Halaman

Minggu, 15 Juli 2012

Malam



Saat aku bermimpi di tengah malam
Meresap menjadi ruh sebuah bintang
Menghias lukisan gulita yang lapang
Merindu terhadap kumpulan kunang-kunang

Jati diriku terpecah menjadi serpihan bintang. Menyebar berantakan, tak peduli adanya peta. Aku hanyalah sebuah hiburan di tengah deru tangis Sang Malam. Aku tak peduli jiwaku tak utuh kembali. Tugasku bukan itu. Malam tidak menginginkan itu.

Matahari bersembunyi di balik kelam
Berkhianat terhadap Sang Malam
Mengecup selingkuhannya dengan dalam
Meninggalkan rindu yang teramat buram

Mataku menggembung mendengar celotehan Sang Malam. Reaksi hasrat dan rindu tampak dari dirinya yang selalu gelap seolah ingin melenyapkan. Melahap segala sinar yang ada, mengingat jati dirinya yang sedang kalap.

Ia tampak tak mau malu oleh eksistensinya saat terang
Tak mau mencicipi bibir sebuah gulita
Dirinya selalu takut
Dia tak akan bisa lagi berpendar
Dia takut
Matahari tak lagi bisa menemani

Malam ingin seperti lentera
Menerangi gelap hingga terlena
Menemani manusia yang sedang merana
Menjelma menjadi lebih dari satu warna

Aku mengangguk. Terus mengibaskan sinar. Mungkin ini sebabnya mengapa bulan selalu ada di samping Malam. Mengapa bulan terkadang terlihat seluruhnya, separuh atau hanya sedikit.
Karena Bulan tak sombong
Ia setia dalam kerendahan dirinya
Ia rela menjadi dada untuk Malam yang sedang sendu
Aku tersenyum. Tak sia-sia mimpiku mengubahku menjadi bintang. Setidaknya untuk malam ini. Menemani bulir mata Malam,
Yang merindukan kasih Sang Surya