Halaman

Sabtu, 26 April 2014

Hickory Dickory Dock


MANTAN pacarku itu seorang guru TK. Tinggi, postur ideal, rambut panjang, senyum manis, baby face, sifat keibuan, dan kalau kalimat ini diteruskan, bisa melebihi definisi sempurna. Wih, kurang apa, coba, kalimat -maaf, mantan pacarku, ini? Dan lewat pekerjaannya yang mulia itu, dia pun menjadi jatuh cinta dengan lagu anak-anak.

See? Tipe-tipe perempuan yang pandai mengayomi anak-anak, bukan, sih?

Dan karena hal itu jugalah yang membuatku pernah jatuh cinta dengannya.

"Hickory dickory dock, the mouse ran up the clock..."

Tak jarang dia menyanyikan lagu itu hingga terdengar ke telingaku. Dan rasanya, indah bukan main. Suara lembutnya nggak beda jauh dengan dentingan harpa. Saat aku puji dengan kata-kata ini, dia pun menyengir. Kata-kataku memang handal dalam urusan mencairkan senyumnya. Setelah itu dia pun melanjutkan nyanyiannya, membuat kami mengangguk-angguk bersama. Kami anggap nyanyian itu menjadi ritual rutin kencan malam minggu kami yang sering digelar di Taman Ayodya.

Tetapi, pada suatu waktu aku dihampiri satu pemikiran. Ada satu kejanggalan yang nggak pernah kusadari setiap ia menyanyikan lagu itu.

Entah mengapa, saat lagu itu ia lantunkan, aku selalu mendengar bagian yang sama. Selalu terulang, hingga ia berhenti dengan alasan kehausan. Sampai aku kira, lagu itu cuman sebatas sebait yang ia nyanyikan.

Seperti ini bunyinya.

"Hickory dickory dock / The mouse ran up the clock / The clock struck one / The mouse ran down/ hickory, dickory, dock ...

The mouse ran up the clock / The clock struck one / The mouse ran down / Hickory, dickory, dock ...

The mouse ran up the clock..."

... Dan kalau lirik di atas kuteruskan, hal itu bisa melebihi definisi buntut T-Rex.

Hm, coba deh kalian berpikir. Kenapa, ya? Apa karena saking lembutnya suara dia hal itu sanggup membuat diriku buta bahwa lirik lagu yang ia nyanyikan hanya itu-itu saja?

Apakah begitu?

Oh, oke, itu urusan belakangan. Sekarang, yang mau aku tanyakan kepada kalian adalah, wajar, nggak, jika pada suatu saat, ketika aku menjemputnya pulang dari tempat kerjanya, aku bertemu perempuan yang sanggup membuatku terperangah karena menyanyikan lagu itu dengan lirik...

Berbeda?

"Hickory dickory dock / The mouse ran up the clock ..."

Dari balik jendela kelas, aku menemukan satu guru TK yang lain. Dan saat aku menatap wajah guru TK satu itu, aku tersadar akan sesuatu. Ya, tampar aku berkali-kali, karena hal ini bisa membuat suatu bukti kekal bahwa seorang aku pernah berpikir...

...Kok guru TK itu ternyata cantik-cantik, ya?

"The clock struck one / The mouse ran down / Hickory, dickory, dock..."

Suara guru TK satu ini pun nggak kalah indah. Merdu. Jernih. Ah, intinya, membuatku sukses terpaku, hikmat mendengar dia menyanyi di depan satu murid yang belum juga dijemput sama orang tuanya.

Suaranya terus membuatku membeku, sampai akhirnya...

" ... Hickory dickory dock / The bird looked up the clock..."

Hei, tunggu. Lirik apa ini?!

"... The clock struck two / Away she flew / Hickory dickory dock.."

Sumpah. Saat aku mendengarnya, mataku membeliak spontan. Pasti tampangku seperti kambing dungu detik itu. Awalnya, aku memang tak percaya. Mana mungkin pacarku bohong? Mustahil. Aku menganggap itu semua hanya efek halusinasi semata. Tetapi, saat kudengar lebih teliti...

Gila, lirik selanjutnya berbeda juga, hadirin yang terhormaaaat!!!

Semuanya berbeda! The clock struck until ten!

Waduh, waduh.

Terkejut? Ya. Bingung? Pasti. Merasa tertipu? Ya nggak, lah, berlebihan itu namanya. Tapi kalau...

Tertarik?

... Eh, lumayan.

Yah, mungkin inilah kelemahanku, kebodohanku, sekaligus juga kesalahanku. Sejak saat itu, rasa penasaranku membawaku menjadi dekat dengan guru TK satu itu. Awalnya, memang cuman perkenalan. Selanjutnya, kami sibuk membahas lagu itu (Katanya, lirik yang berbeda itu ia ambil dari internet. Sekalian biar anak-anak belajar berhitung, ucapnya). Selanjutnya lagi, yah, kami membahas hal-hal yang lain.

Gara-gara guru TK satu itu, ritual rutin malam mingguku bersama mantan pacar  melengser menjadi malam Jumat. Bodoh, memang. Pantas saja mantan pacarku  dengan cepat mengendus aroma-aroma tidak mengenakkan.

Singkat cerita, tepat pada hari jadiku yang keenam bulan dengan mantan pacar, aku kepergok selalu bertemu dengan guru TK satu itu tiap malam minggu di tempat jajanan Blok S.

Padahal, saat itu aku dengan si guru TK belum menjalin hubungan apa-apa. Kami belum berpacaran, aku belum menyatakan apa-apa, rasa sukapun masih tergantung ragu-ragu. Tetapi, yang membuat mantan pacarku marah ialah...

"Jadi alasan kamu mengganti jadwal Hickory-Dickory-Dock kita menjadi malam Jumat itu gara-gara Firda?" Mantan pacarku menangis saat itu. Ia sesenggukan. Mau kuhapus air matanya tanganku sudah ditepis duluan. "Kamu jahat, Marco. Kalau sudah bosan sama lagu itu, ya bilang! Aku kan bisa nyanyi lagu yang lain!"

Tetapi, waktu sudah menancapkan tanda terlambat. Dia pergi dari tempat makan malamku dengan si guru TK, Firda, dengan menyetop taksi sialan yang kok bisa-bisanya pas banget lewat.

Aku pun kelimpungan. Kuucapkan kata maaf kepada Firda, karena aku memang nggak pernah bicarakan masalah ini dengannya. Untungnya, dia nggak ikutan marah. Justru, dia membuat aku tenang untuk beberapa waktu.

Namun, rasa tenangku itu hangus seketika saat aku menjejakkan kakiku di rumah malam itu.

Aku menerima SMS.

Oh, bukan.

Whatsapp.

Dari mantan pacarku, Denise.

Malam itu, dia mengirimkan sebuah voice note yang biasanya dia kirim untuk menunjukkan suara indahnya. Awalnya sih, aku kira dia mau menyanyikanku sebuah lagu sebagai tanda baikan. Penasaran, aku pun mendekatkan ponselku ke telinga.

"Hickory dickory dock / Mau selingkuh jangan goblok!"

Buset.

"Gobloknya ketahuan / Mulai sekarang kita putus!"

Ya, ya, ya, aku memang tidak bisa memungkiri. Lagu Hickory Dickory Dock telah mempertemukan aku dengannya, tetapi ternyata lagu itu jugalah yang memisahkan aku dengannya. Apakah itu lagu anak-anak yang bergenre keparat?

Oh, kuharap jangan.

Karena untungnya, Firda masih mau setia menyanyikan lagu itu untukku setiap malam minggu. Lengkap dari the clock struck one sampai the clock struck ten. Sejak putusnya aku dengan Denise, Firda masih mau menemaniku di masa-masa jatuh. Hingga kusadari, ujung-ujungnya lagu Hickory Dickory Dock jugalah yang membuka lembar cintaku yang baru.

Dan doakan saja kawan-kawan, tidak pernah ada lagi versi lain dari Hickory Dickory Dock.

Amin.

***

Catatan:
Ide ini terlintas karena saya pun bingung lirik orisinilnya itu yang mana.




Selasa, 22 April 2014

Perempuan dan Senja



David: Aku nggak pernah paham mengapa perempuan cinta sekali sama yang namanya senja.

Satu-dua detik, aku menyengir. Lelaki satu ini selalu sukses membuatku gemas akan kalimat-kalimatnya. Lancang, namun polos. Terus terang, tetapi selalu membuatku menganggap itu bualan. Bagaimana hal itu tidak membuatku merasa adiksi? Kalimat-kalimatnya serasa candu bagiku. Melumer jika dicecap, terasa nagih saat direguk. Segera kuketikkan sejumlah balasan,

Senja: Kok kamu bertanya begitu?

Enter.

Aku masih menyengir-nyengir girang. Tak lama, lelaki ini pun menjawab,

David: Aku baru pertama kali bertemu perempuan yang bernama Senja, dan dia juga menggilai senja. Kamu itu edisi langka, makanya.

"Njaaaa...!" Suara itu tiba-tiba datang dari luar kamar. "Air panasnya udah Mama siapkan tuuuh!"

"Iya, Ma! Sebentar!" Teriakku dengan mata yang masih menghunus ke layar laptop.

Senja: Kamu tahu? Yang membuat aku spesial di perbincangan ini ya cuman kalimat-kalimat kamu. Akunya sih nggak.

David: Hm, iya, ya? Aku nggak percaya. Kita kan belum pernah bertemu.

Nah, ini. Mungkin di sinilah letak sisi murahannya. Kami belum pernah bertemu, tetapi sudah berbincang semesra ini. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rupa wajahnya. Foto profil whatsappnya saja hanya gambar gitar yang tergeletak di dinding. Dan bisa kupastikan dia pun merasakan hal yang sama. Aku hanya memasang foto profil berupa langit senja di tepi pantai.

Senja: Sudah kubilang, kan. Karena aku Senja, kamu bisa menemuiku setiap hari. Setiap sore.

David: Tidak. Tidak karena kamu belum menjawab keherananku. Mengapa perempuan begitu mencintai senja?

Aku terdiam.

David: Jangan beri alasan karena kamu memang patut dicinta, ya, Senja.

Ya ampun, lelaki ini.

"Njaaaa!" Suara Mama terdengar kembali. "Kamu mau mandi gak sih? Airnya keburu dingin tuh!"

"Iya, Ma! Sebentar lagi! Sudah pegang handuk, nih!" Teriakku sekenanya.

Mengapa ya? Aku kembali ke pertanyaan tadi. Mengapa aku mencintai senja? Dan - ah, kalimat apa yang bagus untuk menjawab pertanyaan itu?

David, jika kalimatmu adalah wine, maafkan aku jika kalimatku terlalu berasa jamu.

Aku mengerutkan alis. Bagus tidak ya, kalimatku?

David: Maksud kamu?

Senja: Menurutku, senja mampu membuat perempuan jauh lebih cantik. Yang membuat mereka cantik bukanlah maskara atau polesan lipstik yang dipakai, tetapi...

... Saat perempuan berhadapan dengan senja, mereka sesungguhnya sedang bertatapan dengan Tuhan. Definisi cantik itu nomor sekian. Nomor satunya, rasa syukur. Tuhan membuat perempuan bersyukur lewat senja.

Dan ketahuilah. Rasa syukur itulah yang menjadikan seorang perempuan cantik, David.

"Njaaaa!" Dari arah luar, suara itu kembali terdengar. "Airnya keburu dingin, nih! Katanya mau mandi air hangat?"

"Iya, Ma! Sebentar lagii!"

David: Kalimatmu edan. Aku makin gila sama kamu. Aku ralat ucapanmu, ya. Kalimatmu sendiri yang membuat kamu cantik. Bukan aku.

Senja: Tuh, kan. Mulai, deh.

Ada beberapa jeda sebelum dia mengetikkan kalimat di bawah ini.

David: Jadi itu alasan mengapa nama kamu Senja?

Ah.

Membacanya, aku terhenyak. Jariku mendadak kelu. Ada segelintir pahit yang ikut terhembus bersama napasku.

Ragu, tanganku mulai mengetik sesuatu.

Senja: Ya, mungkin.

"PANTJA!"

Pintu kamarku terbuka. Mama tampak geram dengan tangannya yang berkacak pinggang.

"Cepat mandi! Kamu tuh, ya, jadi cowok kok pemalas amat, sih. Harus digertak dulu. Ayo, kuliah kan kamu hari ini?"

Aku menoleh. "E-eh, ya, Ma. Pantja mau mandi."

Mama pun keluar kamar. Napasku kembali lega. Ekor mataku kembali melirik layar laptop.

David: Aku mencintaimu, Senja.

Oh, Tuhan. Aku akan masuk nerakamu yang mana? Laknatlah aku dengan cinta yang masih sanggup aku tampung.

Sebelum menutup layar, aku mengetik sebuah balasan,

Senja: Senja juga mencintaimu, David.

Aku tersenyum miris.

Senja: Walau aku sulit mempercayainya.

***

557 kata, tulisan ini diikutsertakan dalam kuis flash fiction Perempuan dan Senja.

Selasa, 15 April 2014

Golput


Mereka bilang aku hitam. Dekil, bau, gempal, seperti raksasa. Setiap aku keluar rumah, segerombol anak kecil selalu mendekatiku dan menertawaiku dengan puas. Tapi tidak dengan Ibu. Menurutnya, kulitku manis seperti kopi buatannya.

"Urutan 17 ya, Mas. Nanti dipanggil."

Usiaku tahun ini genap 17 tahun. Pada tahun inilah Ibu berkata bahwa aku sudah bisa memilih dan menentukan nasib negara. Keren, memang. Tetapi perkaranya, tidak sesimpel itu.

Pak Joko, tetanggaku berkata seraya terbahak, 'Kamu tahu? Bagaimana caranya agar anak-anak itu berhenti mengejek kamu hitam?' Aku memandangnya serius. 'Kamu nggak usah ikut acara lima tahun sekali itu!'

Dan Ibu, menolak hal itu bukan main.

"Andreas, nomor 17."

Aku ingat bagaimana reaksinya waktu itu. Matanya membelalak amat lebar, seraya berkata, 'Kamu itu, ya, kalau sudah buta, jangan sok tahu! Kamu itu kemakan sama omongan orang-orang, tauk! Kamu tega melihat Ibu menangis terus dengan pemerintahan yang amburadul ini?!'

Kini, kertas suara sudah membentang di hadapanku. Aku meraba-raba. Braille.

Bilik TPS mendadak sunyi. Sekelebat panggilan anak-anak itu terngiang kembali.

"Hitam..! Buta..! 

...Hitam..! Buta..!"

Aku memejamkan mata. Menahan bulir air mata. Tak lama, aku melipat kertas suara itu kembali seperti semula.

Maafkan Andreas, Bu. Pak Joko benar.

Aku menggigit bibir.

Andreas ingin jadi golongan putih.


***

199 kata, dibuat dalam rangka 'iseng' mengikuti #CERMIN @bentangpustaka dengan tema Pemilu. :)