Halaman

Senin, 02 Januari 2012

Jakarta Penuh Cinta

Sopir TransJakarta

“Para petinggi-petinggi Negara, melakukan korupsi sebanyak…”

Jika aku mendengarnya, aku pasti tersenyum. Melihat banyaknya kasus-kasus yang lucu bagiku di Jakarta. Urbanisasi yang saya lakukan 5 tahun lalu, sepertinya cukup untuk mengenal Jakarta.

Awalnya, saya kagum akan gedung-gedung pencakar langit, jembatan mewah, sarana berolahraga, di Indonesia. Tetapi itu semua hancur setelah saya menemukan kunci-nya di Jakarta. Saya hanya bisa tersenyum melihat drama-drama pejabat tinggi Negara lewat televisi kecil di rumah saya. Dan itu semua, membuat saya seperti memiliki derajat lebih tinggi dibanding para koruptor dimanapun ia berada.

Dan derajat itu turun seketika ketika istriku mematikan televisi. Ia berkata : “Berangkat kerja sana. Mikirin politik melulu, pikirin keluarga kita! Baru Negara!”. Aku hanya tersenyum dan melangkahkan kaki dengan menurut. Ia seperti majikanku saja.

Jangan beranggapan kalau majikan saya hanya istri saya, bahkan anak saya juga. Anak saya perempuan. Dosa apa orangtua saya hingga hidup berada diantara dua perempuan yang keras kepala.

“Ayah tak pernah mengerti Dinda! Ayah sibuk dengan kerja! Padahal kerja Ayah, apa? Hanya sopir Trans Jakarta! Tetapi sibuknya seperti orang kantoran saja. Ditambah lagi, otaknya penuh sama politik, seperti para pejabat saja.” Omelnya.

Aku hanya bisa menangis dalam hati. Dan bertanya: Apakah pindah ke Jakarta memang bukan pilihan yang tepat?

Pemain Musik Tanjidor

Jadi pemain musik yang katanya berasal dari Portugis ini, sebenarnya tidak buruk-buruk sekali, kok. Tetapi yang aku bingung, kenapa banyak orang yang memandang remeh pekerjaan aku ini. Aku bingung, sekarang orang-orang sepertinya lupa sama budaya daerahnya sendiri, deh. Mereka seperti menjadikan tempat tinggalnya, untuk lahan perekonomian, tempat tinggal, hiburan, sudah.

Tanpa perlu mengetahui, usaha orang-orang yang membangun daerah yang kalian tinggali ini. Jika ada orang yang meremehkan kami, aku hanya bisa berkata: “Jika kamu atau kerabatmu menikah, ujung-ujungnya juga bakal memanggil kami.”

Ya, namaku Bayu. Pendidikan terakhir adalah SMA. Dan langsung beralih ke pekerjaan yang aku cintai ini. Pemain Tanjidor. Dan aku, adalah pemain paling muda dalam kelompok Tanjidorku ini. Di kelompokku, aku bertugas memainkan klarinet.

Tapi, ya beginilah. Orang-orang memandang pekerjaanku dengan begini. Mereka lebih suka dengan Just The Way You Are, Someone Like You, Never Say Never, dibandingkan Jali-Jali, Batalion, Kroncong Kemayoran dan Surilang yang aku sering mainkan ini.

Bahkan, keluargaku, yang melahirkanku, juga meremehkan ini.

“Kerja di tempat nikahan mulu. Apa gak ikut mendapat jodoh, ya?”

“Tiup tuh klarinet sampai mendapat 1 milyar!”

Aku hanya bisa menghela napas. Mereka ternyata sama saja dengan orang-orang lain. Hahaha. Lucu ya, seperti tidak mendapat dukungan dari keluarga sendiri.

Tapi… Jika diperintahkan untuk menjawab, aku ingin menjawab bahwa aku sudah menemukan perempuan yang aku cintai, kok. Dia juga mencintaiku. Aku hanya belum memilikinya sepenuhnya.

Namanya, Dinda. Jika aku berada didekatnya, entah mengapa lahir beberapa senyuman dari bibirku ini. Kata-kata yang pernah dilontarkannya seperti memiliki makna yang indah. Yang tidak bisa menahanku untuk menyunggingkan senyum sambil menatapnya. Dan yang membuatku takjub, :

“Mimpi apa aku semalam, sampai memiliki ayah seorang sopir Trans Jakarta dan memiliki pacar seorang pemain tanjidor.”

Tukang Kerak Telor

Kalau mangkal didepan restoran, itu memang benar-benar menyakitkan. Ditengah panasnya matahari yang sangat membakar kulitku yang keriput, asap-asap kendaraan yang menghantam wajah dan suasana orang yang berlalu-lalang di restoran yang aku lihat ini.

Restoran itu tampak banjir pembeli. Memesan spagetty, lasagna, pizza, dan beberapa makanan yang sudah dipastikan tidak akan bisa berkompromi dengan lidahku ini.

Aku hanya bisa memandang telor, dan segalanya yang aku bawa dikelilingi oleh beberapa lalat. Seperti penanda bahwa aku harus berpindah tempat. Dan ini tambah menyedihkan. Aku diusir oleh lalat.

Di bawah bulan yang telah menghiasi langit malam, aku lagi-lagi masih berada di pinggir jalan. Jika aku menerawang ke langit malam, terlukis wajah anakku yang menanti aku pulang, wajah istriku yang cantik yang menanti sejumlah uang yang aku bawa.

Tapi, apa kenyataannya?

Firasatku uang yang aku miliki belum bisa membahagiakan mereka. Hari ini, aku baru memiliki 4 penglaris. Mereka orang-orang yang rela terjun ke jalan untuk membeli kerak telor buatanku ini. Memandang hari ini, aku hanya bisa berharap Pekan Raya Jakarta akan segera datang.

Tetapi, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku. Aku menoleh, dan melihat senyum dari seorang pemuda lelaki yang menggandeng… mungkin pacarnya.

“Pak, kerak telornya dua, ya.” Pinta pemuda itu.

“Dinda, makan kerak telor dulu, ya. Untuk mengganjal perut, saja.”

Pacarnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Mengisyaratkan ‘Tidak apa-apa, sayang..’. Sedangkan aku, terus membuat kerak telor yang akan jadi ini.

Mereka terus berbincang layaknya seorang kekasih. Ya, mungkin mereka memang sepasang kekasih. Dan, ini yang menyenangkan. Mereka rela duduk di pinggir jalan dibandingkan kursi bagus di restoran, dan menikmati kerak telor dibanding makanan-makanan asing itu.

Kerak telorku pun akhirnya jadi. Aku meletakkanya di piring kecil, dan menyerahkannya kepada sepasang kekasih ini. “Sungguh, Mas, Neng. Kalian pasangan yang benar-benar cinta Jakarta,” candaku.

Mereka saling memandang, dan tertawa.

Pemuda pun menjawab. “Hidup kami berdua, memang tak pernah lepas dari Jakarta, pak. Sebenarnya, para Pejabat Negara, bahkan Presiden pun bisa duduk disini. Hanya mereka belum melihat sisi lain dari Jakarta saja, Pak.” Ucap pemuda itu sambil tersenyum.

Malam itu, dibawah sinar bulan, Tukang Kerak Telor, Bayu dan Dinda terus melempar senyum dan tawa. Mereka meyakinkan dalam hati mereka, bahwa…

….Jakarta, memang indah.


Selesai


P.S.Menyemarakkan #sebulansepuluhtulisan :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar