Saat aku
bermimpi di tengah malam
Meresap menjadi
ruh sebuah bintang
Menghias lukisan
gulita yang lapang
Merindu terhadap
kumpulan kunang-kunang
Jati diriku terpecah menjadi serpihan bintang.
Menyebar berantakan, tak peduli adanya peta. Aku hanyalah sebuah hiburan di
tengah deru tangis Sang Malam. Aku tak peduli jiwaku tak utuh kembali. Tugasku
bukan itu. Malam tidak menginginkan itu.
Matahari
bersembunyi di balik kelam
Berkhianat
terhadap Sang Malam
Mengecup
selingkuhannya dengan dalam
Meninggalkan
rindu yang teramat buram
Mataku menggembung mendengar celotehan Sang Malam.
Reaksi hasrat dan rindu tampak dari dirinya yang selalu gelap seolah ingin
melenyapkan. Melahap segala sinar yang ada, mengingat jati dirinya yang sedang
kalap.
Ia tampak tak mau malu oleh eksistensinya saat
terang
Tak mau mencicipi bibir sebuah gulita
Dirinya selalu takut
Dia tak akan bisa lagi berpendar
Dia takut
Matahari tak lagi bisa menemani
Malam ingin
seperti lentera
Menerangi gelap
hingga terlena
Menemani manusia
yang sedang merana
Menjelma menjadi
lebih dari satu warna
Aku mengangguk. Terus mengibaskan sinar. Mungkin ini
sebabnya mengapa bulan selalu ada di samping Malam. Mengapa bulan terkadang
terlihat seluruhnya, separuh atau hanya sedikit.
Karena Bulan tak sombong
Ia setia dalam kerendahan dirinya
Ia rela menjadi dada untuk Malam yang sedang sendu
Aku tersenyum. Tak sia-sia mimpiku mengubahku
menjadi bintang. Setidaknya untuk malam ini. Menemani bulir mata Malam,
Yang merindukan kasih Sang Surya