Halaman

Selasa, 31 Desember 2013

Menulis Kilat


"TAHUN baruan nanti kamu mau ke mana, Rin?"

Mendengar pertanyaan itu, kegiatan beres-beresku berhenti seketika. Aku mendongak, menatap sahabat dekatku, Siska, yang telah tegak berdiri di hadapan.

"Eeh, ke mana ya? Nggak tahu. Belum ada rencana, Sis," jawabku sekenanya. Kumasukkan lagi berkas-berkas yang menghambur di meja ke dalam map biru kesayanganku.

Siska bergeming tak yakin, lalu menyandang tasnya ke pundak. "Memangnya Rizal nggak ngajak kamu ke suatu tempat, gitu?"

Aku terdiam sekali lagi. Sedetik setelahnya, aku kembali memasukkan benda-benda milikku itu ke dalam tas. "Kenapa harus Rizal, sih? Lama kelamaan, kamu itu kemakan juga sama omongan anak-anak, tauk?"

"B-bukan gitu, tetapi kenyataannya-"

"Aku sama Rizal cuman teman, Sis." Aku menatap kedua matanya serius. "Nggak lebih."

Siska balik terdiam, lalu, "oke, oke. Nggak masalah. Aku lebih percaya sama kamu kok, dibandingkan sama anak-anak."

Aku mengangguk pasrah sekaligus memberi tanda terima kasih. Berita tentang aku dengan Rizal yang menjalin hubungan diam-diam memang sedang merebak di kantor. Bisa kubilang, seisi kantor sepertinya sedang meneliti aku dan Rizal secara perlahan, dan akan sangat bangga bila suatu saat mereka bisa memergoki kami bercakap dengan kata-kata sayang.

Semua bermula karena Inyem, office girl di kantorku melihat aku diantar pulang sama Rizal dengan mobil Timor-nya. Padahal, saat itu Rizal hanya ingin menolongku karena hari itu semua sopir Metromini sedang berdemo di depan menteri. Tetapi, memang pada dasarnya anak-anak di kantor ini, ya, yang bila kepancing sama gosip langsung berkoar penasaran. Aku pun kena jadi sasarannya. Apes, memang. Kesalnya lagi, si Rizal bukannya menepis semua kabar itu secara langsung malah sok cool seperti artis yang nggak mau memberi komentar perihal gosipnya di hadapan publik. Hih, parah, kan.

"Oh iya, Rin."

Perkataan itu mengaburkan semua celotehanku tadi.

"Kalau kamu memang benar-benar nggak ada acara di malam tahun baru, mending kamu datang saja ke Jakarta Night Festival di Thamrin. Aku juga mau ke sana, kok, bareng Donna. Lumayan, lah, Rin, biar terlihat ada kegiatan. Daripada mengeram terus kan di kost-an." Ia terkekeh geli menatapku.

Sindiran itu entah mengapa pas sekali menancap di ulu hati. Aku pun balik terkekeh, berusaha menyamarkan hal tersebut. "Hahaha, bisa aja kamu, Sis."

"Ya sudah, udah selesai belum beres-beresnya? Ayuk, ah. Keburu sore. Ingat, Rin, liburan sudah menanti di depan mata. Manfaatkanlah waktu dengan sebaik-baiknya. Detik itu sangat berharga di tengah-tengah liburan kayak gini."

Mendengar perkataan itu - konyolnya, aku justru terpacu. Segera kumasukkan semua benda yang masih berantakan itu ke dalam tasku. Masa bodoh. Sudah lama aku menanti-nanti hal ini.

L i b u r a n.

Segala kepenatan yang mengepul di otakku sudah sepatutnya dibasmi. Jadilah aku, buru-buru menaikkan tas ke pundak dan segera beranjak keluar dari kubikel.

"Yuk, Sis. Trims atas kalimat barusan."

Aku segera berjalan dengan langkah besar-besar. Dan Siska hanya bisa tersenyum geli sambil menatapku dengan tatapan heran.

***

SEPULANGNYA dari kantor, aku segera merebahkan badanku di atas kasur. Merehatkan pikiranku sejenak dari urusan-urusan kantor yang menjenuhkan, dari gosipku dengan Rizal yang tak kunjung surut, dan tak lama aku segera membuka laptopku yang bergambar petir di tengah hujan.

Kegiatan malamku sepulang kerja pastilah begini. Berleha-leha sebentar dengan ranjang tersayang, yang diteruskan dengan membuka laptop, menyambungkan koneksi ke internet, lalu mengecek apa saja yang telah terjadi seharian ini di dunia maya. Kubuka tab twitter, instagram, online shop, blog cerpen, dst. Totalnya... hm, ada tujuh tab. Jangan heran, karena kepadatan waktuku di kantor sama sekali nggak memberikan aku celah untuk berurusan dengan hal-hal beginian.

Kalau sudah begini, aku bisa betah sampai subuh. Di kantor aku memang selalu berkata 'ngantuknya minta ampun, Ya Tuhan', yang sebenarnya rasa kantukku itu datang karena kesalahanku sendiri, yaitu suka begadang atau minimal tidur tengah malam. Karena, jika laptop sudah menyala begini, dan dilengkapi dengan cemilan menggiurkan sekaligus temperatur pendingin udara yang cocok, sudahlah. Itulah surga mini yang telah hadir di duniaku.

Tapi siapa sangka saat rasa kebahagiaan itu mulai tercipta, muncul satu bencana yang datang tak terkira.

Ponselku berdering kencang. Dengan malas, aku segera mengambilnya dan melihat sederet angka yang tercetak di layar.

Hm, siapa nih? Angka tak dikenal.

Tanpa pikir panjang, aku segera mengangkat panggilan itu. Tak masalah. Aku sudah hafal betul jurus-jurus berbicara dengan orang yang baru dikenal. 

Kumulai panggilan itu dengan sebuah sapaan manis. "Halo, selamat malam. Mau bicara dengan si-"

"KARIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNN!!!"

Buset! Aku segera menjauhkan ponselku dari telingaku yang mendadak pekak. Siapa nih?!

"Sok-sokan banget kamu, ya, pakai selamat-malam-selamat-malam segala! Nggak pantas sama sekali, tauk?"

Ooh! Aku mengangguk sendiri. Aku segera mengetahui bahwa suara cempreng ini hanya milik ia seorang.

"Ada apa sih, Ndin, malam-malam begini nelfon?!" Cecarku langsung. "Nomor siapa juga lagi, yang kamu pakai?"

Orang itu adalah Andin, kakak perempuanku satu-satunya yang berjarak tiga tahun denganku. Tetapi bawelnya, melampaui omaku yang sudah berumur enam puluh.

"Hish, kamu, nih. Ini nomor baru aku," katanya, "dan kamu sudah libur, kan? Nah, enak nih, aku bisa cerita panjang," ujarnya dengan semangat.

"Yah, malas, ah."

"Eh, kok gitu?" Sambarnya cepat. "Kamu nggak kangen sama kakakmu, apa?"

Aku menarik napas panjang sebagai isyarat singkat. "Langsung saja deh, tujuan kamu nelfon aku itu sebenarnya apa?"

Ia malah terkikik geli. "Nggak, aku cuman mau tanya: adikku yang satu ini mau tahun baruan ke mana?"

Aku terdiam. Beberapa detik. Ya ampun, pertanyaan itu lagi. Jawab apa ya yang keren...

"Hm? Kok nggak jawab? Oh, aku tahu. Dari aroma-aromanya, kayaknya kamu nggak pergi ke mana-mana, nih. Berdiam sendiri di kost-an, bermain dengan laptop tersayang, lalu, ..."

Aku segera mengklik tab twitterku di laptop. Isi laptopku lebih menarik dari perkataan apapun yang akan ia bicarakan.

Dan... tuh, kan, betul. Linikalaku sedang ramai.

"... Iya kan, Rin? Ngaku saja, deeeeh."

"Iyaaa, kakakku yang tersayang," jawabku tak peduli.

"Kenapa kamu nggak jalan aja sama Rizal? Bukannya -"

"Hush," aku segera menyela cepat. "Kan aku sudah bilang kemarin, itu cuman berita bohong yang lagi menyebar di kantorku, bukannya ..."

"Memangnya apa sih yang salah dengan Rizal? Dia ganteng kok, Rin, aku kemarin sempat lihat avatar twitternya. Kelihatannya anaknya juga baik-baik. Terus, mobilnya apa yang kamu bilang kemarin? Tu-tumor?"

"Timor!" Gertakku gemas. "Kamu ngapain juga sih, nyari tahu jauh-jauh tentang dia? Nggak penting."

"Suka-suka, dong. Aku hanya mau tahu, siapa sih laki-laki yang rela menolong adikku yang menjadi korban demonya sopir Metromini?" Ujarnya dengan nada yang menyebalkan.

"Sudahlah, malas aku membahasnya."

Aku membaca satu per satu tweet yang muncul di linikala, membuat perhatianku terpecah menjadi dua. Yang satu menatap layar laptopku ini, dan yang satu lagi mendengar celotehan kakakku yang bawelnya minta digeplak.

"Hahaha! Bercanda. Yang jelas, sekarang giliran aku yang mau cerita," lanjut kakakku dengan antusias.

Yes! Oke Saudara-Saudara, saatnya menjauhkan gagang ponsel dari telinga! Biar saja pulsanya habis termakan oleh ceritanya yang panjang lebar itu.

Aku segera meneruskan kegiatanku membaca linikala. Hm, ada apa , nih? Aku membaca satu tweet teman kantorku yang muncul dua menit yang lalu.

"@Joannadnzl: Malam ini kayaknya bakal begadang.. Ya jelas-jelas deadline-nya besok!"

Aku mengerutkan dahi. Rasa panik menyerbu hatiku mendadak. Deadline apa lagi, sih? Bukannya kantor sudah libur?

"Jadi, tahun baruan nanti aku sama Bram bakal pergi ke..."

Dan -ya ampun, suara kakakku itu masih terdengar saja. Merasa terusik, kuselundupkan ponselku itu di bawah bantal. Biar saja dia ngoceh-ngoceh sendiri. Dan... Nah, sekarang terasa lebih baik.

Aku melanjutkan men-scroll linikalaku ke bawah, sampai akhirnya perhatianku tertarik kepada suatu tweet yang membuat pandanganku membeku beberapa detik.

"@bentangpustaka: tahun baruan nggak ke mana-mana? (Kok tahu?) Daripada bosan, mending kamu ikut aja kompetisi #NulisKilat! (Hmm..) hadiahnya menarik2 lho! (Hmm?!) Info lebih lanjut, klik link..."

Aku mengklik link itu sambil menyengir-nyengir sendiri. Entah mengapa tweet barusan seperti cermin sakti dari keadaanku yang sekarang.

Halaman itu pun terbuka. Kubaca judul #NulisKilat yang terpampang di atas, lalu kubaca perlahan sederet peraturan di bawahnya.

Terbuka untuk umum... Tema cinta... Setting Indonesia... 3.000-4.000 kata, lalu... Yang menang dapat satu tablet?

Tablet, tablet? Yang pasti bukan pil kan, tapi... Tanpa pikir panjang, hatiku langsung bersorak kencang: IKUT!

Aku segera mengambil ponsel yang awalnya kuletakkan di bawah bantal, dan segera mendekatkan ponselku itu ke telinga.

Dan cerita kakakku itu masih saja berlanjut.

"Jadi, Rin, bakal terbayang, kan, akan seromantis apa nanti, ..."

Aku buru-buru memotong cerita itu. "Kebayang, kok. Udahan, ya, aku ngantuk berat, nih."

"Eh, eh, mau ke mana?!" Tanyanya panik.

"Tidur, Ndin, ngantuk ..."

"Eeh, bukannya kamu biasa begadang? Jangan tidur dong, Ndin, masa, ..."

"Selamat tahun baru, kakakku tersayang! M-mmuah!"

Aku segera menutup telepon. Dan kembali memandang laptop. Kompetisi yang ada di depanku jelas-jelas jauh lebih penting dari cerita-cerita romantisnya itu.

***

SEHARUSNYA aku tahu sejak awal bahwa aku sama sekali tidak pandai menulis. Aku tidak mahir merangkai kata-kata, tidak jago merangkai ide cerita, tidak cerkas dalam memilih karakter, dan.... Lalu kenapa aku ikut?

Ditambah, sekarang aku dihadapi dengan tema cinta. Jelas-jelas jika bicara soal cinta aku bagai balon kempes yang kalang kabut mencari pegangan. 

Aku meremas kepalaku. Menyalahkan diriku sendiri mengapa pengalamanku selama ini kok bisa cetek sekali sama yang namanya cinta.

Tapi, tapi, nggak masalah. Aku mencoba menyemangati diriku sendiri. Cinta toh bisa direkayasa, kan? Banyak kok yang kayak gitu, sekarang. Jadi, aku nggak perlu pusing-pusing memikirkan ini-itu. Cukup tuliskan saja apa adanya. Ya, benar, cukup tulis.

Aku pun segera menegakkan posisi dudukku, lalu mulai berpikir sejenak.

Ah, dalam sekejap, aku langsung menjentikkan jari telunjukku. Muncul, kan, satu ide yang bagus! Sigap, aku segera mengetiknya di memo ponselku. (Menulis di laptop kurasa tidak akan membuahkan hasil. Banyak sekali hal-hal yang suka menggodaku.)

Aku mulai menulis pengenalan ceritanya. Kubuat satu tokoh perempuan yang sebenarnya cantik, tapi kelakuannya agak sembrono. Ceroboh, masa bodoh, dan sedikit cuek. Lalu, aku buat cerita bahwa dia ... Tunggu, tunggu. Kok tokohnya mirip aku?

Aku menopang dagu bingung. Hmm... Ada-ada saja, deh, perasaan. Tetapi, aku pernah baca bahwa tulisan yang bagus adalah tulisan yang mengedepankan kejujuran sang penulisnya. Jadi, ya bagus, dong, kalau tokoh utamanya mirip dengan sifatku sehari-hari. Aku bisa lebih jujur dalam bercerita.

Setelah meyakinkan diriku sendiri lagi (walau tetap saja aku setengah yakin), aku pun kembali melanjutkan cerita. Kuceritakan lebih dulu bagaimana kesehariannya yang kelam tanpa cinta, lalu akan kupertemukan dengan...

Nah, ini lagi satu. Perempuan ini suka cowok yang bagaimana?

Aku mulai berpikir lagi. Lama kelamaan aku berasumsi bahwa aku kebanyakan berpikir dibandingkan menulis. Padahal, menulis kan nggak boleh berpikir, tetapi harus dirasakan.

Aku mengubah posisi dudukku. Apa ya yang bagus..? Belum lagi latar ceritanya. Mau di mana? Aku juga tipikal orang yang nggak pernah ke mana-mana. Cari tukang pulsa saja bingung, apalagi... Tempat tahun baruan yang bagus?

Tak terasa, sudah lima belas menit aku memikirkan hal itu. Kok otakku bisa buntu begini, ya. Nggak berkutik dan diam di situ-situ saja. Jangan-jangan, perkataan kalau bakat itu nggak pernah berkata bohong itu benar adanya. Aku yang amatiran begini, yang jarang sekali menulis, miskin soal cinta, mana bisa merangkai cerita yang bagus. 

Lagipula... Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Satu ide bagus yang berhasil membuat aku ingin jingkrak-jingkrak saat itu juga. Pintar banget kamu, Karin! Ini kan bisa jadi bahan cerita buat unjuk gigi di depan Andin!

Aku segera menulis memo baru di ponselku.

Proyek #NulisKilat
Tema: cinta.
Lokasi: Jakarta Night Festival.

Aku tersenyum puas melihatnya. Kubiarkan saja cerita ini mengalir apa adanya. Aku ingin tulisan perdanaku ini tampak sarat akan kejujuran.

Akhirnya, aku berencana untuk datang ke acara itu, pada malam tahun baru besok.

***

AKHIRNYA, pada pukul setengah delapan malam, aku berangkat menuju Thamrin.

Sebelumnya, kuceritakan dulu bahwa si Andin kebetulan menelfon. Dan ya, lagi-lagi tujuan dia menelfonku hanya mau pamer kepadaku. Dia bilang, dia bersama tunangannya, Bram, sedang makan malam romantis di satu restoran dekat pantai. Nggak mau kalah, aku pun juga bilang, "adikmu satu ini juga mau pergi. Memangnya kamu doang!"

Mendengar itu, dia malah tertawa.

"Hahaha! Mau ke mana kamu? Paling nggak jauh-jauh dari Tanah Abang. Iya, kan?" Timpalnya sambil cekikikan.

"Ya nggak, dong," aku masih bersikukuh. "Adikmu yang keren ini mau tahun baruan di JNF. Biar gaul."

Ada sejumlah sunyi yang kudengar di ujung sana. Akhirnya, kakakku itu pun angkat bicara. "JNF itu.. Apa?"

Bagus! Sudah kukira kan kakakku yang satu ini nggak pernah terbuka sama hal-hal beginian. Aku manfaatkan saja momen ini dengan sebaik-baiknya.

"Sejenis DWP yang kemarin, itu, lhoo. Tahu nggak DWP itu apa? Nggak tahu, lagi? Payah, ah," ujarku geli.

"Oh, tahu, lah! DWP kan yang... Hih! Gaya banget kamu, Rin! Ngapain tahun baruan di sana? Kamu nggak perlu sok-sokan buat membuktikan sama aku, Rin!"

Lho, kenapa jadi dia yang panik?

Aku pun membalas, "Sudahlah, nggak akan nyambung juga ngomong sama orang yang nggak modern. Sekarang, aku mau senang-senang dulu aja di sini. Daah!"

Dan aku puas sekali bila mengingatnya.

Aku ke sana menggunakan transportasi bus TransJakarta di koridor 1 dengan jurusan Blok M-Kota. Sepanjang perjalanan, kucek lagi proyek #NulisKilat-ku di ponsel, kubaca berulang-ulang, hingga aku menyengir-nyengir sendiri.

Bisa juga aku menulis, pikirku dalam hati.

Di sana, aku tinggal riset tempat, mengecek setiap kondisi di sana, dan mengepost tulisanku ini di blog. Beres. Setelah itu, aku akan bergabung dengan Siska dan Donna, menikmati kembang api yang akan dilepas jam dua belas malam.

Oke, sepertinya aku akan sampai sedikit lagi. Kumasukkan ponselku ke dalam tas, dan siap bergegas untuk melanjutkan tulisan perdanaku yang spektakuler ini.

***

WALAUPUN harus jalan kaki sedikit, aku akhirnya sampai juga di lokasi.

Di sana, ternyata setiap tempat sudah dipadati oleh penduduk. Kerumunan orang memenuhi setiap spot, sambil bersorak-sorai menyambut acara yang disuguhkan di atas panggung. Melihat reaksi masyarakat seperti ini, aku menjadi salut dengan Jokowi. Dia berhasil menggelar acara yang spesial untuk seluruh warga Jakarta. Semua bisa menikmatinya. Terlebih-lebih, sepertinya JNF kali ini lebih sarat akan budaya kota Betawi.

Kubuka ponselku, dan kutambahkan detail-detail tempat yang baru aku lihat. Juga kutambahkan bahwa di sini dilengkapi dengan berbagai atraksi seni budaya seperti wayang kulit, musik keroncong, dan dangdut.

Aku berjalan kaki lagi sedikit, memantau setiap sudut yang ada. Sepanjang jalan, bisa kulihat banyaknya pedagang kaki lima yang berjajar, membentuk satu kesatuan bernama Kaki Lima Market Night. Dan bisa kutangkap dengan kedua mataku banyaknya pedagang kerak telur yang bersebaran di sana. Merasa takjub, aku pun mengabadikan momen itu lewat kamera ponselku.

Atraksi-atraksi kebudayaan itu masih berlanjut, hingga aku tertarik dengan pertunjukan wayang kulit yang ditampilkan di salah satu panggung. Aku beranjak ke arah sana, ikut berbaur dengan para warga yang menonton, turut meriahkan atraksi itu bersama, sampai akhirnya mataku tertumbuk kepada...

... Bola mata yang indah itu.

Di sudut bawah panggung, kulihat seorang lelaki muda yang mengalungkan sebuah kamera Nikon, meratapi atraksi wayang kulit yang sedang tampil. Ia memasang wajah terpukau, sambil bertepuk tangan sekali-kali.

Aku terus memperhatikannya. Ia memakai kemeja hitam lengan pendek, dilengkapi sebuah jam tangan berwarna cokelat di tangannya. Kulihat juga ia memiliki tubuh yang tinggi, rambut cukup panjang sepundak, alis yang tebal nan tegas, mata yang selalu menyala bila terpantul sinar, rahang yang terceta dengan jelas, dan... Senyum indah itu.

Kapan terakhir kali aku menganggap senyum seorang lelaki indah?

Aku bahkan tak mampu mengingatnya. Lelaki itu berhasil menyedot perhatianku dari pertunjukan yang sedang digelar. Kutancapkan pandanganku terus ke arahnya, sampai akhirnya datang satu momen yang berhasil membuat dadaku menjadi terasa hangat.

Di akhir-akhir atraksi tersebut, ia menaikkan kamera Nikon-nya di tangan. Ia dekatkan kamera itu ke kedua matanya, hingga kulihat ia siap membidik foto wayang kulit yang terus bergerak. Kulihat gerak-gerik lelaki itu. Di saat mata indah itu mulai mencari momen yang pas, entah mengapa aku menunggu-nunggu. Aku juga tidak tahu jelasnya apa. Intinya, saat sebelah kanan matanya mulai terpejam, kulihat alisnya yang sedikit tebal semakin kentara, dan ia membidik momen di panggung dengan memancarkan flash dari Nikon miliknya.

Percaya atau tidak, aku dibuat tersenyum oleh kejadian kecil itu.

Atraksi wayang kulit itu pun akhirnya berakhir. Semua penonton bertepuk tangan meriah sambil berteriak-teriak histeris. Aku terus melirik ke arahnya, yang saat itu ia mulai mengalungkan lagi Nikon miliknya di dada, dan mulai beranjak pergi.

Aku juga mulai menjauhi diri dari kerumunan yang ada. Hingga kulihat punggung lelaki itu dari belakang, dan ia sedang berlari-lari kecil menuju panggung yang menawarkan atraksi selanjutnya.

Aku tersenyum lagi. Entah mengapa, aku ingin sekali menjadikan lelaki itu sebagai tokoh pria di dalam tulisan perdanaku.

***
ADA rasa jengkel yang mencokol di dadaku saat membaca pesan dari Siska semenit yang lalu:

'Rin, maaf ya, aku sama Donna nggak bisa ke sana. Di dekat kost-an kami ada toko yang lagi buka sale gede-gedean. Kamu mau ikut? Kita bakal tungguin, kok. Sekali lagi maaf ya, Rin...

Jelaslah jawabanku tidak. Aku nggak tertarik dengan hal-hal seperti itu. Sambil menghela napas berat, aku mengetikkan balasan kepadanya dengan mencoba berhati besar.

Kini, aku berada di tukang nasi goreng yang dijuluki 'Nasi Goreng Gendut' - bisa kuterka nama itu didapat karena sang penjual memiliki bentuk fisik yang sedikit besar. Tapi, saat kucoba nasi goreng buatannya, rasanya enak bukan main. Salah satu nasi goreng terlezat yang pernah aku coba, malah.

Perayaan tahun baru tinggal menunggu beberapa jam lagi. Aku baru saja mengirimkan tulisanku itu ke Bentang Pustaka dan Plot Point, dengan perasaan yang begitu puas. Bukan berarti aku yakin aku akan memenangkan kompetisi tersebut, tetapi senang saja seorang 'aku' yang sembrono ini akhirnya bisa menghasilkan sebuah karya juga.

Akhirnya, aku pun menjadikan lelaki tadi sebagai tokoh pria di tulisanku. Ciri-ciri yang kudapat di pria itu sepertinya cocok dengan tipe tokoh perempuan yang kuciptakan sejak awal. Masalah judul, akhirnya aku mengambil jalan yang benar-benar pintas. Sedikit konyol, kalian pasti akan tertawa meremehkanku. Nanti akan kuceritakan belakangan.

Karena yang penting itu sekarang. Karena kini, aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Aku nggak tahu harus melakukan apa untuk mengisi waktu sampai jam dua belas malam nanti.

Aku hampir frustrasi, merasa nggak enak juga karena sejak tadi aku terus duduk di meja Bang Gendut ini.

Sampai akhirnya, sesosok lelaki menarik kursi di sebelahku. Aku menggeser sedikit kursiku, sambil kuputar sedikit bola mataku ke arahnya. Dan hal pertama yang kulihat darinya adalah ... Kamera Nikon?

"Hei, gadis yang tadi menonton wayang kulit, bukan?" Tanyanya sambil menampakkan segaris senyum.

Perhatian: apakah ada seseorang yang bisa mengubahku menjadi seekor tikus kecil sekarang juga?

***

TAK kusangka bahwa dalam beberapa detik saja, aku dengan cepat bisa akrab dengan lelaki itu.

Ternyata, di balik perawakannya yang sedikit pendiam, bisa kutemukan sosok dirinya yang amat supel. Ia sering sekali tersenyum, tertawa, dan seperti di pertunjukan wayang kulit tadi, itu terlihat indah.

"Jadi, kamu ke sini untuk meliput acara tahun baru?" Tanyaku sedikit ragu.

"Hm," dia mereguk es teh manisnya. "Yah, bisa dibilang begitu. Teman-teman kerjaku yang lain kebanyakan sudah berkeluarga, yang pastinya mereka pada sibuk sama keluarga masing-masing."

"Dan akhirnya, kamu mau nggak mau mengambil tawaran itu? Kan butuh pertimbangan juga mengambil pekerjaan di tahun baru."

Ia menaikkan alisnya dan menganggukkan kepala sekali. "Ya, tapi tak apalah, sekali-kali juga, kan. Lagipula, JNF kali ini nggak buruk, kok. Aku dapat banyak pelajaran berharga malam ini."

"Ya, aku juga."

"Kamu sendiri?" Dia melemparkan tatapan matanya ke arahku. "Ngapain sendirian-sendirian begini ke JNF? Nggak sama teman?"

Aku menelan ludah. Nggak terpikir olehku kalau aku bakal diserang pertanyaan juga.

Tapi, tak apalah. Dia sepertinya berhak tahu. "Aku mengikuti kompetisi menulis, dan karena aku bingung mau ambil latar tempat di mana, ya jadinya aku ke sini," Jelasku malu-malu. "Dan ternyata, di sini banyak juga tempat yang bagus."

"Wow, unik juga," cetusnya sambil tersenyum ke arahku. "Bisa kumasukkan ke dalam laporan koran besok. Kalau kamu mau."

"Eh, jangan," Aku segera mencegah. "Nggak perlu."

"Lho, kenapa? Dari tadi aku juga menemukan hal-hal yang unik, kok , di sini. Ada yang datang ke sini untuk bertemu kenalan di dunia maya, ada nenek-nenek ke sini dari kampung untuk melihat anaknya tampil menari, dan, masih banyak lagi." Ia memandangku singkat. "Siapa tahu kamu menang kalau aku liput sekarang."

Aku tersenyum. "Nggak usah, aku juga mengikuti kompetisi ini bukan untuk menang, kok. Sekadar pembuktian diri saja."

"Jawaban keren."

Lalu, kami pun bercerita banyak hal. Kuceritakan juga perihal kakakku yang bawel, dan dia tertawa sampai sakit perut memintaku untuk berhenti. Jujur, aku tak pernah mengira malam ini akan berjalan seperti ini. Mimpi apa aku semalam. Dan apa kata Andin kalau aku beritahu ini kepadanya?

"Kamu bilang dong, ke dia, kalau malam ini kamu bertemu denganku," pintanya seolah membaca pikiranku.

"Boleh. Akan kuceritakan nanti."

Kami pun tertawa lagi.

Tiba-tiba, ia menengok jam tangan cokelatnya. "Eh, sedikit lagi malam tahun baru. Kalau kamu mau mending kita pergi, yuk, dari sekarang."

Aku memandangnya heran. "Ke mana?"

"Bundaran Hotel Indonesia." Jawabnya. "Di sana ada hitung mundur menuju jam dua belas malam. Kudengar, di sana juga ditampilkan video mapping yang katanya, menarik."

Ia menatap ke arahku lama. Hingga akhirnya ia berkata, "mau ikut?"

Aku mengangguk singkat. Dengan senyum yang tak bisa kutahan.

Dan kami pun berjalan, mengejar waktu sebelum menuju jam dua belas malam.

***

"NAH, yang kayak begini, nih, yang harus difoto."

Sesampainya kami di sana, ia sibuk mengambil gambar yang menurutnya menarik. Membidik orang-orang yang berkerumun datang, mengambil gambar video mapping yang sedang ditampilkan, dan masih banyak lagi.

Seharusnya, aku bakal bosan dibuatnya. Tetapi, entah mengapa kegiatannya itu justru membuatku sangat terkesan.

Melihatnya asyik ke dalam dunianya sendiri, membuat aku justru kagum, dan bertanya-tanya kepada diriku sendiri: dunia apa yang sebenarnya membuat aku jatuh cinta?

Nah, betul, kan, tak kutemukan jawabannya. Bertemu dengannya, membuat aku bercermin banyak hal kepada diriku sendiri selama ini. Padahal, kami baru bertemu nggak lebih dari satu setengah jam.

Dan dia malah sudah memberi banyak pengaruh terhadap hidupku, yang kubilang masih tak keruan.

"Hei, beberapa menit lagi jam dua belas malam tiba!"

Ia menyerukan hal itu kepadaku, membuat aku tersadar dan langsung ikut memeriahkan suasana.

"Nggak mau berdoa dulu?" Tawarnya saat aku masih bertepuk tangan dengan antusias.

"Oh, ya." Aku segera memejamkan mata, dan langsung merapal beberapa harapan yang aku inginkan. Sejak bertemu dia.

"Harapan yang panjang," ucapnya saat aku membuka mata.

Aku menggeleng. "Hanya berdoa supaya hidupku lebih baik, dan aku menjadi gadis yang nggak sembrono lagi."

"Lho, memangnya apa yang salah sama kamu?" Ia memandangku heran.

Aku tertawa kecil. "Banyak, lagi. Justru melihat kamu, aku makin iri sama hidupmu. Kamu sudah menemukan banyak hal, yang sampai sekarang belum juga aku temukan," aku terdiam sendiri, "Bahkan belum aku cari."

"SEPULUH...!"

Suara seluruh orang yang hadir mulai meledak di langit.

"Hei, dengar." Dia menatap mataku serius.

"SEMBILAN..!"

"Kita baru mengenal beberapa menit yang lalu, ..."

"DELAPAN..!"

"... Tapi izinkan aku berkata ini."

Aku menatap matanya lekat.

"TUJUH...!"

"Dari sekian banyaknya gadis yang sudah kutemui,.."

"ENAM...!"

"Aku baru bertemu sesosok gadis seperti kamu."

"LIMA...!"

"Kamu tahu artinya apa?"

Hatiku bergetar. Tak tahu apa sebabnya.

"EMPAT...!"

"Kamu, adalah gadis yang hebat, ..."

"TIGA...!"

"...yang baru saja aku temukan."

"DUA!"

Ia segera berdiri, memasang kamera Nikon-nya dalam posisi siap, dan berkata kepadaku, "biar kuabadikan langit ini buat kamu. Ya?"

"SATU...!"

DAR! DAR! DAR!

Suara petasan dalam sekejap segera merobek langit Jakarta. Dengung terompet meramaikan teriakan dari berbagai warga, membuat malam menjadi makin meriah.

Aku tak lagi sanggup teriak. Justru, aku malah menangis. Aneh, memang. Aku juga tak tahu.

"YEAH! SELAMAT TAHUN BARUUU!" Lelaki itu berteriak keras, suaranya menyatu dengan suara terompet dan petasan yang hadir.

Aku tersenyum ke arahnya. Sebenarnya siapa, sih, lelaki ini?

Ia pun menoleh ke arahku, dan kembali duduk di sampingku. "Sudahlah, nggak perlu nangis. Masa tahun baruan nangis?" Ia merapatkan posisi duduknya ke arahku, lalu menunjukkan kepadaku suatu hal.

"Nih, foto-foto langit yang berhasil kudapat. Terserah, kamu mau pilih yang mana."

Aku melihatnya, lalu menyeka air mataku yang masih muncul. Seketika, entah kenapa aku ingin berkata kepadanya, "terima kasih sebelumnya. Rasanya belum lama kita mengenal, kamu sudah memberikan banyak hal yang amat berarti buat aku."

Ia tersenyum. "Aku senang mendengarnya. Tetapi, perkataanku tadi memang bukan mengada-ada, ya. Itu memang benar adanya."

Ia menyodorkan tisu ke arahku, membuatku justru ingin menangis lagi.

"Tuh, kan."

Ia tersenyum. Tak lama, ia menyodorkan tangan kanannya ke arahku, membuatku sedikit bertanya-tanya. "Kita belum berkenalan. Siapa namamu?"

Aku menyambut tangannya itu. "Karin."

"Wow," dia memasang wajah terkejut. "Kita memiliki inisial nama yang sama, rupanya."

Aku memandangnya penasaran.

"Namaku..." Ia menggoyangkan jabatan tangan itu. "...Kilat."

Seketika, hatiku tersentak. Aku memandang matanya lekat, tak lagi mengerti keajaiban macam apa yang telah terjadi malam ini.

Asal kalian tahu, judul tulisan perdana yang telah kuselesaikan tadi kuberi judul: Menulis Kilat. Padahal, itu hanya ide konyol yang datang saat aku kehabisan ide, sehingga aku segera mengambil nama kompetisi itu sendiri.

"Kenapa?" Ucapnya melihatku yang terdiam tanpa kata.

"Nggak," aku menggeleng tak percaya. "suatu saat, aku cuman mau memberikan kamu tulisan perdanaku tadi. Kamu harus liat. Dan, kamu juga harus siap-siap, melihat alam secara kompak terbahak menatap kita."

Ia mengerutkan alis bingung, lalu berucap, "Oke, dengan senang hati aku akan membacanya."

Kami pun saling berbagi senyum. Entah untuk keberapa kalinya. Jelasnya, malam tahun baru ini adalah malam yang paling berkesan buatku. Tergolong ajaib, malah.

Nanti, akan kuceritakan hal ini kepada Andin, dan bisa kupastikan cerita-cerita romantisnya itu pasti akan kalah dengan kisahku yang satu ini.

Kita lihat saja nanti.


SELESAI