Halaman

Kamis, 26 Desember 2013

Debur Ombak Selatan


NAMANYA Debur Ombak Selatan.

Oke, orangtua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan? Sepenglihatanku, kebanyakan orangtua pasti mencetuskan nama anak perempuannya nggak jauh-jauh dari nama Putri, Ayu, Nabila mungkin, Safira, atau nama-nama yang tak asing lainnya. Tetapi, yang satu ini? Sejauh otakku berputar mencari jawaban, pastilah orangtua pacarku ini punya alasan. Tapi... Apa?

"Hellooo, kamu mikirin apa, sih?"

Seketika aku pun tersadar saat tangan kecilnya melambai-lambai di hadapan mataku.

"Selalu, selalu, dan selalu. Setiap kita bertemu, ada satu saat di mana mata kamu kosong menatap aku, dan pikiran kamu melayang entah ke mana. Apa sih sebenarnya..?" Tanya dia sambil menenggak tumbler mungilnya yang bergambar pelangi tujuh warna.

"Nggak, nggak. Cuman nama ka-"

Mendengar itu, ia tertawa dengan keras.

"Ya ampun, kamu tuh ya. Nggak ada bosan-bosannya memusingkan hal itu terus!" Sergahnya langsung sambil terpingkal.

"Bukan, habisnya, ..."

"Memangnya apa sih yang salah dengan namaku?" Ia membalikkan pertanyaan.

"No, no. Nggak ada yang salah. Justru ... Aku bertemu dengan sesuatu yang unik banget, dan... ya, indah. Tapi ..." Aku seperti menelan kata-kataku sendiri, "entahlah. Mengapa kamu nggak langsung kasih tau saja sih, ada apa di balik nama kamu itu?"

Ia terkikik lagi. Lalu menyuap donatnya pelan. "Heran ya, sudah selama ini hubungan kita berjalan, kamu nggak ada henti-hentinya menanyakan hal itu. Sampai bosan aku dengarnya."

Aku melempar tatapan penasaran kepadanya. "Jadi...? Mau kasih tau atau nggak?"

Ia mengedikkan bahunya jahil.

Aku menaikkan alis. "Apa tuh maksudnya?"

"Cari tahu sendiri, dong," jelasnya sambil tersenyum untuk kesekian kali.

"Hm, oke," aku mengempaskan tubuhku ke kursi. "Walau aku nggak tahu ke mana aku harus mencari."

"Ya usaha, lah," sambarnya sekali lagi. "Ingat-ingat setiap inci pengalaman kamu tentang pantai... Dan bagaimana debur ombak dengan tegas tercipta di sana, lalu disambut dengan ..."

"Dan sangat disayangkan para hadirin, pacarmu satu ini belum pernah pergi ke pantai."

"Hee?!" Matanya langung menghunus mataku. "Kamu belum pernah pergi ke pantai?!"

Aku menganggukkan kepalaku sekali.

"Ya ampun, Ario..." Ia melemaskan tubuhnya ke dada kursi. "Ada ya, seorang vokalis band terkenal di kampus, tapi belum pernah pergi ke pantai."

"Lho, apa hubungannya?"

Dia mengabaikan pertanyaanku. Sedetik dua detik, ia hanya memandangku iba. "Sepertinya masih lama kamu akan bertanya-tanya hal seperti itu kepadaku."

"Ya sudah," aku mencoba mengambil alih, "aku akan tetap mencari. Tetapi, satu, nggak harus ke pantai juga, tho? Biar aku temukan makna nama kamu itu, dengan cara aku sendiri. Bagaimana?"

Ada jeda singkat saat kata-kata itu kulontarkan, mungkin ia berpikir sejenak, sampai akhirnya...

"Oke, akan aku tunggu," tantangnya amat yakin.

"Siap," Aku menaikkan sebelah bahuku. "Lihat saja nanti bagaimana hasilnya."


*** 

SEJAK saat itu, aku mulai mencari arti dari nama aneh yang dimiliki pacarku.

Hingga aku sadari, dalam pencarian ini, aku menemukan kata-kata yang sebelumnya sering diucapkan banyak orang kepadaku: pacarku aneh bukan main.

Bukan hanya nama, tapi aspek yang lain pun juga. Biar kugambarkan sedikit tentang dia: rambut sedikit keriting berwarna merah gelap, selalu memakai baju hangat walaupun sedang musim panas, setia menenteng sebuah buku tebal yang bisa kubilang mirip kitab Injil, dan sedia membawa-bawa tumbler bergambar pelangi tujuh warna yang terselip dalam tasnya yang bergambar Pikachu.

Well, ke mana saja aku selama ini?

Hingga hal itu pun membawaku kepada suatu titik. Karena nama adalah sebuah doa untuk kehidupan seseorang di masa depan, segera kutelaah kehidupannya yang aneh saat ini.

Pertama, kuperiksa buku yang selalu ia bawa. Selama aku berpacaran dengannya, tak pernah sekalipun aku ungkit-ungkit tentang buku tebal yang selalu ia tenteng (mungkin karena aku terlalu fokus dengan namanya). Sehingga, di suatu waktu akhirnya aku menangkap judul buku yang selalu berada dalam dekapannya.

Dunia Sophie, karya Jostein Gaarder.

Dan hei saudara-saudara, kata pertama yang muncul di otakku saat menemukan buku itu di toko buku adalah... Buset! Sejak kapan pacarku bisa segila ini dengan tokoh-tokoh berjenggot lebat dan bermata penuh filosofi?

Ya, Dunia Sophie adalah sebuah novel yang berisi penuh dengan ilmu filsafat. Dan apakah kamu tahu tentang apa itu filsafat dalam pandanganku?

T a b u.

Aku sampai heran karena sempat kuintip di sela-sela makan siang kami, ia membaca buku kesayangannya itu dan ternyata buku itu penuh dengan stabilo berwarna kuning cerah.

Gila, kan, modul dari dosenku saja nggak pernah seniat itu aku hiasi dengan stabilo. Lah ini, sebuah novel!

Tetapi mau tak mau, demi keberhasilan pencarian ini, aku membeli buku tebal itu, dan sejak itu mulai kubawa-bawa - seperti dirinya - ke setiap tempat. 

Hingga akhirnya, dia menyadari keberadaan buku dengan tebal 800 halaman itu di tanganku.

"Eh," dia menyibak buku itu di tanganku, lalu mengecek sampul depannya. "Kamu membaca Dunia Sophie juga? Kenapa nggak bilang? Kan aku bisa pinjamk-"

"Sssh," aku membuatnya terdiam. "Cogito ergo sum. Segala sesuatu sudah sepatutnya diragukan. Bukankah itu yang Rene Descartes bilang?"

Ia hanya bisa memukul lenganku sambil tertawa lepas.

***

KEDUA, adalah isi tumbler pelangi tujuh warnanya yang sangat menarik pandanganku itu.

Pernah sewaktu-waktu saat ia sedang mengajakku mencoba satu restoran baru, aku mengajukan pertanyaan:

"Sebenarnya apa sih, isi tumbler kamu yang warna-warni itu?"

Dia mengangkat tumbler kesayangannya ke depan mataku. "Ini?"

Aku mengangguk singkat.

"Oh, mengapa? Mau coba? Sudahlah, kamu nggak akan suka."

Aku mengerutkan dahi. "Lho, memangnya mengapa?"

"Ario, ini itu isinya jus sayuran. Bisa jus timun, jus tomat, jus brokoli, jus kubis..."

"Y-ya sudah, aku mau coba," aku menantang setengah yakin.

"Yakin? Ya boleh kalau gitu. Kebetulan nih, hari ini jus kubis, patut dicoba." Ia menyerahkan tumbler miliknya itu ke tanganku.

Perlu beberapa detik bagiku untuk menggerakkan minuman yang aromanya tak sedap itu ke bibirku... Hingga menyentuh lidahku ... dan sumpah, kalau bukan demi namanya, aku nggak akan...

"Gimana? Enak, kan?"

Rasanya mulutku penuh dengan sesuatu yang asing. Pahit, asam, segar, dingin, semua membaur menjadi satu rasa. Aku pun menelannya tanpa pikir panjang, menghela napas setelahnya, dan berkata, "Pemilihan warna tumbler yang bagus untuk minuman-minuman seperti ini."

Dan lihat, ia tertawa sekali lagi.

***

TERAKHIR, satu yang tak pernah kutahu darinya adalah genre musik yang ia gemari.

Kemarin, saat aku mampir ke kost-annya di daerah Ciledug, aku berucap: "Pinjam ipod kamu, dong. Aku penasaran, apa sih sebenarnya yang kamu dengar setiap hari?"

Awalnya, ia memandangku ragu, (mungkin efek perkataan Descartes itu) lalu perlahan melepas head-setnya dan menyerahkan ipodnya ke tanganku.

"Nih, aku juga nggak pernah tahu apakah kita memiliki selera musik yang sama apa nggak selama ini," katanya.

Aku pun mengangguk setuju, dan mulai menelisik isi ipodnya. Ternyata, musik-musiknya dibagi ke dalam beberapa folder. Ada yang berjudul 'Di Taksi', 'Nggak Bisa Tidur', 'Belajar', hingga juga kutemukan... 'Enigma'?

"Aku juga baru tahu bahwa ternyata kamu mendengarkan musik bandku," ucapku sambil menatap ke arahnya.

"Yah, bisa dibilang band itu memiliki banyak musik yang bagus," jawabnya dengan pandangan yang masih tertuju kepada Dunia Sophie miliknya.

"Sebuah kehormatan," balasku yang membuat ia tersenyum kecil.

Aku pun meneruskan melihat isi ipodnya, hingga bisa kurangkum, pacarku satu ini menyukai lagu sederhana yang memiliki makna besar. Bisa kusebut, dia menggemar-gemari John Mayer, Ed Sheeran, dan yang tak kusangka-sangka, Michael Learns to Rock.

Melihat genre musikku yang - yah, nggak jauh-jauh beda dengan musik kesukaannya, sebuah ide pun terlintas di benakku. Ide yang berkaitan dengan pencarianku tentang namanya.

"Nih," aku mengembalikan ipod miliknya di atas Dunia Sophie yang sedang ia baca. "Yah, bisa dibilang ipodmu juga memiliki banyak musik yang bagus."

Ia pun tersenyum lagi, dan itu sebuah karunia besar untukku.

***

MALAMNYA, aku mengumpulkan kumpulan catatanku yang berisi tentang dirinya.

Kugabung-gabungkan ciri-ciri dirinya yang sudah kucatat, lalu kuhubung-hubungkan dengan nama uniknya. Tujuan awal dari pencarian yang sudah kulakukan.

Sesekali, aku menatap kalender yang terpasang di dinding, dan menatap tanggal yang sudah kulingkari dengan spidol merah.

Tiga hari lagi pacarku satu itu berulang tahun.

Aku meraih gitar, menaruh catatan-catatan tentangnya ke dalam pangkuan, dan mulai merangkai nada.

Aku berniat menulis sebuah lagu sebagai kado ulang tahunnya yang kedua puluh satu.

***

PADA malam ulang tahunnya, aku mengajaknya ke studio tempat Enigma sering berlatih ataupun nge-jam.

Studio itu terletak agak jauh dari tempat kost-annya sehingga aku perlu menjemputnya sebelum ini.

Rencananya, malam ini aku hendak memberikan hasil pencarianku kepadanya, yang kuharap dia akan senang karena laporan ini kurangkai dalam sebuah lagu.

"Jadi, dalam rangka apa kamu mengajakku kemari?" Tanyanya setelah ia duduk rapi di sofa studio.

"Hm, dalam rangka... Menyatakan pandanganku tentang arti namamu," ujarku sambil meraih gitar di ujung lemari.

"Oh," dia menyengir sendiri, "aku sampai lupa kamu selalu memusingkannya."

"Dan sayangnya, hari ini semua itu akan berakhir. Akan kuungkap arti namamu, dengan catatan spesial, versi Ario." Aku memasang gitar di badan, duduk dalam posisi siap.

"Hm, oke, coba tunjukkan,"

Aku menatap kedua matanya, memandang wajahnya yang tersenyum ke arahku, dan mulai kualunkan lagu itu. 

Lagu tentangnya.

Lagu tentang namanya.

Tiga kata itu.

Jujur, aku tak pernah bermain musik sejujur ini. Setahun sudah aku menjadi vokalis, aku tak pernah merasakan hal selega ini. Aku pun biasanya sering terlihat basi dalam membuat lirik sehingga akhirnya kuserahkan tugas itu ke Dimas, temanku, tapi nyatanya dengan lagu ini, dengan kesok-tahuanku, aku mencoba menceritakan bagaimana nama uniknya yang indah, membuat aku selalu berpikir, ada cerita apa di sana, dan, ...

Inilah apa yang kupikirkan tentang nama itu. Apa yang mengusik pikiranku akhir-akhir ini. Ya, nama itu. Tiga kata itu.

Di akhir lagu, kulihat ia menunduk, dan menyeka air matanya yang tiba-tiba muncul.

Aku hanya tersenyum, dan berkata, "maaf jika terdengar aneh, ataupun tidak masuk akal."

Ia hanya menggeleng sambil terisak pelan. "Aku tak menyangka aku ternyata bisa menangis hanya karena kata 'jus kubis' di dalamnya."

Aku balik tersenyum. Sudah kubilang aku tak pandai menyusun lirik. "Jadi, bagaimana tentang hasil makna namamu versi Ario?"

Ia mendongak, masih dengan matanya yang basah, dan berkata, "selain orang tuaku, aku akan bangga bila memiliki makna nama yang dibuat olehmu.

"Dan, kamu wajib mengalunkan lagu itu nanti saat kamu pertama kali datang ke pantai, Ario. Ombak harus mendengarnya."

Aku mengangguk, lalu berkata, "aku berjanji."

Dan ia menerima tisu yang kusodorkan, lalu menatap kedua mataku dalam. "Terima kasih banyak. Kamu tahu, kamu membuat aku tak lagi merasa aneh memiliki nama ini. Semua terlihat masuk akal."

Lalu ia memelukku erat. Tanpa aku duga.

***

SETELAH malam itu, ternyata motor yang kukendarai sebelumnya mogok. Ia pun akhirnya menyetop taksi di dekat sana, lalu menyampaikan kata-kata kepadaku sebelum ia masuk,

"Malam ini adalah malam yang takkan pernah aku lupakan, Ario. Sungguh. Dan ingatlah dengan janji kamu itu tadi. Ya?"

Taksi itu pun berjalan, lalu hilang dalam pandangan.

Tiga puluh menit setelahnya, ponselku berdering kencang. Berkali-kali.

Taksi pacarku menabrak pembatas jalan hingga menewaskan kedua penumpang di dalamnya.

***

Dua minggu, kemudian...



PERLU beberapa waktu bagiku untuk benar-benar mencerna kalimat ini:

Gadisku telah pergi.

Hal itu sulit dipercaya karena sebelum ia pergi, ia masih berada di sampingku. Masih tertawa, tersenyum, menangis, bertingkah seperti biasa, tanpa meninggalkan sebuah pertanda. Jadi wajar saja bila kini, aku masih berat menerima hal itu. Sangat berat.

Hari ini, tepat dua minggu setelah kepergiannya, aku terduduk di hamparan laut yang membentang, ditemani cicitan burung yang seolah-olah menyambut dinginnya subuh.

Seandainya ia masih ada, pasti dengan bangga akan kukatakan kepadanya: hei, akhirnya pacarmu ini pergi ke pantai juga!

Dan yang kurindukan jika membayangkan hal itu adalah... reaksi dirinya. Akan jadi apa dia setelah mengetahui hal ini? Bisa kupastikan ia akan tertawa, berteriak histeris, atau setidaknya tersenyum kecil, satu hal lain yang lagi-lagi kurindukan.

Tujuanku di sini sebenarnya bukan hanya untuk mematahkan perkataan 'belum pernah pergi ke pantai' saja, tetapi, aku teringat perihal janjiku yang kuutarakan kepadanya sebelum ia pergi.

Ya, menyanyikan lagu itu di depan deruan ombak.

Jadilah aku, di saat matahari masih menyelundup di balik awan, aku datang ke sini, meninggalkan Dimas dkk yang masih tertidur pulas di villa.

Kamu pernah bilang, bahwa momen yang sayang sekali bila dilewatkan saat berada di pantai adalah waktu subuh hari. Menurutmu, di saat itulah alam seolah berbaur dengan kita, bahkan bisa menjadi 'kita'. Pada saat itu jugalah alam akan menunjukkan bahasanya, dan dia juga akan mendengar apa yang kita ceritakan kepadanya.

"Makanya, setiap berlibur ke pantai, aku nggak pernah bangun siang. Kapan lagi kamu bisa melihat alam berbahasa, hm? Itu sebuah keajaiban besar!" jelasmu suatu waktu.

Kini, aku pun sadar apa yang kamu katakan itu benar. Di sini, sambil memeluk kedua kakiku, aku merasakan itu semua. Cahaya remang-remang yang terasa hangat, udara yang seolah merengkuh tubuh kita berada, dan suara ombak yang berfusi menjadi sebuah simfoni.

Ah, mengapa aku tidak menyadarinya sejak dulu?

Lamat-lamat, aku pun menarik gitar di sampingku. Kucoba teguhkan hatiku, sambil memandang pantulan matahari muda yang bergoyang di ujung laut.

Debur Ombak Selatan, di mana pun kamu berada, tolong dengarkanlah lagu milikmu ini sekali lagi. Lagu namamu. Hanya untuk kamu.

Kutarik napas panjang, kupejamkan kedua mataku, lalu kupetikkan gitar itu sekali.

Dan seketika, hatiku tersentak. Entah mengapa air laut yang awalnya beriak tenang, kini datang bergerombol untuk mengecup bibir pasir.

Kuteruskan lagu itu, kunyanyikan bait pertamanya, hingga kurasakan air laut itu telah sampai ke ujung-ujung kakiku.

Dan aku tersentak untuk kedua kali. Air itu terasa hangat di ujung kakiku, lalu kehangatan itu menjalar hingga sampai ke ubun-ubunku, dan tolong, entah apa aku sudah gila, air itu mengucapkan sesuatu kepadaku:

Hai.

Aku terus bernyanyi, menyanyikan lagu itu, hingga telingaku merasakan sesuatu yang indah.

Deburan ombak.

Aku menarik napas lagi.

Aku tahu, ia datang.

Aku terus bernyanyi, hingga aku sampai ke bagian yang membuat dirinya mulai menangis malam itu.

"Aku bukan John Mayer yang bisa mereguk jus kubis / aku hanya bisa menulis lagu ini / izinkan aku berkata," aku seperti habis oleh suaraku sendiri, "aku berkaca banyak pada nama itu / ini cinta / persetan dengan Descartes / aku tak lagi meragukan banyak cinta / yang tercipta di sebaris namamu itu,"

Deruan ombak menabrak batu karang. Terasa jelas. Tegas. Aku membuka mata. Matahari telah berdiri. Tetapi bukan itu yang membuatku bergidik. Melainkan... d-dirinya?

Debur Ombak Selatan sedang menari-nari di depan sana. Rambut merahnya serasa menyatu dengan langit yang belum sepenuhnya membiru. Ia berjalan-jalan singkat di bibir pantai, dan tersenyum lebar saat ombak kecil menabrak kakinya.

Setengah dari diriku menyuruhku untuk meneruskan lagu ini, dan setengah diriku lagi menyuruhku untuk mengejarnya, memanggilnya, memeluknya dari belakang dan,...

"Ini cinta," lirihku.

Ia menengok kepadaku.

"Persetan dengan Descartes,"

Ia pun tersenyum kecil.

"Aku tak lagi meragukan banyak cinta,"

Dan seperti biasa, i-itu indah.

"-yang tercipta di sebaris namamu itu."

Dan - sialan, apa yang terjadi padaku?

"... Debur Ombak Selatan."

Deburan ombak menyapu udara dengan dehaman besar. Kakiku bergetar. Tangisku tumpah. Kulepas gitarku dan kubenamkan wajahku dalam tangan. Kumaki-maki diriku dalam hati. Apa yang terjadi? Apa?

Aku terus terisak. Entah mengapa hal ini bisa sesedih ini.

Semua kenangan mengumpul, menabrak satu sama lain. Semua kata-kata yang pernah terucap dari bibirnya mendadak terngiang kembali. Aku dibuat lumpuh. Tangisku tak lagi sanggup dibendung. Semua kejujuran menghampar. Membuat aku semakin yakin bahwa baru gadis inilah yang baru sanggup membuatku begini.

Sayup-sayup, kudengar suara ombak datang, melirihkan bisikan di telingaku, terasa amat dekat:

"Debur ombak selatan selalu menghantarkanmu kepada kejujuran. Dan jika kejujuran itu benar adanya, ya, bisa kupastikan, itu cinta."

Aku tetap menangis.

Seraya kuserap arti namanya itu hangat.

Hingga kudengar ombak itu berbisik lagi, untuk yang terakhir kali:

"Demi namaku yang aneh ini, aku akan berkata, aku mencintaimu, Ario. Asal kamu tahu."

Dan aku mendongakkan kepala. Ia melambaikan tangannya ke arahku, memberikan salam perpisahan yang sebelumnya belum sempat ia beri. Saat itu, kulihat ia benar-benar cantik. Aku memandang rambut merahnya yang berkibar, dan napasku mendadak lega. 

Perlahan, ia berlari menuju kumpulan ombak tercipta. Ia pun berbaur bersama laut, seolah-olah kembali kepada rumahnya yang sudah menanti lama. Aku pun tersenyum. Sekejap, ia pun hilang. Ditelan sapuan ombak, dan menjadi Debur Ombak Selatan yang akan selalu kucinta.


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar