Halaman

Sabtu, 01 Desember 2012

Filateli




Untuk mengenang kelas saya tercinta, 8D.
Pameran Filateli Dunia
18 Juni 2012

***

Walau nggak pernah bertemu, yang jelas saya butuh waktu.
Klise, memang. Namun itulah satu-satunya jawaban yang sering Zea lontarkan kepada setiap orang. Kepada setiap kerabat. Kepada setiap tetangga. Kepada setiap manusia yang menjulurkan tanya : “Ze, nggak berminat cari pendamping hidup, gitu?” Dalam benak Zea, waktu tak lebih dari sebatas menengok jam tangan bila ada yang bertanya, lalu mencerna ke mana arah jarum pendek dan panjang mengacung. Atau, tak lebih dari letak dan posisi matahari bergantung. Bulan yang bertakhta. Kapan jam tidur yang cocok untuk kembali berkelana. Jam makan. Waktu pameran prangko maupun buku. Semuanya. Semua hal-hal yang bersifat mengendap pada masa kini, namun tak sekali-kalinya ia ungkit kumpulan urusan di zaman depan. Termasuk, urusan jodoh.
Usia Zea sudah menjejaki tiga puluh. Sudah banyak waktu yang terbuang untuk berdiam, berjalan, berlari, hingga bergemuruh. Namun, kebahagiaan belum juga bersimpuh. Hingga Zea hampir saja melupakan apa definisi ‘cinta’ yang membuat banyak orang luluh. Tetapi, bukan berarti usaha Zea luput dari lumpuh. Zea tetap berusaha, menerjang semuanya, menyingkirkan keluhan masyarakat yang tak berarti, namun... ia selalu berpikiran : Jangan pikir hanya kita yang membutuhkan waktu. Tetapi, waktu juga membutuhkan kita untuk meragukan sesuatu.
Klise lagi? Kali ini–menurut Zea, tidak. Ia bisa bernapas lega karena Rene Descartes pernah mengungkit persoalan ini. De omnibus dubitandum. Segala sesuatu sudah sepatutnya diragukan. Sudah seharusnya segala sesuatu harus dipertanyakan. Termasuk, kehidupan. Menurutnya, untuk apa memaksa bahagia datang bila kebahagiaan itu sendiri belum sepenuhnya siap? Untuk apa segera membina rumah tangga bila keuangan masih menjadi persoalan basi? Untuk apa memiliki anak bila tak ingin postur tubuh membengkak? Semua itu, semua pertimbangan itu, terkuak satu demi satu, seiring mengarusnya waktu.





Senin, 26 November 2012

15



15 tahun tersibak. 180 bulan merebak. 5.471 hari melesak. 131.304 jam mendesak. 7.878.240 menit tak tertolak. 472.694.400 detik tak terelak. Di mana kamu sekarang, manusia terimpit waktu yang sesak?
Jutaan napas yang telah kamu isap, mungkin kini sedang menaikkan kumisnya. Puluhan waktu yang sudah lama kamu genggam, mungkin kini sedang mencabut uban antara satu dengan yang lainnya. Wajah buyutmu, kakekmu, nenekmu, mungkin sedang mengepung langkahmu dengan jutaan pesona. Lalu, kini kamu bertanya-tanya : apa gunanya lilin-lilin yang menyala?
Hidup memang benar-benar seperti satu lilin yang memercikkan api. Sekali kejap, sudah melahirkan asap yang berhembus sepenuh hati. Kamu dapat melihat asap-asap itu meruap di horizon, mengusir detik, mengibaskan acara, lalu menjejakkan memori, hingga tercengang-cenganglah kamu di ujung bumi. Kamu benar-benar tak mengerti, mengapa satu momen yang sekali melintas, begitu mudah melekat di hati. Dan di inti hati, kamu bertanya-tanya : Apa gunanya lilin yang menyala bila suatu saat akan mati?
Lihatlah, tak ada bedanya asap dengan sebuah memori. Mungkin terlihat lunak, namun padat berisi. Padat akan berbagai situasi. Pasti kamu berpikir, asap padahal sebuah substansi yang gampang sekali melahirkan benci. Dapat membuat orang-orang menggertakkan hati. Tapi, rasakanlah ... saat asap menyepuhkan seringainya ke matamu yang tak mengerjap, di situlah air matamu mulai menunjukkan inti. Asap tetap asap, dan memori tetap memori. Tak selamanya kelam akan menyebalkan, tak selamanya gelap akan terus mengikis hati. Karena, saat kamu menjentikkan satu jarimu pada gumpalan asap yang sangat dibenci, di situ lah kamu bisa melihat asap yang mudah sekali rapuh, mudah sekali lumpuh. Dan, itu tak ada bedanya saat kamu menjentikkan jari untuk sebuah memori. Karena, kamu sama-sama telah menyentil hati.
Maka, di setiap detik yang kapan saja bisa memenggal lehermu, berterima kasihlah kamu kepada sang Pencipta Waktu. Bersyukurlah atas kebahagiaan yang telah menyatu. Berterima kasilah atas orang tua yang dengan sangat mencintai kamu. Tunduklah kamu kepada waktu yang tak jenuh menunggu. Kepada kitabmu. Kepada junjunganmu. Kepada anggota tubuhmu. Kepada pagi. Kepada malam. Kepada udara yang bebas kau reguk. Kepada teman yang dapat mengalirkan senyummu. Kepada guru-gurumu. Kepada nasi uduk yang setia menjadi sarapanmu. Kepada air mineral. Kepada teknologi. Kepada laptopmu. Kepada Bill Gates. Kepada penjerat sastra. Kepada pengenyam filsafat dunia. Kepada Aristoteles. Kepada Kant. Kepada Euclid. Kepada Phytagoras. Kepada Pascal. Kepada Gauss. Kepada Khawarizmi. Kepada Moivre. Kepada semua simpul yang menggoyangkan bandul waktu, karena dia masih menjaga kamu, melindungi kamu... dalam lilinmu yang perlahan memendek, menua, dan menuju kubangan hampa...
  Akhirnya, aku hanya bisa ucapkan, selamat ulang tahun bagimu yang ke-15. Tataplah langit, dan pandanglah jutaan asap yang berarak-arakan menyerupai awan. Itu artinya, mereka selalu bersedia untuk kau sentuh, untuk kau resapi, untuk kau pahami. Betapa berharganya kumpulan waktu yang makin lama terasa seperti setetes air yang menggelayut di ujung daun, dan perlahan jatuh ke tanah. Singkat, padat, dan mudah berubah menjadi pipihan bias.
Jagalah lilinmu sendiri. Terbukalah dengan waktu. Karena dalam udara yang berhembus cepat, lilinmu mudah sekali untuk menggelapkan diri. Membungkam api sendiri. Hingga mati–hanya meninggalkan kumpulan memori.


Hadiah kecil untuk 15 tahunmu,
Sofwan Rizky

Senin, 19 November 2012

Jawaban Mama



Ada jutaan metafora di balik seringai malam. Ada banyak berkas rindu yang berhamburan, mengarus bersama hembusan udara malam. Aku selalu percaya bahwa malam tak selamanya kelam. Aku pun juga percaya bila malam bukanlah wajah yang penuh muram. Karena dalam malam, banyak noktah-noktah pembangkit misteri yang lama tenggelam. Datang dengan perlahan, dan pergi saat mata kita terpejam. Bayangkanlah, aku tahu kalian pasti akan paham.
Sampai sekarang, banyak malam yang kulalui dengan torehan kisah. Ada kisah yang kupikirkan sendiri, ada kisah teman sekolahku yang terbawa hingga ke rumah, ada cerita dalam setitik bintang, atau bahkan sekadar bulan yang mendesah. Tetapi, tak ada yang lebih istimewa dibandingkan jawaban Mama yang selalu meriah. Menarik sekat jiwaku yang telah lelah, hingga siap mendengarkan lagi jawaban Mama yang begitu indah.
Mungkin, ini terdengar aneh. Tetapi, kami berdua selalu sukses terkekeh.
Jadi, aku memiliki sejumput ritual yang kulakukan bersama Mama sebelum tidur. Kebiasaan aneh yang sebenarnya lebih berujung ke arah ngawur. Ritual itu berwujud... sejumlah pertanyaan bodohku yang kulontarkan kepada Mama, dan Mama harus menjawabnya, hingga aku puas melindur. Hingga Mama terkadang ikut mengantuk, terseret-seret waktu yang perlahan mengendur. Memang, jawaban Mama tak sepenuhnya jujur. Tetapi, selalu manjur membawaku menuju alam tidur.
“Sudah malam, saatnya kita tidur.” Mama mulai menarik tirai jendela. Sigap, aku melompat ke ranjang, tempat segala kisah bermula. Mama mematikan lampu, dan dunia terasa buta. Rengkuhan selimut membungkus tubuhku berada. Mama duduk di sampingku, dengan bantal yang siap menyangga punggungnya. Bintang, bulan, semua makhluk malam serasa merangkum kami dalam satu buana. Buana milik kami bersama. 
Dalam gelap, pendar bulan ternyata sanggup menembus jendela kamarku yang tipis. Sinar bintang pun ikut-ikutan merintis. Aku meringis. Gigiku muncul berbaris. Gelap ternyata tak membuat aku menangis. Justru, berbagai rasa aneh yang biasanya muncul, kini tak bisa aku gubris. Termasuk, kepingin pipis.
Aku mencoba memejamkan mata. Dalam satu detik, gelap segera menyerobot hingga membuai netra. Ah, ternyata berdoa lebih nyaman begini rasanya. Dengan mata terpejam, lirih doa dalam jiwa, bintang warna-warni di kelopak mata yang mengatup ... aku berdoa semoga aku bermimpi indah, dan keluargaku juga. Atau, siapa tahu semua keluargaku bermimpi sama. Bertemu di suatu tempat, lalu menertawakan keajaiban yang ada.
“Sudah berdoa?” ujar Mama tiba-tiba.
Aku membuka mata, menyimpulkan senyum pendek. “Sudah, dalam hati.”
Sunyi melewati kami dengan takzim, menyisihkan hening malam yang terasa dingin. Aku menyengir, ini waktunya bermain. Bukan maksudku ingin minta dikelonin, tetapi aku iseng saja ingin mengajukan pertanyaan yang terkadang membuat pusing. Segera kucari kumpulan pertanyaanku yang selalu kuajukan kepada Mama setiap malam, bahkan kususun urutannya. Ya, urutan pertanyaan-pernyataan itu.
“Ma, kupu-kupu itu indah, kan?”
Mama melenguh, aku tahu hatinya mengeluh. Siapa sih yang nggak bosan setiap hari diajukan pertanyaan yang sama? Dengan nada  tenang, ia menyahut sungguh, “Indah, lah...”
Aku bernapas lega, bagus kalau Mama masih ingin menyahut. Tak perlu aku memberengut. “Kupu-kupu kan dulunya ulat, tetapi ulat itu kan jelek banget, Ma. Kok bisa jadi indah seperti kupu-kupu begitu sih, Ma?”
Mama menghela napas. Banyak makna yang sebenarnya terjejas. Tetapi, ia lebih memilih bungkam, menjawab dengan bebas, “Ada fasenya. Ulat yang kata kamu jelek itu merajut benang-benang putih, hingga membekapi tubuh ulat itu sendiri. Nah, itu yang disebut kepompong. Lalu, beberapa hari kemudian, tukutukutuk... kepompong itu menetas, menjadi seonggok makhluk yang mengibarkan sayap indahnya, hingga terbang bebas... jauh ... ke langit ...”
Aku menatap langit-langit kamar. Meresapi jawaban Mama yang tak pernah hambar. Sebenarnya, itulah yang aku cari. Jawaban Mama yang memapahkanku menuju lingkaran imaji tak bertepi. Membawa pikiranku pergi, tetapi tetap bersama realita yang menanti. Urusan jawaban, aku sudah tahu sendiri. Bu Guru di sekolahku sudah menerangkannya berkali-kali.
“Kalau kangguru, kenapa ada kantung di perutnya, Ma?” tanyaku lagi.
Mama terdiam. Aku menunggu. Bisa jadi dia mencari jawaban baru, atau mengingat jawaban apa yang ia berikan kepadaku pada malam-malam sebelumnya. “Oooh, itu. Kalau nggak ada kantungnya, anaknya mau diletakkan di mana? Kasihan kan, anaknya ...”
Mama tertawa, sedangkan aku hanya mengangguk-angguk. Banyak makna yang harus kureguk. Satu demi satu, bagaikan menenggak susu bubuk.
“Macan tutul sebenarnya kan nggak galak ya, Ma?” celetukku lagi.
Mama tercenung. Merenung. Dan sepertinya logika harus terpaksa digantung. “Eeeh... iya.”
“Iya, sebenarnya kalau kita nggak deketin, dia nggak akan marah ya, Ma? Tetapi, kenapa kalau kita jauh dia nggak marah?”
Mama berdeham. Pertanyaanku saja mungkin ia tak paham. “Dia nggak akan marah kalau nggak diganggu. Oleh karena itu, kita lihatnya dari arah yang jauh, memang untuk apa sih lihat dekat-dekat?”
“Ma, mengapa Mickey harus sama Minnie, sedangkan Donald harus dengan Daisy?”
“Ya, mungkin karena mereka sejenis. Tikus dengan tikus, bebek dengan bebek.”
“Kalau Winnie the Pooh kok suka madu? Dia kan bukan lebah?”
“Tetapi dia beruang madu.”
“Kalau kelinci kenapa suka wortel, Ma?”
“Kan wortel mengandung vitamin A.”
“Ma, kenapa kalau malam kita harus tidur?”
“Memangnya kamu nggak capek seharian ini? Kita semua kan butuh istirahat.”
Aku tertegun. Semua kesadaranku terlonjak bangun. Rekaman-rekaman gambar bergilir masuk ke otakku, berbaris hingga tersusun-susun. Ah, mungkin ini alasannya mengapa aku selalu mengajukan pertanyaan kepada Mama setiap malam, karena Mama selalu menuntun. Menuntun aku menuju gerbang mimpi, meresapi gejolak diri, menyibak Nirwana hati. Tak peduli lagi dengan teori-teori basi. Lagipula, bukankah itu yang susah dicari? Bukankah ‘rasa’ yang mendukung segala tetek-bengek teori? Bukankah rasa percaya yang membuat teori terpatri pasti di dunia ini?
“Ma, apakah setiap manusia bisa menepuk lalat? Kan susah banget ...”
“Ma, jerapah kok lehernya panjang?”
“Ma, gajah kok bisa punya belalai?”
“Ma, ini kok bisa...”
“Ma, kalau ini...”
“Ma...”
Dengan segala kesabarannya, Mama menerangkan dengan hati-hati. Mulai dari jawaban yang logis atau pun tidak, aku tetap sukses dibuatnya terdiam pasi. Membuat mulutku terjahit rapat, tak dapat menyela, menyergah, atau menentang jawaban Mama yang tak pernah basi. Tak akan mati. Karena, jawaban Mama penuh dengan sebilah hati. Tak berlandaskan teori, tetapi selalu membulat pasti.
Sebab itulah, kualirkan segala ceritaku, kisahku, segalanya yang terjadi pada hari yang sudah kulalui, kepada Mama. Kuceritakan kisahku di sekolah, di perjalanan, di mana pun, karena aku tahu, Mama tak akan bosan menanggapi. Mama selalu memberikan celetukan yang tak pernah sepi, selalu rapi, sekaligus menyejukkan lereng hati. Bahkan, aku tak segan-segan mengarang cerita, mengarang sosok ‘teman’ di sekolah yang sebenarnya tak ada, meminta saran terhadap apa yang sebenarnya tak terjadi, karena aku tahu, Mama selalu memiliki solusi. Apa saja. Walaupun pertanyaanku itu belum terjadi, walaupun sebuah kejadian belum padat akan bukti, tetapi Mama selalu bisa menunjukkan jalan terdekat, terapat, terhangat, terpadat ... akan sebuah makna ... kepada aku, si Manusia Pencari. Pencari tambatan arti.
Sebenarnya ada satu pertanyaan yang sudah lama berkecamuk dalam otakku, tetapi tak sekalinya aku tanyakan kepada Mama : Mama memang tak bosan ya, menjawab puluhan pertanyaanku? Bahkan, kutanyakan hal itu kepada diriku sendiri, seolah membalikkan cermin, hingga terpatut bayanganku sendiri, seorang diri : dan memangnya kamu tak bosan bertanya tentang hal yang sama kepada Mama setiap malam?
Ternyata, setiap malam, setiap pertanyaan-pertanyaan anehku yang berhasil Mama terjang, tercipta sebuah jawaban, bagi satu pertanyaan yang tergantung lama dalam otakku. Dan aku mengerti hal itu sekarang. Aku puas. Aku cukup terbelalak, dengan sebuah senyum yang membentang...
Jawaban Mama-lah yang membawaku tidur, menuntunku ke alam mimpi, merengkuh realita dalam hati, dan siap memanggilku bila matahari telah menggandeng pagi.

***
Malam itu, gemerisik daun mengecup desauan angin mesra. Bulan merapatkan spasinya dengan bintang, agar saling mengumbar cinta. Burung-burung bertengger, rumput-rumput bergoyang lihai, danau tampak tenang nan stagnan, seolah mengundang kasih di tungku angkasa.
Malam itu, di situlah kelopak mataku mengatup, bibirku menutup, tak lagi menjorokkan tanya. Aku habis oleh kata-kata. Aku kalah telak bersama teori tak berjiwa. Aku digilas berbagai macam rasa. Jawaban Mama berhasil mengantarku menuju alam maya, dengan sebagaimana mestinya.
“Semoga mimpi indah...” Mama keluar kamar, dengan jawaban yang masih menggetarkan debar.

Kebayoran Lama
Sofwan Rizky

Sabtu, 10 November 2012

Monokrom


Dalam kertas lapuk yang mengeriting
Terdapat kenangan kita yang tak pernah menyingsing
Antologi masa yang membuat waktu terpicing
Hingga tertawa terkencing-kencing
Dalam hening
Banyak tabir yang tak lebur karena bening
Itu kita, manusia penggenggam ranting-ranting
Mengarak, menyuruk, menggondol memoar agar tetap lekas di samping
Masih ingatkah kamu, Ning?

Ning, mungkin kini tampakku telah lenyap
Terkikis dan mengepungmu dalam senyap
Namun, kamu tidak perlu kalap
Saya selalu ada, menunggu kamu hingga terlelap
Selalu. Setiap malam. Setiap napas yang terpental dalam gelap

Ning, saya tinggalkan album foto untuk kamu pandang
Saya tinggalkan seberkas cinta saya di sana, agar kamu mudah mengenang
Bukalah album itu, dengan janji, jangan sampai matamu menggenang
Saya tak mau, Ning. Saya tak mau hatimu hambar mengambang
Karena, saat air matamu memercik, saya tak lagi ada di sana
Saya tak bisa menghapus air mata kamu saat merana
Atau, saya pun tak bisa ikut terpingkal saat kamu tertawa
Karena memaki-maki kebodohan saya

Ning, bukalah album itu perlahan
Rasakan desiran waktu yang telah berjalan
Mengaruskan kita, menjebak kita, membuat cinta kita tertelan
Dalam tungku waktu yang meletupkan buaian

Ning, kau sudah membukanya?
Menatap foto abu-abu pernikahan kita yang tercetak di sana?
Bagaimana, kamu lihat bahwa abu-abu tampak mendominasi hidup kita dulu, bukan?
Dan... bukanlah rahim abu-abu itu yang selalu membuat kita berdampingan?

Saya ingat, dulu kita sering kali bertengar
Mengoyak dinding abu-abu yang kian melebar
Saya tahu, saya rasa, hati kita sama-sama bergetar
Bertengkar kepada orang yang kita cinta... memang selalu merobohkan tegar
Hingga... aku selalu mengalah, Ning. Saya redam semua gejala yang berkobar
Karena saya tahu saya yang bodoh. Kamu yang pintar.

Saya ingat, kamu selalu berkata bahwa saya itu manusia lempeng
Mau diajak bicara ke mana pun jawaban saya tetap nggak mudeng
Dan kamu pernah bilang, saya waras kalau saya dibuatkan es pudeng
Dan kalau saya ingat-ingat sampai sekarang, ucapanmu benar adanya juga, Ning
Saya gembleng di depan kamu
Semua yang saya punya ngawur di depan kamu
Entah sebab apa yang membuat semua ini melaju
Akankah cinta, benci, atau memang diri saya yang dungu
Saya tak peduli. Saya hanya peduli melihat diri kamu yang selalu kesal sama saya
Karena setiap kamu kesal sama saya, kamu selalu ketawa
Jadi, tak masalah deh kalau saya memang gila
Kalau itu membuat kamu bahagia

Ning, saya jadi kangen saat kamu selalu memanggil saya Monokrom
Memandang segalanya dengan satu titik, satu celah, satu teropong
Walau wajah kamu ruwet, kesal, letih saat bicara sama saya
Tetapi saya senang sekali, saat nama Monokrom tertiup di telinga saya
Adem, Ning
Apalagi saat kamu berkali-kali memanggil saya dengan panggilan itu setiap hari
Saya semakin bahagia, karena sampai keseratus kali kamu memanggil saya itu,
Ternyata kamu masih bisa menerima saya, sang Monokrom Lempeng
dengan apa adanya

Ning, sudah dulu, ya
Tutup saja album yang sama monokromnya denganku itu sekarang
Jangan nangis, Ning. Jangan.
Saya juga kangen sama kamu, kok
Kangen sekali
Jadi, jangan nangis lagi
Waktu memang penguji cinta, Ning
Dan saya anggap kamu telah berhasil
Karena kamu telah bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Seperti puisinya Goenawan Mohammad itu, Ning
Kamu ingat, kan?

Ning... apakah boleh saya mengajukan permintaan sama kamu?
Simpel saja, Ning
Panggil aku, sekali lagi saja...
dengan panggilan sayang 'Monokrom', ya?


Kebayoran Lama, 2012

Catatan : Salah satu tulisan yang akan saya kenang. Saya menikmati proses penulisan tulisan yang berjudul 'Monokrom' ini. Saya akan ingat keteguhan hati kedua manusia ini.
 



Selasa, 11 September 2012

Bisu


Diam tak selalu hangus tanpa makna. Ada kalanya bisumu memuarakan segala aksara. Pada sudut hatimu, kau pun banyak bersuara. Hingga kesadaranmu merangkum, lama-lama hatimu lebih banyak memberontak dibandingkan bibirmu.

Semilir rekaman gambar terus bergilir di depan mata. Semua tampak biasa, sehingga kau lebih memilih bungkam. Tetapi, ada saatnya... pemandangan orang yang kau cinta membuatmu ingin bicara, tetapi fenomena itu menjahit mulutmu rapat.

Kau membisu karena dibuat bisu.

Hatimu meringkuk, dan tak ada salahnya kamu mendengarkan resahnya. Tak apa kau berbaur dengan getah, bila semua desau itu membuatmu betah.

Hanya dirimulah yang tahu bahwa kau sedang bicara dalam diam. Dan, dirimulah yang tahu, suara siapa yang sedang beraksi dalam dirimu.

Asal kau tahu,
Suara itu bukan bisikmu. Itu jeritmu dalam lorong teramat sempit.
Itu bukan bahagiamu. Itu laramu.
Kau harus sadar, itulah dirimu yang terhimpit cinta.

Mungkin jika suara hatimu diizinkan bicara, ia akan berteriak lancang. Menembus segala dinding. Mengoyak segala spesies perasaan. Bahkan, kau pun berharap-harap...

Hatimu yang selalu memanggil namanya dapat menerobos perasaannya. Setidaknya.

Ini hanyalah masalah tampak dan tidak tampak. Ceracaumu yang hanya merambati lereng hati ternyata tak akan sanggup berkoar lewat udara. Kini, kau hanya bisa disebut penonton, walau sebenarnya kamu ingin beraksi. Kamu ingin keluar. Kamu ingin mengungkapkan apa yang sebenarnya.

Kau ingin berdiri.

Kau ingin berteriak lebih keras, memanggil namanya.

Kau ingin berlari, menggapai dirinya, mengungkapkan segala kasih sayangmu yang sudah membatu.

Tapi...
Ya, sudahlah.
Biarlah itu menjadi misteri untukmu sendiri.

Bisumu mengembuskan napas berat. Kau kembali duduk, dengan lutut yang melemas. Matamu mulai bersuara, menimbunkan genangan air yang menyudut di kelopak mata.

Kau hanya bisa tersenyum, tertawa sekali-kali, dan menyeka air mata yang terkadang jatuh berlinang.

Siklus ekspresi itu terus berputar.
Kau tersenyum, saat dia bahagia.
Dan kau menangis, saat dia bahagia, padahal itu menyesakkan hatimu sendiri.

Dan, kapan saatnya kau tertawa?

Kau tertawa, karena dirimu itu lucu sekali.
Kau merelakan dia bahagia dengan cintanya, padahal kau sendiri pun tidak dengan cintamu.

Teruslah tersenyum, tertawa dan menangis.
Karena bisumu tak selalu mengungkap ekspresi,
Namun tertoreh dalam aksara yang mudah memudar.

Santai saja.
Tetapi,
Jangan biarkan bisumu mengikis dirimu perlahan.