Halaman

Rabu, 23 Desember 2015

#DearAtlas Kesetimbangan Baru yang Kutemukan

Dear Atlas,

Sudah lama aku tidak menulis. Sudah lama pula otakku serasa digedor-gedor namun tak kunjung kuputar kuncinya agar terbuka. Aku merasa telah menjadi manusia yang sok sibuk, meninggalkan salah satu ritual yang selalu menyajikanku kewarasan dalam sebuah takaran yang pas. Dan kini aku serasa lupa bagaimana caranya untuk memulai suatu paragraf yang baik, ataupun mengorek-ngorek diksi yang dulu sering kupakai untuk menghiasi sebuah kalimat. Aku menjadi jarang membaca, Goodreads Challenge-ku benar-benar terlantar. Aku menjadi jarang menonton film, ataupun mengecek IMDb untuk sekadar memberi bintang pada film yang sudah kutonton setiap harinya. Dan kini saat hal-hal itu mulai menyeruak, mereka semua menyergapku dalam satu pertanyaan besar: Gila, aku ini kenapa?

Jumat kemarin dosen kimia dasarku menjelaskan tentang teori Le Chatelier pada bab Kesetimbangan Kimia. Dia berkata bahwa konsep itu bukan hanya terjadi pada suatu sistem, tetapi manusia juga bisa merasakan hal yang sama. Zona nyaman yang sudah kita diami selama ini bisa kita sebut sebagai kesetimbangan, dan saat satu gangguan datang, kita akan berusaha mencari kesetimbangan baru dengan perubahan seminimal mungkin.

Aku pun mulai merunutnya satu-satu. Aku telah menyelesaikan pendidikanku di SMA (yang bisa dibilang dua tahun itu merupakan suatu perjalanan yang cukup gila), dan kini titelku berubah menjadi seorang mahasiswa teknik yang dunianya berubah signifikan. Yang dulu menuju sekolah hanya menggunakan satu Metromini, kini aku harus menuju kampus dengan menempuh empat belas stasiun lewat Commuter Line. Berdesak-desakan dengan para karyawan yang beradu dengan waktu kerja, dan berbagi letih dengan mereka lagi saat jam pulang mulai berlaku. Waktu luang yang dulu kusisihkan untuk sebuah bacaan dan film, kini waktu yang berharga itu kugunakan untuk tidur dan mengistirahatkan tubuh. Satu jam lebih yang kutempuh di dalam gerbong kereta kugunakan dengan merebahkan kepala lalu menutup mata.

Sampai pada suatu waktu aku merasa bahwa kesemrawutan ini sudah semakin akut. Ranselku rasanya semakin berat karena keluh dan resahku sendiri. Diimpit seperti sekantung ikan teri dari Kebayoran hingga Tanah Abang, lalu berlomba-lomba layaknya lari marathon dengan para karyawan untuk berganti kereta tujuan Bogor saat transit di Tanah Abang. Mengucap syukur bila mendapat duduk, atau hanya bisa mengumpulkan napas saat harus menahan lutut hingga stasiun Universitas Indonesia. Kalau keseharianku yang seperti ini disorot dan bisa kamu tonton di televisi–gila, aku ini miris sekali, kan? 

Pagi itu sebelum kusampirkan tas di pundak dan menutup pintu kamar, aku berbalik badan dan menilik rak bukuku sendiri. Rasanya seperti bertemu kawan lama yang tak pernah saling bertegur sapa. Dari situ, kuambil satu buku berjudul Madre karya Dee Lestari yang merupakan salah satu buku penggerakku untuk menulis blogku sendiri, yakni Dapur Sampah. Selama di kereta, dengan tangan kanan yang mengait pada pegangan, aku mulai membaca buku cerpen dan prosa tersebut. Aku memulai dengan cerpen Madre, yang bercerita tentang Tansen, seorang pria berambut gimbal yang bergelut dengan sebuah ragi bersejarah. Lelaki ini gemar menulis blog, sebagian kisah hidupnya setelah bertemu dengan ragi roti itu ia tuliskan di sana.

Dan, ah, membaca buku itu membuatku lupa akan waktu.

Tepat saat aku tiba di stasiun tujuan, aku merasa diriku terpanggil lagi. Untuk mencari buku mana yang patut kubaca, mencari review orang di Goodreads, ataupun mulai menulis lagi.

Diriku yang sekarang lahir dari berbagai jenis bacaan dan film. Dan yang kurasa, bacaan dan film ini-lah yang mampu memapahkanku menuju ketenangan dari keletihan ini.

Semenjak saat itu, aku selalu membawa bacaan untuk menemaniku selama perjalanan di kereta. Baik dalam bentuk nyata, maupun e-book yang kumasukkan di handphone-ku sendiri. Sesekali aku membuka notes untuk menulis. Menulis apa saja yang hadir di benakku; mulai dari pemandangan yang kutangkap lewat jendela kaca, orang-orang di sekelilingku, ataupun kereta yang tertahan menunggu sinyal masuk Manggarai.

Hingga pada suatu titik, aku memutuskan untuk segera membuat blog baru. Blog dengan namaku sendiri, yang berisikan fiksi yang kubuat atau sekadar racauan mahasiswa biasa yang sebenarnya nggak penting-penting amat. Pada malam sebelumnya, aku membaca ulang beberapa post di Dapur Sampah dan rasa ingin untuk menulis itu kembali menetas. Dan pada malam berikutnya, aku pun merangkai blog baruku ini, dengan nama:


Yah, mungkin memang belum seberapa. Masih ada beberapa hal yang perlu kubenahi, namun belum terealisasikan karena lagi-lagi terantuk jadwal kuliah dan tugas yang makin menumpuk. Tetapi setidaknya, hal ini sudah mendonasikan kebahagiaan yang besar untuk diriku sendiri. Telah kutemukan obat kewarasan yang paling ampuh saat pikiranku sudah mulai serabutan.

Atlas, bertemu dengan suatu hal yang kamu cinta tidak akan melahirkan rasa bosan. Justru dengan rasa cinta itu akan terbentuk satu rahim yang membuat dirimu nyaman, baik dalam diam yang menenangkan maupun ramai yang menyesakkan. Cintai dirimu sendiri. Setidaknya hal itu bisa membuatmu yakin bahwa semua akan baik-baik saja, bahkan timbul satu rasa untuk menyebarkan cinta dan kebaikan yang sudah kamu miliki.

Dan aku telah menemukan kesetimbangan baru yang disebut-sebut oleh dosen kimia dasarku tadi.



Jakarta, 29 November 2015



S.

Rabu, 23 Juli 2014

Tersesat


KETIKA semuanya berubah berujung pahit, aku diserang pemikiran bahwa aku merindukan kamu yang dulu.

Kini aku sedang berada pada malam hari jadi kita yang ketujuh belas bulan. Di hamparan langit yang seolah memaki, aku kini mencoba maklum untuk yang keseribu kali. Memaklumi kesibukan kamu. Memaklumi cita-cita kamu. Sampai-sampai... Ya, memaklumi ketidakhadiran kamu di sini, di sampingku.

Sudah terhitung lima kali aku merayakan hari jadi kita tanpa keberadaan kamu. Aku lagi-lagi mencoba mengerti. Kamu sedang mengejar skripsi kamu, kamu sedang sibuk seharian penuh, kamu pasti lagi mendamba-dambakan akan seindah apa jika kamu nanti sukses menjadi pengacara, dan membayangkan kalau kamu berhasil membuat orang tua kamu bangga.

Aku menatap bintang di atas sana.

Berpikir.

Mencoba mengilhami bahwa jutaan titik di langit sana akan menuntunku dalam menyusuri kehidupan kamu yang sekarang.

Tetapi mengapa... Kini itu terasa sulit?

Apa memang benar ucapan kamu saat terakhir kita bertengkar malam itu adalah jawaban sebenarnya?

"Kamu menuntut terlalu banyak dari aku, Jo. Sedangkan masih banyak yang perlu aku urusin sekarang. Bisakah kamu mencoba mengerti sedikiiit, saja?"

Perkataanmu membuatku menjelajah terlalu jauh. Sampai aku kehilangan arah. Tersesat. Tujuanku limbung. Bahkan aku menjadi tak tahu apa yang sedang aku cari.

Yang padahal, sebelumnya hal itu sudah kuketahui pasti.

Aku ingin mencari kamu yang dulu, dan mencoba menerima kamu yang sekarang.

Aku kembali terdiam. Bahkan pemikiran barusan lagi-lagi membuatku terpental melesat jauh.

Dari kamu. Dan juga kita.

Sungguh, apakah aku bisa menemukannya..?


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Nyata





LIMA belas menit sebelum aku tampil di atas sana.

Tanganku berkeringat. Peluhku membanjur dengan deras. Kudekap mic dengan gemetar, seraya bibir pucatku yang terus merapal berbagai macam doa.

Di sela-sela detik yang terasa seperti neraka, kalimatmu di telepon tadi sore terngiang di telingaku.

"Good luck, Key. Kamu udah latihan semalaman, lupain aja hal-hal yang buat kamu takut. Aku percaya kamu bisa. Ya?"

Aku tersenyum getir. Kamu memang satu-satunya orang yang mahir mencairkan kebekuan yang ada. Walaupun kamu nggak berada di kota ini, kamu terus memberikan semangat yang kapasitasnya kuanggap non-stop. Lewat skype, aku berlatih menyanyi di depanmu serasa orang konyol. Tetapi kamu tetap setia mendengar. Dan selalu menyelipi kalimat yang membuat segalanya terasa lebih mudah.

"Suara kamu itu serenade nina-bobo paling indah yang pernah kudengar, tau?" Ucapmu suatu waktu.

Sampai akhirnya, waktu itu tiba.

Aku melangkah ke atas panggung, dan memosisikan mic dengan siaga. Lampu panggung menyorot diriku, yang sebelumnya kuanggap diriku sebagai manusia kasatmata di dunia ini.

Aku bukan siapa-siapa.

Tapi kalimat-kalimatmu yang terngiang membuat keberadaanku menjadi nyata.

Aku mendongakkan kepala, seiring dengan musik yang mulai melantun.

Aku mulai bernyanyi.

Dan mataku menangkap kehadiranmu.

Aku tersenyum, rasa yakin di dalam diriku makin membuncah. Kalimat-kalimatmu bukan lagi ilusi semata, karena kini kamu menyaksikan aku yang menjadi nyata.

"Walaupun aku nggak menonton kamu langsung, kamu harus percaya bahwa aku selalu ada di setiap embusan napas kamu. Kapanpun itu."

Dan aku tahu, hal itu memang benar adanya.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku