Halaman

Sabtu, 19 Mei 2012

Serenade

Lagi
Oksigen mengepungku bangga
Menjerat hidungku hangat
Menerobos masuk tak mau tahu
Dia tak mau peduli
Dia hanya tahu dia suci
Untuk membisikkan kata:
Dia merasakan apa yang engkau rasa

Lagi
Awan berarak-arakan di langit yang terlentang
Merutuk-rutuk dalam dada langit yang amat lapang
Menghiasi setiap letupan jantung jika langit kelam
Siapa sangka petir juga berbahasa
Menyampaikan salam:
Kalian adalah kelinci yang pemalu

Lagi
Air mendamba di ujung daun
Bereaksi dalam segelintir heran
Mengapa gutasi selalu ada di sampingnya
Membuat air selalu merangkak hingga ingin terjatuh
Menjelma menjadi tetesan kecil
Hingga berkecipak:
Kalian, bagai daun dan gutasi

Lagi
Desah udara meniupkan namanya
Awan melingkarkan wajahnya
Air mengungkap semua pertanda
Kita semua adalah serenade cinta
Berkolaborasi menyampaikan rindu
Diiringi bisikan Tuhan yang memimpin:
 Kalian mendengar bisikan yang sama


Sabtu, 12 Mei 2012

Kopi


Teleponnya bergetar.
Ia merogoh sakunya, melirik sedikit layar teleponnya:

Panggilan Masuk
Rhea

Sigap, ia memasukkan lagi teleponnya ke sakunya dalam. Berusaha bertingkah normal lagi di depan istrinya dan anaknya. Berharap istrinya tidak berprasangka apa-apa. Apalagi Aluna, anaknya yang suka bertingkah macam-macam. Bisa-bisa merusak acara makan malam yang jarang-jarang dilakukan ini.

Teleponnya bergetar lagi.
Ia merogoh sakunya, melirik sedikit layar teleponnya:

1 Pesan Baru
Rhea

Dengan mata yang terus memeriksa kedua bola mata istrinya, ia melihat pesan itu:
 Mas, bisa ke kedai kopi yang biasa nggak? Sudah lama nih aku nggak ngeramal orang lewat kopi.

Ragu, ia membalas:
Nggak bisa, Rhea. Aku sibuk. Aku juga tidak mau minum kopi sekarang. Maaf ya.

"Siapa Mas?" istrinya akhirnya menyadari suaminya yang terus melirik ke bawah meja makan.

Nama yang dipanggil mendongak, berusaha bertingkah normal dan tersenyum, "Bukan, urusan kerja,"

Istrinya hanya mengangguk-angguk saja, malas menyelidiki lebih lanjut.

KRINGG!
Suara telepon berdering lagi.

Ia terperanjat sedikit. Menerka-nerka: Perasaan sejak tadi teleponku dalam kondisi getar! Kok...

"Biar Aluna yang angkat, Bu," Aluna melompat dari tempat duduknya, bergegas menuju telepon rumah.

Ia bernapas lega. Rasanya jantungnya berhenti berdegup sementara. Dan ingin mengoceh banyak di depan Rhea saat bertemu.

Tak lama, Aluna kembali dan melanjutkan makan malamnya.

"Siapa, Lun?" tanya istrinya sambil mengunyah makannya lembut.

"Aluna juga nggak tahu. Mungkin.... iklan badut ulang tahun," jawabnya sambil terkikik kecil, cengengesan. Tak mau tahu, bahwa orang tuanya dibuat heran olehnya.

***
Pagi yang dingin, matahari masih malu-malu untuk menyembul ke permukaan.

"Ayah, mau Aluna buatkan kopi?" tangan mungil anaknya menepuk bahunya keras. Membuyarkan barisan aksara yang sedang ia baca.

Sigap, ia melepaskan koran dan menengok, "Aluna sudah bangun? Tumben, ini kan masih pagi?"

Aluna hanya menyengir khas, "Ayah mau nggak? Jarang-jarang lho, Aluna mau buatkan kopi,"

Ia tersenyum dan membelai pipi anaknya lembut, "boleh. Makasih ya, Sayang,"

Tak terlalu lama, Aluna kembali dengan membawa secangkir kopi hangat. Baunya menyeruak memenuhi udara yang masih bersih.

"Silakan diminum, Ayah..." Aluna menopang dagunya di samping ayahnya. Menunggu ayahnya meneguk habis kopi buatannya.

Selang 1 menit, ia meletakkan cangkir kopinya di meja. Dan...

Aluna mengambil cangkir itu cepat. Melihat dasar kopi, menganalisis sesuatu.

"Waaaah, benar! Ayah sedang jatuh cinta lagi! Pasti sama Tante Rhea, ya? Pasti Tante Rhea seneng kalau denger ini!"

Matanya langsung membulat, membekap mulut anaknya cepat. Otaknya heran walau itu harus disingkirkan dulu, karena yang lebih penting, istrinya tidak mendengar ucapan Aluna tadi. "Hussh! Aluna ngomong apa tadi? Aluna belajar dari mana?"

Aluna melepas bekapan tangan ayahnya dan tertawa kecil. "Dari Tante Rhea. Semalam ia menelepon, Aluna diperintahkan untuk membuatkan kopi dan meramalnya. Katanya, dia kangen banget sama Ayah,"

Ia mendengus kesal. Batinnya berteriak keras, mengelukan nama selingkuhannya:

RHEAAA!

Dialog dalam Danau


Jika ada kabut yang ditiupkan Tuhan, berkata:
Siapa manusia yang paling sabar di dunia?
Aku merapatkan kaki dan memeluknya hangat. Menenggelamkan kepalaku dalam. Sudut mataku sudah mulai goyah. Sibuk meracik simbol untuk gumpalan rasa yang amat pedih.  Lengkaplah sudah. Lembaran hidup yang berjalan pada seutas benang, dengan kemungkinan terbesar adalah jatuh.

Jawabannya kujawab lirih,
Aku.

Jika air beriak, memercikkan sebuah pertanyaan:
Masihkah kau menganggap dia adalah kamu?
Napasku tercekat dalam sebuah rasa yang begitu membelit. Ingin sekali aku berteriak tidak, namun rasanya sulit. Rasa cinta yang sudah terlanjur menyulut sebuah mantel hangat. Merengkuh tubuhku selamanya. Sulit dilepaskan.

Bila harus jujur, aku harus mengakui, dia masih menjadi orang yang bertitel kucinta.

Jika Tuhan mengirimkan petir yang menyambar sekaligus berkata:
Kau orang yang bodoh. Tidakkah kau bosan? Kau terlalu lama menunggu untuknya!
Aku hanya bisa tersenyum dalam segelintir pahit. Ini adalah yang kurasa, ini adalah sebuah keanehan. Aku juga tidak tahu apa artinya. Tetapi semakin aku tak tahu mengapa aku tak samasekali bosan menunggunya, itu semakin membuatku bertahan,  rela hanyut dalam hantaman ombak yang keras.

Jika awan hitam ikut berceloteh:
Hei, dia mencintai makhluk lain! Tidakkah kau sadar? Kau hanya sekedar temannya, tak lebih! Hilangkan perasaan itu jauh-jauh!
Aku mengedip lagi, hingga tak terasa air mata sudah jatuh berkeping-keping. Sudah sepuluh tahun, aku menjadi teman dekatnya, sekaligus orang yang ia percaya. Dan sudah beribu-ribu cerita yang ia berikan kepadaku, tapi samasekali tak ada cerita yang menyangkut namaku.

Aku menatap langit, angkasa sedang terbahak. Petirnya semakin menjadi-jadi. Dia sangka aku terlalu mengkhayati peran dalam drama hidup ini.

Akhirnya hujan turun, membisikkan kata-kata:
Aku tak sanggup melihatmu terus bertahan. Aku tak sanggup cinta menghabiskan kebahagiaanmu, hingga tinggal menyisakan kesedihan mendalam. Haruskah aku menghilangkan cinta untukmu?
Aku tersenyum lagi. Aku menggeleng pelan. Hujan menyamar menjadi tangis, hingga menyembunyikan air mata yang terus ada. Walau imaji terus muncul, menggambarkan dia yang melihatku sampai begini karenanya.

Aku hanya bisa menjawab. Tak usah, hujan.

Karena jika cinta hilang, dia tak lagi bahagia dengan orang yang ia cinta.

Jika dia tidak bahagia, aku semakin terpuruk.

Karena hidupku sudah menyimpulkan sendiri,

Cukup aku yang mencinta. Cukup ia yang bahagia. Aku sudah puas. Sangat puas.

Jumat, 11 Mei 2012

Nebula

Gambar: Indah? Bukan Tumblr. Nebula memang selalu mempesona.

Kalau aku sebut kau Nebula, mungkin itu salah. Kau lebih dari sekedar itu. Pesonamu memancarkan berbagai cabang hipnotis. Dan matakulah yang menjadi korbannya. Mata yang menjadi sasaran tembaknya, hingga tak berkedip karena lemas tergoda.

            Tahukah kamu? Kecantikanmu membuatku merinding, seperti ingin merasakan apa yang dinamakan Supernova! Bahkan, aku ingin menjadi dirinya. Hingga mereka semua tahu, kita berdua adalah sehimpun ciptaan yang tak asal diciptakan. Serasi!
            Hei, aku harus memanggilmu apa? Nebula Semut? Itu salah! Tak ada orang yang sama persis sepertimu! Kau tidak berfraktal seperti apa yang Mandelbrot simpulkan!
 Ya. Kini, kau tinggal menyebut namamu. Itu saja.

“Nebula,”

            Aku tertawa puas. Akhirnya itu yang terlintas di benakku. Kau cukup Nebula. Melahirkan bintang, yang memesonakan indraku. Nama rumit yang aku pikirkan, ternyata untuk orang yang menciptakan kamu, aku, dan kita.

Sabtu, 05 Mei 2012

Agen Mars (1)

Kali ini, saya ingin mempublikasikan cerita untuk suatu sayembara yang sama. :D Karena terlalu panjang, saya membaginya menjadi dua bagian. Selamat Membaca! :D

***

Awan menggantung dengan wajah memelas. Berusaha menahan kepedihannya agar tidak tumpah ke mana-mana. Budi dan Mimi terlalu kecil untuk melakukan ini semua. Awan ingin sekali gemertak, marah dan protes terhadap Tuhan, mengapa hidup ini tidak terasa adil. Namun semuanya lagi-lagi tertahan–Tuhan tak mau mengungkap semuanya cepat-cepat.
“Kak, kenapa sih sampahnya banyak banget? Mimi kan capek,” ketus Mimi dengan bibir yang maju ke depan. Tangannya tak berhenti bergerak memungut sampah-sampah yang menyesaki pinggiran jalan kota.
Budi mendongak, tersenyum kepada adiknya, “Mimi, itu sudah menjadi adat istiadat bagi penduduk kota ini: Membuang sampah sembarangan. Susah diubah!”
Mimi menyeka keringatnya yang terus mengucur, seolah kepenatannya sudah penuh dan menubruk dinding otaknya. “Tapi kenapa harus begitu, Kak? Mimi capek. Bukan fisik Mimi saja yang capek, tetapi semuanya. Hati Mimi terlalu sering bertanya-tanya, kenapa Mimi tidak sekolah seperti anak-anak yang lainnya, tidak memiliki rumah yang bagus seperti yang lainnya dan banyak sekali hal-hal yang seharusnya Mimi miliki, tetapi tidak Mimi miliki,”
Budi menghela napas, “Kan sudah berapa kali Kakak bilang, kita itu–”
“Apa? Agen Mars? Agen yang berasal dari Mars, ditugaskan Tuhan untuk mengawasi tingkah laku manusia di Bumi? Alien yang bertugas membersihkan bumi? Kak, kenapa sih Kakak sangat percaya dengan cerita-cerita ayah dan ibu?”
Budi menganga lebar, tak percaya dengan penggalan kata yang barusan terlontar itu. “Mimi!”
Belum saja penjelasan belaka akan muncul dari bibir Budi, Mimi sudah berlalu pergi. Berjalan dengan langkah panjang sambil terisak tangis. Tak ada kepala yang menengok menghampiri mata Budi. Semuanya sudah berhiaskan punggung kecil yang berlalu pergi.
Budi tercenung dalam kata-kata yang baru saja Mimi ucapkan. Entah kenapa itu serasa mematikan hati untuk terus bersabar. Mimi sudah besar. Wajar dia berpikir seperti itu. Namun yang tidak bisa Budi yakini, bahwa adiknya ternyata sudah mengambil langkah yang tak pernah ia duga sebelumnya.

***
Langkah yang terseret-seret menderap di atas tanah. Melaju menuju sebuah bangunan kardus, yang berada di lorong sempit, menyempil di antara rumah-rumah yang sesak.
Budi membuka pintu rumahnya, memandang Mimi yang sudah memojok di sudut ruangan. Suaranya serak ditelan tangis yang terus melanda. Markas lagi-lagi penuh akan air mata.
“Mimi…” panggil Budi pelan.
Mimi pun mendongakkan kepalanya, menampilkan wajah sendunya yang menyedihkan. Matanya mengunus kedua bola mata kakaknya lamat. Hingga Budi tergidik merinding. Adiknya tampak sudah benar-benar muak.
“Mimi, iya, Kakak mau–“
Belum kalimat itu selesai dilontarkan, Mimi sudah memeluk hangat Budi. Kepalanya merutuk-rutuk di dada Budi. Kesedihannya, kekesalannya, ketakpuasannya, ditumpahkan saat itu juga.
“Maafkan Mimi, Kak. Mimi yang salah,” Napasnya tersendat-sendat karena diselingi tangis. “Seharusnya Mimi percaya dengan cerita-cerita ayah. Seharusnya Mimi nggak boleh berpikiran seperti tadi,”
Budi tersenyum kecil seraya mengelus punggung Mimi pelan. Dia pun mengajak adiknya duduk bersandar pada dinding rumahnya. “Mimi, wajar bila kamu tak percaya. Dulu, Kakak juga pernah berpikiran seperti itu,”
Air wajah Mimi seketika berubah penasaran, “benarkah?”
“Benar,” Budi menganggukkan kepalanya. “Awalnya Kakak juga tidak percaya dengan apa yang Ayah bicarakan. Bahwa kita adalah alien, makhluk yang sudah dicari-cari oleh banyak orang,”
“…lalu?”
“Tetapi, entah mengapa, rasa itu timbul seketika. Mungkin memang Kakak belum percaya, bahwa raga Kakak ini adalah tubuh alien –tapi akhirnya Kakak menyadari, bahwa Kakak benar-benar menjalankan misi menjadi alien Mars,” Budi tersenyum, mengambil napas panjang. “Raga ini sudah ingin berhenti untuk menjadi tukang sampah, memungut sampah-sampah di jalan, tetapi jiwa ini tidak mengatakan begitu. Seolah ada radar dari Mars –tempat asal kita yang mengirimkan, bahwa Kakak harus ingat misi mengapa Kakak diturunkan di bumi ini. Menjaga bumi dengan sebaik-baiknya,”
Wajah serius Mimi berubah dengan kening yang merengut bingung. “Tapi, kenapa kita harus menjadi alien miskin, Kak? Mimi bisa kok, jadi orang kaya yang sayang dengan bumi. Mimi bisa ke sekolah dengan naik sepeda, menggunakan peralatan hasil daur ulang, tidak seperti sekarang. Kita menjadi tukang sampah jalanan,”
Budi tersenyum puas, “Itulah yang dinamakan misi rahasia. Kamu bisa lihat kan, bagaimana orang-orang mapan di luar sana? Mengobral karbondioksida sembarangan, membuang sampah seenaknya, kantung belanja yang terus ditemukan, mereka benar-benar lupa dengan bumi, Mimi. Kalau kita menjadi alien kaya, kita bisa-bisa dicurigai bukan manusia. Kita bisa ditangkap, dimasukkan ke dalam museum astronomi, bahwa kita adalah makhluk asing dari Mars. Oleh karena itu, anggaplah ini sebuah penyamaran, hanya kau dan Kakak yang mengetahuinya,”
Mimi manggut-manggut mengerti, senyumnya melebar memenuhi udara rumah kardus yang mereka tinggali. Yang mereka anggap markas rahasia utusan-utusan alien dari Mars.
“Sekarang, Mimi akan lebih giat menjalani misi, Kak. Mimi janji, Mimi akan menjadi alien Mars yang baik,” janjinya dengan sunggingan senyum yang indah.
Budi mengangguk kecil, “Ozon pun menitipkan harapan di tangan kita,”
Mereka pun akhirnya terpingkal bersama. Menyulut sebuah kebahagiaan yang sangat sederhana. Tak perlu uang, tak perlu kekayaan. Walau ada seberkas ilusi di antara kebahagiaan mereka. Yang membuat semuanya terasa pelik. Mereka, berdua, terjerat dalam sebuah fiksi yang amat mendalam.

***
Kaki-kaki kecil berlarian di aspal. Membaur dengan teriakan bahagia, yang memanggil sebuah nama, “Kakaaak! Aku pulang!”
Budi mendongakkan kepalanya, matanya langsung terbelalak melihat semua yang dibawa adiknya sendiri, Mimi.
“Kak, lihat, Mimi bawa apa?” tanyanya dengan secercah senyum yang terlampir manis. Meletakkan barang-barang bekasnya ke lantai rumah kardusnya, markas rahasia.
“Ini buat apa, Mimi? Sampah bekasnya kok, banyak sekali?” Budi menggaruk kepalanya kebingungan. Menerka-nerka jawaban apa yang akan diutarakan adiknya.
“Kakak masa tidak bisa tahu? Ini adalah salahsatu untuk menjalankan misi dari Mars, lho. Mimi akhirnya sadar, misi ini benar-benar menyenangkan!”
Budi menaikkan alisnya, “Maksud kamu…bagaimana bisa?”
Mimi menyibakkan rambut panjangnya ke belakang, “jadi, tadi Mimi bertemu dengan anak-anak yang baru saja pulang sekolah, dan mereka menatap Mimi lamaaa sekali. Mimi sempat heran, apa ada yang salah dari diri Mimi? Tapi ternyata, Kak, mereka itu memerhatikan tas mimi!”
“Tas yang kamu baru buat kemarin? Bahan jins?” timpal Budi dengan wajah yang masih kebingungan.
Mimi manggut-manggut sambil tersenyum, “Iya. Mereka juga sempat berbisik-bisik, bahwa tas Mimi itu bagus. Padahal kan, celana jins ini juga dari mereka-mereka. Tapi ternyata, Mimi bisa mengolahnya menjadi barang yang bagus, sekaligus mengurangi penggunaan plastik!”
Bibir Budi menganga lebar tak percaya. Ternyata adiknya bisa secerdik ini. Menggunakan barang-barang bekas untuk sebuah benda yang tak kalah bagusnya dengan barang-barang yang bermerek. Benar-benar inteligensi yang jenius.
“Wah, hebat kamu, Mi. Pasti Bos Mars bangga sama kamu. Ayah dan Ibu, yang sudah lebih dulu ke sana juga pasti bangga sama kamu. Kamu benar-benar agen Mars yang baik!” Budi tak henti-henti melontarkan pujian kepada Mimi. Dia benar-benar manusia yang menyayangi bumi. “Sekarang, kamu mau buat apa dari ini semua?”
Mata Mimi menyapu luas barang-barang di depannya. Bayangan-bayangan tentang benda yang indah sudah mondar-mandir di otaknya. “Tempat pensil dan… vas bunga!”
“Bagaimana caranya?”
Jemari-jemari kecil Mimi mulai terampil dengan barang-barang di depannya. Ia mulai meraih botol dan mulai menggunting di sana-sini. Menghasilkan imaji yang sangat proporsional untuk sebuah tempat pensil di otak Budi.
“Botol ini digunting melingkar, tak penuh satu lingkaran, jangan sampai putus, lalu…” Mimi mulai menjelaskan langkah-langkah selanjutnya. Untaian-untaian kata yang membuat Budi memekik takjub. Lewat tangannya, lahir sejumlah barang yang tak pernah disangka. Mimi terlalu asyik hingga terjun ke dalam dunia seninya, hingga hasilnya pun tak main-main. Luar biasa bagusnya.
Menyadari dua bola mata yang terus memandang gerak-geriknya, Mimi pun memberhentikan pekerjaannya. “Kok, Kakak melihat Mimi terus?”
Budi menggeleng-geleng, “Nggak, kok. Sudah, teruskan lagi,”
Seolah ada yang melintas sejenak di otak Mimi, tiba-tiba senyumnya merekah lebar. Kebahagiaan mulai tersirat kembali. “Ya ampun, Mimi sampai lupa. Kakak mau dibuatkan juga, ya? Kakak mau apa? Mobil-mobilan? Tas juga? Atau…”
Budi menggeleng lagi, “nggak perlu, Mimi. Semuanya buat kamu,”
“Jangan, Kak. Kakak juga harus mendapatkan sebuah barang yang merupakan karya dari Mimi sendiri! Itu juga bisa menjadi sebuah kenang-kenangan, kan?” serunya girang. Dia mulai bangkit dari tempat duduknya, melompat-lompat menuju daun pintu.
“Lho, kamu sekarang mau kemana, Mi?” tanya Budi kebingungan.
Mimi membalikkan badan, dengan sinar matahari yang juga menyorot langsung. Membuat tubuhnya menjadi siluet yang sangat anggun. “Aku ingin mencari bahan-bahan yang lain, untuk membuat suatu barang yang akan diberikan kepada Kakak,”
Budi menyimpulkan senyum. Menatap siluet yang beranjak pergi, dengan rambut yang berkibar ditiup angin. Tungkai kecil itu berlari, semakin beranjak jauh, hingga bayangannya semakin kecil, sampai hilang tak terlihat.
Namun, rasanya ada yang aneh. Ada segugus rasa yang datang tiba-tiba, menjelaskan–semua fiksi ini akan berakhir tak lama lagi.

Bersambung