai sekarang pun rasa itu masih tertahan, walau secuil.

Segera aku memerintahkan cucuku,:


"...Beli buku dongeng yang banyak, nak!"


Selesai


P.S. Dalam rangka menyemarakkan #cumanaksirunite, aku hanya bisa membuat cerita (fiksi) ini. Aku belum banyak berpengalaman tentang ini, @hurufkecil. Aku masih 14 tahun. Setidaknya, ini mengisi liburan sekolah 2 minggu-ku ini. Thanks!

Jumat, 04 November 2011

Cinta Danbo Part 1

Anak-anak didikan tumblr pasti mengenalnya. Sebuah kardus berwarna coklat yang tidak biasa. Memiliki mata, mulut, tangan dan kaki.Dan pastinya, dia sangat lucu. (?) Fenomena Danbo sudah begitu booming. Dengan wajah polos dan lugu, dia dapat menghipnotis para manusia. Sehingga, google, tumblr, dan yang lainnya begitu bosan dengan keyword 'Danbo' yang mereka akses. Berikut adalah sebuah... cerita fiksi tentang Danbo, yang dibuat dengan tujuan iseng. Selamat dicicipi!


Cerita, dimulai...

Suatu hari, hiduplah sebuah kardus yang rongsok, tapi menarik. Matanya yang bulat, kepalanya yang kotak, begitu jelas bila dilihat dari kejauhan. Tapi siapa sangka, hidupnya penuh kesendirian. Bukan selamanya sendiri, tetapi dia memang belum menemukannya. Suatu hari, ia datang ke padang rumput yang luas.

"Subhanallah..padang rumput yang menakjubkan..." ucapnya kagum. Memang, suasana di padang rumput itu memang begitu indah. Matahari yang sedikit lagi terbenam, suara perbincangan angin dengan daun dan padang rumput yang sepi.

Tapi, sesuatu telah membangunkan otaknya. Dia mendengar suatu langkah, dari kejauhan. Ia berbalik badan dan memicingkan mata bulatnya. Dari matanya, tampak sesosok yang berwujud kotak dan memiliki 2 mata. Jalannya agak condong ke ngesot... Danbo pun semakin penasaran. Siapakah dia?

Sesosok yang kotak itu semakin mendekat. Mata bulat Danbo pun semakin terbuka. Bayangan wujud 'kotak' itu semakin jelas. Dan... sesosok itu sudah didepan Danbo, tiga sentimeter dari posisinya.

Danbo hanya terdiam. Ia memperhatikan tubuh sesosok yang ada didepannya. Kotak..Memiliki dua tangan.. dan dua mata. Danbo sama sekali tak berkedip. Entah kenapa, sesosok yang ada didepannya begitu mempesona baginya. Sampai akhirnya, sesosok itu meraih tangan Danbo, dan mengajak berkenalan.

"Hai..Sedang apa kamu disini? Perkenalkan, namaku Wall-E, pembersih sampah," ucap Wall-E pelan sambil tersenyum.

Danbo pun menjadi gugup. Dengan ragu dan terbata-bata, ia mengucapkan "Emm.. ya. Namaku Danbo,"


Wall-E hanya mengangguk sebisanya. "Terus, kenapa kamu berada disini?" tanya Wall-E penasaran.

Danbo semakin takjub dengan gaya bicara Wall-E. Suaranya, apa yang dibicarakan, begitu menarik dalam pikiran Danbo. "Haha..tak apa. Hanya mencari tempat yang segar. Ternyata, aku menemukannya disini."

"Kau bilang tempat ini indah?"

"Ya, indah. Sangat indah." jawab Danbo yakin.

Wall-E hanya tersenyum dan memandang padang rumput yang luas ini. "Terimakasih jika ini memang indah. Padahal, dulunya tidak begini. Dulu, padang rumput ini penuh dengan sampah. Tapi, semenjak aku membersihkannya, tak sangka akan menjadi seindah ini,"

"Kau yang membersihkannya? Sungguh? Padang ini begitu luas, Wall-E! Kau luar biasa!" tanya Danbo tak yakin.

Wall-E hanya mengangguk tersenyum. Tanpa ada isyarat, Wall-E meraih tangan Danbo, dan mengajaknya mengelilingi padang rumput. Hingga sampai... di bagian tengah padang rumput tersebut.

"Hei! Kenapa kau mengajakku kesini?" tanya Danbo sambil menggaruk kepalanya.

Wall-E tersenyum kembali. "Pemandangan akan lebih indah bila dilihat disini. Sekarang, baringkan tubuhmu disini,"

Tanpa kata, Danbo langsung menuruti perkataan Wall-E. Hingga ia, benar-benar melihat semua karunia Tuhan.

"Sekarang, tatap langit menjelang malam ini. Lihat gradasi warnanya. Begitu indah bukan?" tanya Wall-E sambil menunjuk langit.

"Indah! Sangat menakjubkan! Aku belum pernah melihat tempat ini sebelumnya!" seru Danbo.

"Sekarang, kau mau menjadi temanku?" tanya Wall-E.

Danbo menoleh kearah Wall-E. Tak perlu berpikir, ia langsung menjawab. "Mau! Sangat mau!" ucapnya semangat.

"Walaupun aku pembersih sampah?"

"Ya, aku tetap mau walaupun kamu itu sampahnya, misalnya."

Wall-E tersenyum kecil. Dan menatap langit kembali. "Terimakasih, Danbo.." bisiknya pelan.

Mereka pun melanjutkan menatap langit. Sesekali Danbo menatap ke arah Wall-E.

Wall-E, aku bingung ada apa pada perasaanku saat ini..


Bersambung

Upil

Sebelumnya, saya sudah buat cerita tentang Upil. Sekarang apa sih itu upil? Bisa gak, jawab kalau ada anak umur 4 tahun yang belum tahu apa-apa nanya tentang upil? Pernah kebayang gak kalau kamu bakal jadi Juru Upil Sedunia?

Ini perlu dicatat. Terserah sih. Siapa tahu Upilmu bisa menyimpan informasi.



1.

Kalau ku tak ada, ingusmu akan kesepian~

Menurut KAKUS (typo): Upil itu bulat; lengket; Kumpulan ingus yang mengeras; Sebuah anugerah yang tak terhingga; Simbol kebahagiaan; Bisa dimakan bila menembus ke saluran mulut; terkadang elastis.

Menurut Tolololpedia (Serius! Bisa diakses http://tolololpedia.wikia.com/ ): Upil adalah nama sejenis merchandise yang bisa anda dapatkan apabila berhasil melakukan sebuah ekspedisi di hidung. Berbentuk seperti kristal padat berwarna agak keabu-abuan, sebutir upil biasanya memiliki komposisi berupa debu, ingus yang telah mengeras, dan bulu hidung. Jika kita beruntung, terkadang pada upil yang berhasil dikeruk dari dalam hidung mengandung sedikit ingus yang masih kental.

Lihat? Upil sangat luar biasa. Upil memiliki ciri-ciri yang fantastis dan bombastis. Upil juga merupakan suatu kreatifitas dari hidung kita yang memiliki batas kapasitas.

Jenis dan ukuran upil berbeda-beda, tergantung besar dan diameter dari lubang hidung pemiliknya.. Upil bisa berukuran kerikil atau bahkan hanya serpihan layaknya kue.

Sekarang, coba cek upilmu. Apakah besar? Atau kecil? Jadi pujaan atau terabaikan?



2.

Di hidungmu sekarang ga ada upil? Terus mau cari upil? Mau peluk upil? Gampang~. Upil dapat kita temukan di tempat-tempat yang strategis dan terjangkau.

A. Dinding, coba kalian bawa kaca pembesar dan pinset. Selidiki dinding di rumahmu. Jika kalian menemukan lingkaran yang unik dan imut, raihlah pinset. Dan capitlah upilnya. Ini butuh tenaga. Ingat, upil itu lengket. Setelah diraih, tataplah dengan penuh cinta. Upil butuh dicintai, bukan untuk disakiti.

B. Lantai, percobaan untuk menemukan upil di lantai bisa dengan cara kebersihan. Karena kebersihan sebagian dari iman, cobalah kamu sapu lantai rumahmu. Ayunkan sapumu terus menerus. OH IYA! Ini butuh rasa peraba yang sensitif. Jika sapumu terganjal dengan sesuatu yang kecil nan lugu (re:upil), ambillah dan copot dari sapumu. Tatap dengan baik-baik. Apakah itu upil? Atau tidak. (PERHATIAN: JANGAN MENGAMBIL UPIL YANG BAJAKAN! AMBIL YANG ORIGINAL!).

C. Bagian Bawah Meja (Bagian Bawah Alas Meja)
Kalian bisa melakukannya di sekolah. Saat jam pelajaran tepatnya. Raba bagian bawah alas meja kalian, ingat dengan halus, jangan kasar. Bila merasakan ada sesuatu seperti kelereng berukuran mini, ambil. KALIAN MENEMUKANNYAA! ;D

Tapi... Jangan-jangan bisa jadi kalian yang menempelkannya disana. Dan jangan-jangan... saya yang nemuin upil kalian. Dan jangan-jangan kita bakalan dipertemukan oleh upil? Apa kita berjodoh karena upil? Entahlah.


3.
Korek hidungmu. Jika kalian temukan upil, ambil. Setelah itu tatap ia baik-baik. Dan... Buang? JANGAAAAAN! Upil memiliki banyak manfaat, Upil bukan salahsatu hal yang sia-sia. Berikut adalah salah satu fungsi Upil:

a. Bila dimakan, bagus untuk kesehatan.
Saya menemukannya lewat terselubung.blogspot.com, Dimana Prof Dr Friederich Bischinger, yaitu Dokter spesialis di Australia pernah menyarankan orang untuk makan upil (kotoran hidungnya) sendiri karena diklaim bisa meningkatkan kekebalan tubuh.

"Makan upil kering adalah cara yang bagus untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh. Secara medis itu masuk akal dan hal yang wajar untuk dilakukan. Dalam sistem kekebalan, hidung adalah filter yang menyaring banyak bakteri menjadi satu dan ketika campuran ini tiba di usus akan bekerja seperti obat," kata Prof Bischinger.

Mau dicoba? Nyam.

b. Upil bisa mengobati bisul.
Awalnya ini berawal dari usul Ibu saya. Dimana saya merasakan ada bisul, dan mengeluh kepada Bunda. Kata Mommy, jika kita bisul, kita bisa mengolesinya dengan upil. Belum tentu manjur sih, tapi saya terus ngelakuin itu.

Untuk melihat pendapat penduduk di Indonesia, saya searching di google. 'Upil Obat Bisul' dan Oh! Ada yang berpendapat seperti itu juga!

Mau dicoba? *kedip-kedip manja*

c. Lem Alternatif (?)
Lem abis? Lagi prakarya? Yaduu. Pasti bikin ribet. Tapi ingat, kita dapat memanfaatkan sebaik-baiknya apa yang kita punya. UPILLL! Ini langkahnya: Korek, Dapat, Olesi di bagian yang ditempel dan tempel. VOILAA! ;D

Walaupun belum dijamin, tapi siapa tahu tips-tips eksklusif ini berguna. Selamat mencoba!


4.

Upil memang merupakan suatu fenomena yang tak dapat dipungkiri lagi. Semua manusia melakukannya. Dan ingat, mengupil itu bukan hal yang negatif sepenuhnya. Mengupil adalah proses pembersihan hidung. (CATAT!) Tapi yang perlu diterapkan, Mengupillah pada tempatnya. Jangan buat ilfeel si doi hanya karena upil.

Semoga artikel kecil tentang upil ini dapat bermanfaat bagi (hidung) kita semua. Dan...


Cintai upilmu, Ayo korek setiap hari! *nada iklan*

I.

Aku akan pergi. Ya, itu pasti.

PAGI HARI- Suasana keluarga Pak Ahmad seperti biasanya. Istrinya, Bu Ani menyiapkan kopi untuk suaminya dan beberapa selai roti. Sedangkan Pak Ahmad hanya duduk terdiam sambil membaca koran. Ia tampak bosan dengan berita yang ia baca. Berita buruk. Selalu. Wajahnya mengkerut, mengeluh 'Kapan berita baik akan muncul?' Istrinya terus mengaduk kopi yang semakin larut. Sesekali Bu Ani memandang televisi yang menampilkan infotaiment yang rutin muncul setiap pagi.

"Pak, liat tuh Pak. Bener kan yang Ibu bilang? Dia bakalan cerai? Siapa suruh merebut suami orang. Hukum karma itu tetap berlaku! Waktu itu, dia bilang..."

Ocehan istrinya terus berlanjut. Pak Ahmad hanya mengangguk-angguk. Sadar ocehannya tak ditanggapi, istrinya bertanya.

"Pak?"

Pak Ahmad semakin larut kedalam paragraf 'Seorang Ayah Membunuh Istri dan Anaknya Sendiri'.

"Pak!"

Pak Ahmad langsung tersentak. "'Hah? Iya-iya. Karma memang berlaku dari dulu." ucapnya.

Istrinya hanya mengkerut. "Ini kopinya,"

Bu Ani meletakkan kopi diatas meja dan berbalik badan. Langkahnya menjauh dari Suaminya. Tiba-tiba, Bu Ani berbalik badan kembali, dan menghampiri Pak Ahmad.

"Pak, Bapak kenapa? Kenapa akhir-akhir ini jadi berbeda? Bapak sakit? Kenapa enggak bilang sama Ani.." ucap Ani lirih. Dia menyadari perilaku suaminya akhir-akhir ini jadi berbeda.

Pak Ahmad hanya menggeleng dan tersenyum. Dan menyeruput kopinya.

***
Dari arah belakang, Bu Ani hanya memandang heran. Waktu sudah menunjukkan jam 06.47, tapi suaminya belum bersiap-siap untuk ke kantor.

"Pak, Bapak gak kerja? Dikit lagi Bapak bisa telat loh." ucap Bu Ani sambil menarik bangku dan duduk disamping suaminya.

Bapak menyeruput kopinya kembali. "Tidak. Bapak ambil cuti, nanti ada tamu yang mau datang. "
Alis Bu Ani mengkerut. "Siapa?"

"Nanti kau lihat saja ya," jawab Pak Ahmad sambil membuka lembaran koran selanjutnya.

"Pak,Pak. Bapak ini sudah ambil cuti, rutinitas setiap hari itu minum kopi sama membaca koran, jadi semakin mirip sama orang pengangguran! Atau... orang menikmati masa pensiun." canda istrinya.

"Haha. Memang Bapak pengin bener-bener pensiun dari hidup!" serunya.

"Tapi, Pak. Bapak gak takut nanti bakal dipecat karena ambil cuti terus?" tanya istrinya cemas.

"Biarin." jawabnya yakin.

Istrinya menghela napas. "Kalau Bapak gakerja, Ani juga bakalan pensiun. Gak ada yang mau dimasak kalau uang gak ada," ucap Bu Ani sambil tertawa.

Mereka pun tertawa. Untuk beberapa detik saja. Setelah itu suasana sunyi. Hanya angin dan gesekan daun yang berisik. Mereka tidak.

"Bu.." ucap Pak Ahmad pelan.

"Iya?"

"Bapak.. mau minta maaf atas selama ini. Bapak tahu Bapak sering buat Ibu jengkel. Maafkan yang kemarin-kemarin dan selama pertemuan kita, ya. Bapak gak tahu kapan bisa mengucapkan maaf kepada Ibu. Jadi, sekarang saja ya. Bapak minta maaf." maafnya pelan.

Ibu terkikik kecil. "Ani selalu memaafkan Bapak. Selalu."

Pak Ahmad tersenyum dan meneguk kopinya lagi. "Dan tolong jaga anak-anak kita, ya."

***

Dia sebentar lagi datang. Ya, aku merasakannya.


"Bu, Bapak tidur pagi menjelang siang dulu, ya." ucap Pak Ahmad.

Bu Ani hanya mengangguk dan kembali sibuk dengan pekerjaan memasaknya. "Nanti kalau sudah matang, Ibu bangunkan Bapak, ya." ucap Ibu tanpa memandang suaminya. Ia memandang wajan. Wajan yang mirip suaminya. Pak Ahmad segera meletakkan kopi dan korannya. Dan ia memasuki kamar.

Dia datang, berada di depanku.

Pak Ahmad tak bisa mengatakan 'selamat datang' atau 'kenapa tidak bilang-bilang' dan semacamnya kepada orang yang berada didepannya. Ia terdiam lemas tanpa kata. Badannya sudah tidak kuat lagi untuk bangkit. Terbaring lemas di tempat tidur dan pasrah. Keringatnya mendingin. Sesak napas semakin terasa. Pak Ahmad meremas kasurnya. Rasa sakitnya tak terbendung lagi...

...Rasa sakitnya bagaikan tertusuk 300 pedang.

Aku semakin menjauh dari diriku.

Aku dapat melihat diriku terbaring lemas. Jarakku semakin menjauh dari badanku. Dari sosokku yang sangat kukenali. Aku bisa melihat diriku sendiri tanpa kaca sekarang. Itu tampak jelas.





...I, kau telah melaksanakan tugasmu dengan baik.

Jumat, 28 Oktober 2011

Kicauan Anak Kabisat

Perkenalkan,
Aku anak kabisat yang sudah menjalani hidup 12 tahun tapi masih dianggap 3 tahun. Dan aku, anak kabisat yang membenci tanggal 29 Februari, tapi tidak untuk hari ini.



MALAM HARI- lilin-lilin kecil menyala. Ayah dan Ibu begitu mengagetkanku dengan membawakan kue kesukaanku. Aku mendambakan ini selama 4 tahun. Melihat temanku yang setiap tahun dapat merayakan ulangtahunnya, dan aku tidak. Aku merasa ini aneh. Aku merasa ada kelainan dalam hidupku.

...Yang membuatku bingung jika menjawab pertanyaan yang sangat umum.

Umurmu berapa?

Pertanyaan yang simpel seperti mie gelas buatanmu. Tetapi ini seperti membuat pizza, bagiku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ini sungguh menyiksa. Walaupun Ayah selalu mengatakan bahwa aku harus menghitung umurku yang sebenarnya, tetapi aku selalu ragu untuk menjawabnya. Jika aku menjawab 'umur' dengan memperhitungkan berapa kali aku ulang tahun, aku merasa aneh. Mungkin orang lain akan lebih merasakannya.

Saat aku mengalami insomnia, menghitung domba bukan solusi yang aku sering gunakan. Aku selalu membayangkan masa depan dengan tanggal yang memiliki dua digit angka ini. Misalnya, :

'Jika aku sudah kakek-kakek nanti, disamping istriku yang sudah mulai kusut juga, anak-anakku berada disampingku, dan cucu-cucuku yang asik bermain. Aku tak bisa membayangkan jika semua anggota keluargaku lahir dengan tanggal selain 29 Februari. Aku bisa dikatakan tua sebelum waktunya. Itu berarti, jika dihitung dari umur, aku lebih muda dari anakku. Dan itu mengerikan.'

Kau bisa membayangkannya?

Ya ampun, kenapa ini begitu aneh? Kalau harus empat tahun sekali agar ada tanggal 29 Februari, lebih baik itu ditiadakan. Jika begitu, aku bisa ulang tahun pada tanggal 1 Maret. Seperti anak-anak lainnya.

***
"Ingin diabadikan?" tanya kakakku yang baru datang sambil memegang kamera hitam.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Ayah dan Ibu pun menghampiri diriku, dan merangkulku.

"Merapat."

Kami pun semakin rapat. Dan menampilkan senyum. Seadanya.

"1...2...3..."

Cahaya blitz menyerang mataku. Dan aku bergerak kembali setelah dibekukan oleh kamera hitam itu.


Selamat malam.

Lupa

Sejumlah kalimat melewati otakku
Dan aku tak sempat melihatnya
Tunggu, apa itu?
Mereka pun pergi. Jauh sekali.

Aku belum sempat mengetahui apapun
Apakah kamu tahu?
Apakah kamu sempat melihat mereka?
Apakah kamu sama sepertiku?

Otakku berusaha mengingat
Walaupun hanya sebatas siluet
yang bermain riang
Sejumlah kata bergabung dengan sejenis lainnya
Mencoba merangkai sebuah kalimat
yang semakin mempersulit diriku

Dan ya, aku memang lupa.

Curhatan Sang Upil

Pada suatu hari, di sebuah rumah yang berukuran kecil, terdapat didalamnya sebuah meja yang bersandar di dinding. Kalau kamu teliti dan membawa kaca pembesar...


...Kamu akan melihat dua buah upil.

Upil yang bulat dan hijau. Upil kesatu, dia menempel di lantai. Dengan tubuhnya yang lengket, dia hanya bisa pasrah kalau suatu saat akan tersapu. Upil kedua, dia menempel di dinding. Entah siapa yang menempelkannya. Jika kamu jeli dan memasang telingamu baik-baik...


...Kamu akan mendengar perbincangan mereka.

Sekarang, duduklah dengan manis. Dengarkanlah perbincangan mereka...

"Huhuhuhu.." Upil pertama. pun menangis. Mengangis yang tiada hentinya. Upil kedua hanya bisa memandangnya jengkel. Rasanya ingin membunuhnya. Tapi apa daya, dirinya juga sedang menempel di dinding.

"Ya ampun berisiknya, kamu bisa diam enggak sih?" tanya Upil kedua.

"Huhuhu... aku..."

Pause.

(Sebelum dilanjutkan, sebaiknya kita memanggil upil kesatu dengan 'Upal' dan upil kedua 'Upol'.)

Play.

"Huhuhu... aku telah dibuang oleh pemilikku.." ujar Upal dengan sedih.

"Haha. Apa yang perlu disedihkan? Aku saja merasa senang bisa keluar dari hidung pemilikku. Hidung pemilikku penuh dengan ingus. Aku tak betah disana." seru Upol.

"Itu beda! karena kamu itu baru sebentar di hidungnya! Aku? Aku sudah 4 hari ada disana! Aku sudah terlanjur cinta pada pemilikku!" ujar Upal sambil mengeluarkan air mata.

"Cinta? Buat apa kita cinta kepada Manusia! Jangan percaya padanya!" protes Upol.

"Tidak! Dia itu manusia yang baik! Buktinya, dia bisa mempertahankan aku di hidungnya selama 4 hari!"

"Lalu? Apa buktinya? Sekarang kamu ditempelnya diam-diam di lantai saat ia Salat kan? Tepatnya dibawah sajadahnya kan?"

Upal semakin menangis. Dia begitu galau karena sudah di PHP-in oleh pemiliknya. Di otaknya (Tolong maklumi kalau upil punya otak. Hanya untuk saat membaca ini saja. Ya?) , muncul memori-memori saat ia bersama pemiliknya.

...Saat pemiliknya disuruh membuang ingus oleh Ibunya, dia menolak.
...Saat pemiliknya tak pernah risih saat Upal ada di hidungnya.
...Saat pemiliknya rela tidur dengan sesak karena ada Upal di hidungnya.

Dan, yang paling membuat Upal semakin sedih adalah saat pemiliknya rela mendapat julukan 'Manusia Upil' oleh teman-temannya. Mengenaskan.

Memori-memori itu terus menari-nari di otak Upal. Upal semakin tak ingin berhenti menangis. Uuu, so sweet..

"Apa dia membuangku karena dia sudah tak kuat mendapatkan julukan 'Manusia Upil'? Apa dia sudah malu mempunya upil seperti aku? Apa dia sudah jatuh hati kepada upil yang lain?"

Upol yang melihat teman seperjuangan itu akhirnya merasa iba. Dan... Upol mengeluarkan air mata.

"HUAAA! Cukup Upal! Cukup! Aku tak kuat mendengarnya!" ucap Upol menangis.

"Seandainya, kalau aku tahu akhirnya begini.. Kalau aku akhirnya akan ditempel dilantai.. Lalu apa maksudnya merawatku dihidungmu selama 4 hari? Kenapa kau membuatku yakin kalau kau manusia baik? Lalu apa maksud itu semua? Busuk!" ujar Upal yang menangis tambah keras.

"HUAHUAHUA! Bagaimanapun juga, aku senasib olehmu, Upal! Aku juga ditempel di dinding! Aku merasakan kesedihan itu!" curhat Upol.

"HUAAA... Kenapa kita diciptakan sebagai upil? Kenapa kita lahir dihidung manusia yang tak bertanggung jawab?" Upal menangis semakin kencang. Dia tak bisa lagi menahan kesedihannya. Upol pun begitu, dia mengalir terbawa suasana kesedihan Upal. Oh, sedihnya...

Tiba-tiba, sebuah alunan musik terdengar. D'masiv. Jangan menyerah.

Syukuri apa yang ada...
Hidup adalah anugerah..
Tetap jalani hidup ini...
Melakukan yang terbaik...

Saat Upal dan Upol mendengarnya, tiba-tiba air matanya mengering. Mereka sadar, bahwa hidup mereka belum berakhir.

"Sudah, Upal! Jangan terlalu terbawa dengan kesedihan! Kita masih bisa melakukan sesuatu! Dengan memasuki hidung manusia yang lain!" seru Upol menghibur Upal.

Upal pun tersenyum. "Benar, kita juga harus bersyukur menjadi upil. Ya, galau pasti berakhir!"

"Hidup upil!"

Mereka pun tertawa bersama di tempat mereka menempel yang terbatas.

Cklek!

Pintu pun terbuka. Suara manusia melangkah terdengar. Upal dan Upol pun menoleh. Terdapat dua anak kecil yang masuk. Tiba-tiba...

"Itu pemilikku!" seru Upal menunjuk anak yang berbaju biru.

"Itu majikanku!" seru Upol menunjuk anak yang berbaju hijau.

Mereka pun terbengong-bengong. "Jadi selama ini, pemilik kita itu berteman?" ucap mereka bersamaan.

Dua anak-anak itu pun bermain mobil-mobilan. Upal dan Upol memandang dengan melas kepada pemilik mereka masing-masing. Serasa dalam lubuk hati Upal dan Upol paling dalam...

Masihkah kau ingat dengan diriku? Upil yang kau sayangi dulu?

Tiba-tiba, anak yang berbaju biru mengeluarkan suaranya. "Aduh! Sepertinya di hidung aku ada upil, deh!"

Anak yang berbaju hijau pun berhenti bermain. Dia langsung melihat hidung temannya. "Mana? Mana? Aku mau lihat!"

"Ada gak upilnya?"

"Hiii... iya bener! ada upil!"

Anak yang berbaju biru pun melihat juga hidung temannya itu. "Eh! Kamu juga ada upilnya, tauk!"

"Hah? Serius? Kita buang, yuk sebelum dijuluki 'Manusia Upil' lagi!" ajak anak yang berbaju hijau.

"Yuk!"

Mereka pun mencari tisu. Upal dan Upol menganga.

"Hmppffttt!" ucap mereka bersamaan saat membuang upil sekaligus ingus mereka. Setelah itu, tisu itu mereka tata dengan rapih, dan membuangnya di tempat sampah dengan sopan.

"Sekarang, kita main lagi, yuk!"

"Yuuk..."

Dan, Upal dan Upol menangis kembali.

"HUAAA! Kenapa mereka dibuang di tisu?" ujar Upal menangis.

"HUAAA! Kenapa mereka enggak ditempel aja!" ujar Upol menangis.

Mereka hanya bisa memandang iri terhadap upil yang dibuang ditempat sampah. Upal dan Upol merasa dikhianati dan merasa ini tak adil.

"Dasar, PHP!" seru Upal sambil menangis.





Sayangilah upilmu, buanglah mereka pada tempatnya...

Selesai

Sabtu, 22 Oktober 2011

MATA


Lagi-lagi, mataku harus memicing. Tanpa kacamata.

"Kemana kacamata lo?" tanya salahsatu temanku.

"Ketinggalan, bro." ucapku sambil menggaruk-garuk kepala.

"Lo yakin, Lo bisa jalan nih, di tengah mall yang segede gini?"

"Gausah dimasalahin soal jalan. Insyaallah bisa deh bro," jawabku setengah yakin.

"Serius Lo? Minus Lo itu gak kecil. Kalau perlu, Gue temenin dah balik lagi ke rumah,"

"Gausah, Gue bisa. Tenang aja, Dim."

"Oke, gue udah nawarin, ya. Dan gue gamau nuntunin lo sepanjang jalan-jalan di dalam nanti ya, Dan. Gue kesini mau cuci mata."

"Gue?"

"Makanya, menonton televisi jangan dekat-dekat, nak." canda Dimas.

"Sialan lo," ujarku singkat.

Setelah itu, kami pun segera memasuki dunia perempuan-perempuan Jakarta. Dan aku sangat menyesali mataku yang minus ini.

***
"Gila, sukses juga lo Dim dalam ngerebut hati perempuan!" colekku dan berbicara dengan suara yang kuusahakan tidak terdengar siapapun.

Karena, didepanku ada perempuan yang berhasil digaet Dimas. Dan perempuan ini langsung diajak makan bareng! Dan aku merasa menjadi sampah dalam meja makan ini.

"Oh ya, terus gimana karir kamu selanjutnya?" tanya Dimas berbasa-basi dengan Ratna, kenalan barunya tadi.

Aku hanya mengaduk-aduk sphagetty yang tak kunjung habis. Kalau ceritanya begini, mending gue gausah ikut! batinku dalam hati.

"Eh? Kamu keturunan bule ya?" tanya Dimas secara tiba-tiba.

Aku pun memperhatikan wajah Ratna. Bule darimana coba? Ngawur nih anak.

"Haha! Enggak, kok. Kalau boleh tahu, Bule darimana ya?" tanya Ratna balik.

"Soalnya matamu biru," jawab Dimas pelan.

Aku menelan ludah. Wajah Ratna nampaknya juga sedang menahan tawa. Gadis ini memakai contact lens, norak!

"Hahaha, ini itu contact lens. Sengaja aku memilih warna biru, karena biru itu jernih, layaknya air yang mengalir!"

Dimas hanya mengangguk-angguk sambil melongo.

"Memang sebenarnya, kamu minus berapa?"

"Lumayan gede, 3.25,"

"Wow! Tapi masih kalah sama temanku yang satu ini, nih. Minusnya gak karuan!" serunya sambil melirikku.

Aku mengangkat alis.

"Memang, minusnya berapa?"

"Tanya sendiri, deh sama orangnya!"

Mata biru Ratna berbalik kearahku.

"Oh, temanmu ini minus. Kusangka daritadi itu dia keturunan Tionghoa!" ucapnya polos.

Mereka hanya tertawa. Aku berusaha tertawa kecil. Walau tangan sudah mengepal.

***
"Jadi manusia yang bermata minus, itu gaenak. Sungguh menyiksa." ujar Ratna sambil meneguk hot chocolate-nya.

"Setuju," ucapku singkat.

"Awalnya memang gabisa menerima ini semua, tapi mau gimana lagi, mata udah terlanjur rusak."

Dimas yang daritadi hanya mengangguk-angguk saja, akhirnya bicara juga.

"Jangan putus asa gitu dong, kan masih ada wortel, yang kaya akan vitamin A!"

"Gabisa!" seruku dan Ratna bersamaan.

Dimas hanya melongo mendengar apa yang kami bicarakan.

"Loh? Kenapa? Bukannya wortel baik untuk mata?"

"Minum jus wortel atau makan wortel gabisa mengurangi minus. Untuk menghilangkan minus itu dapat dilakukan dengan memakai kacamata, contact lens dan mungkin... operasi laser." jelas Ratna.

"Makanya gue nyesel dulu males makan sayur. Padahal Ibu gue udah ngomel berapa kali biar gue makan sayur. Sekarang? Nasi sudah terlanjur menjadi bubur." ujarku.

Dimas hanya mengangguk-angguk seperti orang yang tidak tahu apa-apa.

"Terus, kenapa kamu enggak memakai kacamata?" tanya Ratna kearahku.

"Memang calon-calon orang lanjut usia gini, nih! Ketinggalan!" jawab Dimas.

"Siapa sih yang ditanya?" ujarku.

Dimas hanya terkekeh. Tapi tidak dengan Ratna. Dia masih terbingung.

"Terus, kamu kuat gak memakai kacamata? Kalau aku jadi kamu, aku udah sempoyongan, kali!" seru Ratna.

Aku hanya tersenyum.

"Kalau tujuannya mau cuci mata, apapun jadi jelas!" canda Dimas.

"Sialan," ucapku.

Kami pun akhirnya tertawa bersama dengan makanan yang menunggu untuk dimakan sejak tadi.

***
"Emm... kayaknya perempuan gabaik deh kalau pulang sendirian di tengah malam gini," Dimas daritadi memang sudah mengisyaratkan kalau dia meminta maaf sebesar-besarnya kepadaku. Karena, aku disuruh untuk pulang sendiri, naik taksi katanya.

Rencananya, dia ingin mengantar Ratna pulang sampai ke rumahnya. Dia ingin membuat Ratna terkesan akan pertemuan pertama mereka.

"Serius? Gapapa? Aku bisa pulang sendiri kok!" ucap Ratna.

"Udah gapapa," ucap Dimas sambil tersenyum. Belum dijawab oleh Ratna, Dimas sudah membukakan pintu depan mobil layaknya seorang sopir. "Silahkan masuk, Nona..."

Ratna tertawa kecil dan memasuki mobil Dimas.

"Sorry ya Bro, untuk kali ini aja." maafnya.

Aku hanya mengangguk dan mengangkat jempol.

Tak lama, mobil itu berlalu. Daun-daun pun berterbangan, mengenai diriku. Yang mencari taksi.

***
"Baik,mas." ucapnya sambil menyalakan argo. Angka nominal 5.000 pun muncul. Aku bernapas lega. Aku berhasil mendapatkan taksi yang berlabel 'TARIF BAWAH'. Yang, setelah kusadari bahwa uang sakuku tak cukup jika ingin bergaya menaiki taksi Silver Bird.

"Kanan ya, Pak." ucapku. Taksi itu pun akhirnya berbalik arah.

Aku memandang tanda pengenal si Sopir Taksi ini yang berada di depanku. Tertera disana: M. Norman. Aku pun memandang sopir taksi itu. Wajahnya sudah memiliki banyak kerutan. Kulitnya sudah keriput dan masih sibuk mencari nafkah. Kutebak, umurnya sudah melewati 55 tahun.

Dengan kondisi seperti ini, itu membuatku khawatir. Apakah aku bisa sampai ke rumah dengan selamat? Semoga mata Pak Norman ini baik-baik saja. Kan tak lucu jika dalam satu mobil ada dua orang yang sama-sama siwer. Yang tinggal menunggu mobil yang menabrak kami atau kami yang menabrak mobil lain.

Aku terus memperhatikannya. Berapa kali kulihat mata Pak Norman ini memicing. Aku pun semakin gelisah.

"Pak, Bapak tak apa? Saya bisa mencari taksi yang lain, kok." tanyaku.

Bapak itu malah tertawa. "Tak apa, mas. Cuman silau sama lampu jalan." jawabnya.

"Kalau ada apa-apa, saya bisa mencari taksi yang lain. Saya memaklumi kok mata orang yang sudah lanjut usia." ujarku prihatin.

"Enak saja! Mas kira mata saya sudah rusak apa, seperti mata Mas? Saya masih bisa melihat dengan jelas!" protesnya.

Aku pun melongo. Tahu darimana kalau aku ini manusia bermata minus?

"Kok, Bapak tahu kalau saya minus?"

"Ya, daritadi justru Mas yang terus memicing!" serunya.

Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil.

"Mas, mas. Mas itu gimana sih? Punya mata ya dijaga, jangan dibiarkan saja!" omelnya.

Aku menelan ludah. Sejak kapan orang ini bisa mengomeliku seenaknya?

"Saya juga maunya mata saya normal, Pak.." ucapku pelan.

Tiba-tiba taksi ini berhenti. Bukan karena mogok atau ban bocor, tetapi Sopir taksi ini yang memberhentikannya sendiri. Ia membuka jendela yang dilapisi kaca filem dan melihat langit yang hitam. Ia memalingkan wajahnya dari wajahku.

"Pak?" tanyaku bingung.

"Tunggu sebentar, nak. Tunggu." bisiknya lirih.

Akhirnya aku menunggu. Aku juga mulai gelisah. Ada apa dengan bapak ini?. Tak lama, mobil berjalan lagi. Aku melirik argo yang telah bertambah 2000 sebelum berhenti. Kebingunganku pun semakin memuncak setelah melihat mata Pak Norman ini membanjir. Aku semakin bertanya-tanya. Apa aku salah bicara?

"Pak.."

"Iya! Nanti 2000-nya saya ganti!" serunya dengan nada goyah.

***

"Walau tidak langsung, kita bisa membantu orang-orang yang kurang mampu. Betul?" seru Dimas.

Ratna hanya mengangguk. Hubungan Dimas dan Ratna semakin hari semakin lengket saja. Dan aku, semakin hari juga semakin menjadi benalu bagi mereka. Bukan karena sengaja, tetapi Dimas yang menyuruhku agar ikut juga.

Kami pun memasuki Rumah Sakit yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Aroma Rumah Sakit langsung tercium. Ya, seperti bau bayi. Tetapi, setelah memasuki lebih dalam lagi, aromanya berubah. Udara yang kurasakan juga berbeda. Semakin panas.

"Kita sudah sampai, langsung ke Dokter Adhi saja, yuk." ajak Ratna.

Kumpulan orang-orang-- yang hampir sebagian adalah orang manula. "Tuh, liat Han. Masih banyak orang yang kurang beruntung daripada Lo. Masih mending Lo minus. Mereka? Mereka lebih susah, Han." gumam Dimas.

Aku hanya melihat wajah orang-orang yang membentuk barisan panjang ini. Spanduk 'Operasi Gratis Katarak' semakin jelas terlihat. Akhirnya, kami sampai di depan pintu yang bertuliskan Dr.Adhi.

Ratna pun membuka gagang pintu dan memasuki langkah ke ruang dokter ini. "Hai, Kak Adhi. Maaf kita agak terlambat, ya!" maaf Ratna kepada kakaknya. Dokter Adhi hanya tersenyum. Ia tampak sedang menangani pasien pengidap katarak.

Dua pasien itu menengok.

Aku pun tercengang. Pasien yang terdiri dari Suami & Istri itu rasanya aku pernah mengenalnya. Saat Sang Suami mengangguk dan tersenyum, aku langsung mengenalnya. Ia Sopir Taksi yang kutemui semalam.

Aku pun membalas senyumnya. Dan Pak Norman terus memegang erat Istrinya yang akan segera melakukan operasi katarak. Sekarang, aku mengerti mengapa ia menangis semalam.

Selesai



Percaya Padamu, Kanaya!

"Nama saya Annisa Kanaya Larasati. Kalian bisa memanggilku, Naya. Terimakasih." ucapmu waktu itu. Aku langsung tahu, kamu bukan perempuan yang biasa. Caramu, tingkah lakumu, itu dapat terdeteksi olehku kalau kamu itu perempuan baik-baik.

Kamu duduk kembali, dan kuperhatikan terus dirimu. Tidak ada yang aneh, tenang dan biasa saja, Bagimu. Tetapi begitu luar biasa bagiku. Kamu tidak memplintir-plintir rambutmu seperti perempuan yang lain. Kamu membiarkan rambutmu begitu saja. Rapih.

Kanaya, aku belum pernah merasakan ini kepada perempuan-perempuan sebelumnya.

***

"Bay, lihat PR dari Bu Nisa dong, gue belom ngerjain, gangerti lebih tepatnya."

"Eh? Iya, tapi aku belum pasti kalau semua jawabannya..."

"Bodo amat," ucap Ardy, yang langsung mengambil buku tugasku.

Aku langsung kembali ke kamu, Kanaya. Kamu juga sama sepertiku, tempat peminjaman tugas dari Guru. Kamu selalu mengerjakan tugasmu tepat waktu, tak pernah lupa, dan itu yang kukesali.

Kapan kamu lupa mengerjakan PR? Kenapa kamu selalu ingat?

Setidaknya kalau kamu lupa, kamu bisa meminjam kepadaku dan kita bisa berbicara. Hampir setengah semester ini, kita belum pernah bicara. Basa-basi pun tidak.

Setiap pembagian kelompok, Aku selalu berharap kita dapat bersama. Tapi kamu selalu bersama dia, Galang. Tak heran makanya Galang jatuh hati padamu. Dan itu membuatku khawatir. Walau kamu mengabaikan semua berita kalau kamu akan segera ditembak olehnya, aku tetap khawatir. Walau aku tahu kamu tidak memperdulikannya, aku tetap khawatir. Aku takut suatu saat kamu berubah.

Dan menerimanya, sebagai kekasih pertamamu.

***
Aku selalu tersenyum jika diledek seperti ini. Kalau aku sama kamu itu cocok. Karena kita masih memakai Aku-Kamu.

"Oke deh, nanti Aku yang ngetik, kamu yang edit ya." ucapmu pada salahsatu temanmu.

"Aku, Kamu? Haha, lo sama Bayu makin cocok aja." canda salahsatu temanmu.

Kamu hanya tersenyum. Tak berkomentar apapun.

Memang ada yang salah dari bicara aku-kamu bagi anak SMA? Aku rasa tidak. Berkali-kali temanku menyuruhku agar bertransformasi dari anak Aku-Kamu menjadi anak Gue-Lo, tetapi aku tetap menolaknya. Aku juga selalu diancam kalau memakai aku-kamu akan menjadi calon korban bullying.

Aku ingin tahu apa komentarmu tentang ini. Tapi bagaimana caranya? Bicara berdua saja belum pernah.

Ya ampun, Pak, Bu. Kapan saya sekelompok bersama Kanaya?

***
"Kelompok 3. Muhammad Bayu Adhitama, Zahara Andani, ..."

Aku begitu antusias mendengar ucapan Pak Andi. Aku ingin sekali mendengar namamu berada di kelompok 3. Tolong Pak, sebut namanya...

"Annisa Kanaya Larasati, kalian membahas tentang..."

Aku tersenyum lebar. Akhirnya aku berhasil sekelompok denganmu disemester ini. Kukira kita tak akan pernah bisa bergabung dalam satu semester. Semakin berpikir bahwa kita tak akan berjodoh. Tak ditakdirkan dan aku yang terlalu berharap.

"Sekarang, Bapak beri waktu untuk berdiskusi dengan kelompok masing-masing,"

Semua anak berpencar. Bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Aku bangkit. Matamu tampak mencari-cari. Semoga kau mencari aku, bukan Zahara.
Aku segera menghampirimu. Tak enak bila kau yang menghampiri mejaku.

"Boleh aku duduk?" tanyaku pelan sambil menarik bangku terdekat.

"Kamu sudah menarik bangku, apa boleh buat." candamu pelan sambil tersenyum.

Aku menelan ludah. Tak seharusnya aku begini di perbincangan kita yang pertama. Dan oh! aku menyadari. Zahara sedang absen. Momen yang tepat, tapi aku berusaha agar tetap tenang.

"Kira-kira, kita mau gimana?" tanyaku sebagai permulaan perbincangan kita yang melanjut.

"Tugas kita, bukan kita."

"Oh ya, maaf. Tugas kita." jawabku. Bodoh sekali. Kenapa aku jadi begini?

"Sebaiknya aku yang ngetik ya, kamu nanti sama Zahara yang mengedit." jawabmu yang sudah tak asing bagiku. 'Aku yang mengetik, kamu yang mengedit.'

"Oh, ya. Kamu suka mengetik ya? Kayaknya kamu bebas memilih untuk mengambil alih tugas mengetik dan membiarkan orang lain untuk mengedit,"

Kamu melirik mataku. "Kalau kamu mau mengetik, bilang aja. Aku gak memaksakan kamu kok."

"Enggak, aku mau mengedit."

"Terus kenapa protes?"

"Siapa yang protes?" tanyaku memancing.

Kamu menghela napas. "Iya, aku salah bicara,"

"Hanya segini? Aku kira kamu bakal membalas. Kemana emansipasi wanita?"

"Maaf ya, kita ini diperintahkan untuk berdiskusi, bukan berdebat." jawabmu singkat.

Aku terdiam. Aku memang salah, bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal-hal yang tidak perlu. Ini ada waktunya, Bay.

"Oh ya, maaf."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan."

Kita mulai berdiskusi, dan aku semakin terbius olehmu.

***
"Serius lo? Lo udah siap buat nembak Kanaya?" tanya Dheryl.

"Insyaallah gue siap, doain aja ya," jawab Galang yakin.

"Halah, gayalu. Biasa ngerokok aja."

"Apaan sih? Selama ini gue tobat sebelum nembak Kanaya!" ujarnya.

Aku tersentak saat mendengarnya. Beruntung sekali telingaku dapat mendengarnya. Galang akan menyatakan cintanya kepada Kanaya?

Aku langsung khawatir. Apakah Naya akan menerimanya? Apakah Galang akan menjadi kekasih pertama bagi Kanaya? Apakah aku harus menanyakannya langsung kepada Naya?

Ya Tuhan, aku belum siap melihat Kanaya digandeng oranglain.

***
Aku memasuki kelas agak pagi dari biasanya. Aku berusaha membandingkan ramainya di Timeline dengan ramainya di sekolah.

Berita Galang akan segera menembak Kanaya sudah booming di kalangan kelas 11. Aku, anak yang dikenal sangat tertutup dengan yang namanya 'cinta' tak bisa berbuat apa-apa.

Apakah mungkin saat Galang menyatakan cinta kepada Kanaya aku harus datang secara tiba-tiba dan mengatakan 'HENTIKAAN!' ? Rasanya tak mungkin.

...Aku hanya bisa pasrah dan percaya kepadamu, Kanaya.

***
Bunga mawar yang segar sudah berada di tangan Galang. Kanaya yang daritadi berada di kelas bersikap tenang dan tak tahu apa-apa. Galang begitu yakin dilihat dari langkahnya. Sedangkan aku daritadi memelas dibalik jendela kelas.

Dan Galang pun memasuki kelas, mengumpatkan bunga mawar dibalik badannya.

"Nay..." ucapnya sambil menduduki kursi yang ada di sebelah Kanaya.

"Apa?" jawabmu tenang.

"Ada yang aku ingin omongin sama kamu,"

Aku menelan ludah. Sudah tidak siap mendengar setelah Galang mulai menggunakan kata ganti utama 'gue' dengan 'aku'.

"Iya, apa?" tanyamu.

Galang mengambil napas.

"Sejak bertemu denganmu, hatiku merasa ada yang beda. Kamu begitu berbeda dari perempuan yang lain. Kamu cantik, Kamu manis, Kamu pintar, segalanya ada di kamu."

Aku menelan ludah kedua kalinya. Keringatku semakin berjatuhan. Semakin nampak anak yang memelas dibalik jendela kelas. Ruang menontonku pun lama-lama semakin tidak nyaman. Yang menonton 'aksi' Galang menembak Kanaya semakin banyak penontonnya. Seperti tidak ingin dilewatkan oleh yang lain.

"Sekarang, maukah kamu menjadi kekasihku?" tanya Galang dengan menunduk dan mengeluarkan bunga yang dari tadi disembunyikannya.

Kanaya diam tanpa kata.

Aku. Hanya. Bisa. Menunggu. Responmu. Kumohon. Kamu. Sadar. Dan. Tidak. Berubah. Kumohon. Kanaya.

Kau mulai berbicara, berusaha mengangkat bibirmu yang daritadi tertahan.

"Maaf, aku enggak bisa. Kata mamaku aku enggak boleh pacaran dulu." jawabmu polos.

Suasana diluar kelas pun mencair. Berubah dari rasa ketegangan menjadi sesuatu yang konyol. Semua tertawa. Sedangkan Galang menanggung malu yang dirasakannya.

Tapi, entah kenapa, kamu malah memandangku dan tersenyum kepadaku.

Tunggu, Kanaya, apa artinya ini?

***

20 Tahun Kemudian...

"Ayah! Aku mendengar kabar kalau aku akan segera ditembak, Yah!" ucap Nandira, perempuan yang baru beranjak dewasa.

Aku memandang istriku yang sedang membuatkanku kopi. Aku jadi mengingat masa lalu.

"Sebaiknya kau tolak dan kau bilang 'Jika kamu benar-benar mencintaiku, tunggu sampai aku lulus SMA'." Jawabku yakin, sambil tersenyum.

"Yaa, Ayah. Tapi cowoknya ganteng, Yah. Masa aku tolak?"

"Memang kamu enggak tahu, cerita cinta Ibu dan Ayahmu sampai kami menikah?" tanya Kanaya menggoda Nandira. Ia pun meletakkan kopi yang hangat di meja.

"Memang seperti apa, Bu?"

"Kami memendam rasa selama SMA, demi prestasi Ayah dan Ibu dalam sekolah. Karena Ayah berpikir, suatu saat pasti ada waktunya. Dan berusaha percaya kepada Ibumu. Buktinya? Kami bisa sampai sekarang dan mempunyai dirimu," jawabku mendahului.

Ibuku mengangguk. Dan tertawa.

Tapi tidak dengan Nandira.

"Pa, masih jaman sekarang memendam-mendam rasa?"

Oh tidak, anakku terpengaruh oleh @Poconggg.



Selesai

Jumat, 21 Oktober 2011

Pertama, disini.

Jakarta, 21 Oktober 2011.
Ini adalah posting-an pertamaku di blog yang benar-benar aku mengerti sekarang. Aku sudah pernah membuat blog sebelumnya, tapi tak pernah aktif. Aku terinspirasi untuk membuat blog karena baru saja menyelesaikan buku Perahu Kertas karya Dee Lestari. Di halaman terakhir, aku bisa melihat sebuah alamat yang mengacu kepada suatu blog. Aku membukanya, dan aku tertarik. Tidak sampai disitu, aku juga membaca Ruang Tengah-nya Fahd Djibran dan itu tak kalah menariknya.

Kjokkenmodinger?
Ha-ha. Aku saja baru mengenal kata ini belum setahun. Dan aku mengenalnya bukan dari manusia, bukan dari manusia zaman dahulu, tetapi dari buku IPS. Ah, bukan. Bukan dari buku IPS. Dari tugas Bu Sudar yang diberikan padaku. Aku yakin, kalau tidak diberi tugas 'Apa itu Kjokkenmodinger?' Aku tak akan mengetahui apa artinya.

Menurut blog lain, Kjokkenmodinger atau sampah dapur adalah tumpukan kulit kerang yang menggunung atau membentuk bukit. Kjokkenmodinger ini banyak di temukan di muka di sepanjang pantai timur pulau Sumatera.

Dan... ini ada pada zaman pra-aksara.

Aku sungguh beruntung bisa mengenal IPS. Walau terkadang suka mengeluh:
'Kenapa sih ada IPS? Kenapa sih harus melihat masa lalu? Bukannya di timeline sering dikatakan kita harus Move on?'
'Move on Pak, Move on Bu..'
'Itu tanggal sejarah enggak bisa diganti jadi 'Pada suatu siang' atau 'Pada suatu Pagi' saja?'
'Apa sih pentingnya IPS?'

Tapi mungkin yang paling tepat...

"Kenalilah lebih dekat Negerimu dan belajarlah dari masa lalu."

Blog ini adalah utusan-utusan kecil dari otakku, bukan semata-mata untuk membuat ketenaran, hanya bertujuan menyebar kebaikan. Setidaknya, bagi diriku sendiri. Dan...



...Aku masih menunggu kebaikan itu.