Halaman

Jumat, 13 Januari 2012

Kepingan yang Selalu Waras


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4 Aku hanya memandang fotomu yang selalu kunggenggam erat, Medda. Kubingkai foto kita berdua dengan pigura kayu kecil yang kuambil dari sini, tempatku tinggal. Walaupun foto itu layaknya puzzle yang terpisah, tapi aku berhasil menyatukannya kembali. Walaupun sampai sekarang aku belum bisa menyatukan diri aku yang dulu. Yang kau kenal dulu. Kepingan-kepingan diriku sudah terpisah jauh, Medda. Sudah sulit disatukan. Bahkan, rasanya itu tak mungkin lagi disatukan.

Karena, ada satu kepingan berharga yang hilang, Kamu.

Kini kita berbeda dimensi. Kau menjalankan masa yang penuh dengan kenyataan, sedangkan disini aku terus menyaksikan sebuah drama penuh skenario. Mungkin dulu, saat kepingan-kepingan menyatu dengan erat –saat kau masih dengan rambut berkepang dua –menelusuri bukit dengan sepeda ontelmu, dan aku menantikanmu di bukit itu sambil menanam tanaman teh.

Kau selalu menunggu teh itu jadi, Medda. Kau lihat proses aku menanam, kau bawakan aku serantang penuh makanan –kau katakan itu masakan pertamamu, yang semakin membuatku terhanyut dalam permainan ini.

Sampai awal tahun 2000, dimana masa-masa 90-an sudah berakhir, kamu juga menghilang. Tak kutemuimu di pelosok desa kita. Tak kutemui lagi sesosok gadis bersepeda ontel membawa rantang makanan untukku. Tak ada.

…Sejak saat itulah, kau mulai menghilangkan satu kepingan yang sangat berarti.

Bahkan, permainan itu hancur seketika. Kepingan-kepingan seolah menyebar tanpa tahu arah. Kau dibawa ke Jakarta untuk menikahi lelaki pilihan Ayahmu. Lelaki yang sangat dibanggakan Ayahmu yang terhormat itu. Kau juga tak sempat meninggalkan pesan sedikitpun untuk diriku yang masih menunggumu. Tapi kau, hanya menghasilkan foto kita menjadi serpihan kertas, sekaligus membuatku gila.


“Dok, sepertinya pasien ini kambuh lagi. Dia menangis sejak tadi.”

Aku menatapnya marah. Kupeluk erat pigura foto kita berdua. “Jangan. Tolong. Saya tidak gila. Dia. Ya, dia. Dia yang membuat saya waras.” Aku memojok kearah tembok. “dan aku juga tahu, dia masih menyayangiku.”

Tanpa bicara, dokter tolol itu segera menarikku ke ruangan busuknya. Dan aku masih melindungi pigura kita dari tangan kotornya.

Dan satu yang membuatku ingat, kau masih menyisakan satu keping lagi untukku. Satu keping yang berartikan:




…Kangen.

Selesai


P.S. Fiksi sekaligus #kangenmantanunite yang kedua. Semoga tak bosan disuguhi selalu dengan fiksi, kak @hurufkecil.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar