Halaman

Kamis, 29 Desember 2011

Pertanyaan Seorang Ateis


Aku hanya bisa menghela napas melihat keadaan hidupku ini sejak kecil. Aku menjadi tampak iba dengan hidupku ini. Aku juga merasa kasihan. Dan aku merasa aku beda sendiri. Bertahun-tahun aku mengalami seperti ini, hanya membuatku gelisah. Digantungi dengan beribu-ribu ah, lebih dari itu. Bermilyar-milyar pertanyaan. Pertanyaan yang menurut orang simpel saat menjawabnya.

Saat aku mengenyam pendidikan, aku baru menyadarinya. Aku baru menyadari bahwa aku memang seperti anak yang memiliki kelainan. Disana, aku mengenal yang namanya agama. Bahkan 'nama' itu menjadi pelajaran rutin setiap minggu. Mulai muncul berbagai pertanyaan. Aku menanyakannya kepada orangtua, mereka hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dia membelai rambutku, dan berkata 'kau tak perlu mencarinya.' Setelah itu, aku merasa tenang. Melihat pelajaran 'Agama' yang hanya muncul sekali dalam seminggu. Kalah dibandingkan pelajaran Bahasa, Matematika dan IPA.

Tapi kau tahu? Rasa gelisah itu muncul lagi saat pengambilan rapor. Di halaman pertama, aku melihatnya. Tertera disana, "Agama: -". Kosong. Tidak berisi. Saat kubalik halamannya, melihat nilai-nilaiku, Nilai agama juga tak bernilai. Sekarang, muncul lagi pertanyaan.

Apa itu agama?

Saat menduduki bangku SMA, aku menjadi tertarik. Pergaulanku semakin luas. Melihat temanku bersujud-sujud di 'Masjid' sekolah, pergi ke gereja pada hari Minggu, temanku yang meletakkan sesaji di 'tempat suci', dan lainnya.

Aku membuka buku catatanku yang selalu kubawa. Mulai sekarang, aku akan mencatat pertanyaan-pertanyaan yang melintas di otakku. Pertanyaan yang menunggu untuk dijawab.

1. Apa itu yang bernama 'agama'? Kenapa harus ada 'itu' dalam hidup manusia?
2. Apa agamamu?
3. Kenapa Agamamu 'itu'? Kenapa tak yang lain? Mengapa kau meyakininya? Memang berasal dari hati? Atau bawaan orangtua? Sehingga, kau hanya mengikuti agama orangtuamu itu, tanpa tahu alasannya?

4. Siapa 'Tuhan'? Kau memercayainya?
5. Sempatkah kau berpikir, mengapa 'Tuhan' setiap agama berbeda?
6. Kenapa ada orang yang berpindah 'agama'?
7. Dan kamu bisa yakin agamamu benar ditengah banyaknya orang yang meyakini bahwa agamanya (yang berbeda darimu), juga benar?
8. Apakah setiap agama memiliki surga dan neraka-nya sendiri?

Aku menutup buku catatan. Pertanyaan ini semua butuh jawaban. Kau bisa menjawabnya? Tolong, siapapun. Bantu aku. Aku tahu, siapapun dirimu, apapun agamamu, kamu pasti yakin. Kamu yakin dengan agamamu. Agama yang menurut sebagian orang simpel, jadi tak heran sebagian orang juga melalaikannya.


Apakah kamu termasuk?


Belum, belum selesai.
Karena aku, masih mencarinya...


Foto: Kesini!

Rabu, 28 Desember 2011

Gadis Dongeng


Anela, peristiwa beberapa tahun lalu membuat hidupku lebih unik. Ya, unik. Aku benar-benar baru mengerti sekarang. Apa maksudmu saat perjumpaan kita di kafe seberang kampus. Saat itu aku hanya tertarik pada dirimu, bukan buku tebal dongengmu.

Dulu, aku hanya melihatmu turun dari bis kota di depan gerbang sekolah. Kau tampak sibuk. Merapihkan rambut, membawa beban yang tampaknya berat dibahumu dan tak luput buku tebal yang selalu kau bawa. Buku itu sangat tebal, Anela!

Aku mulai mengenalmu hanya dari berita angin. Berita yang sayup-sayup terdengar masuk ketelingaku. Berita yang langsung kucerna, dan tersenyum. Orang-orang bilang kau itu aneh. Ada juga yang bilang, kau itu gila.


...Dan kau tahu? Berita itu seperti mulai memunculkan benang merah diantara kita.

Benar-benar butuh perjuangan untukku untuk bisa duduk didepanmu saat kita bertemu di kafe. Aku memikirkan rencana ini semalaman. Berawal dari mengikutimu menaiki bis kota, berusaha untuk menabrakmu di tikungan kampus, mencarimu di perpustakaan, hingga berkontak langsung kepadamu untuk tugas kampus.

Saat itu juga, itulah pertama kali kita saling berbincang. Aku menanyakan segala pertanyaan yang terus mengikatku sejak aku mengenalmu. Semuanya ditumpahkan semua pada kedai kopi di seberang kampus kita. Aku tanyakan semuanya, hidupmu, bis kota, kehidupanmu, matamu yang cukup hebat menghadapi buku-buku tebal dan buku tebal yang selalu kau bawa itu.

Dan kau pasti masih mengingatnya, Anela. Saat kau mengatakannya, aku menjadi terbelalak. Aku benar-benar tak sanggup. Memori-memori yang sudah pecah menjadi satu diotakku pada saat itu. Kau pasti ingat, alasanku untuk menyelesaikan perbincangan di kafe ini. Dan kau dapat melihat ekspresiku membanting pintu kafe. Sementara kau hanya duduk manis dan tersenyum. Itu semua masih ada di otakmu, kan? Apakah kau tak mengertinya?


Ya, perasaanku yang aneh terhadap dirimu. Rasa sayang.



Aku masih tak sanggup menerimanya. Aku juga masih mengingat mimik muka sahabatku saat mendengarnya.

"Kau tak jadi, dengannya?" tanyanya.

Aku menggeleng lesu. Sahabatku menghembuskan napas berat. Dia benar-benar tak mengerti.

"Lalu, apa yang kau dapatkan dari pertemuan itu? Kau tak menyatakannya?"

"Yang aku ingat sepertinya dia juga menyukaiku,"

"Lalu, mengapa kau..."

"Dia ingin siapapun pacarnya nanti, ,menyukai dongeng."

Sahabatku terdiam. Sekarang ia baru mengerti sebabnya. Dia mengerti hubunganku dengan yang namanya dongeng. Hubungan bagai minyak dengan air. Tak akan. Takkan bisa menyatu. Saat itu, aku belum mengerti. Kenapa kau menyuruh siapapun calon pacarmu menyukai dongeng. Kisah-kisah yang tak akan jadi kenyataan. Seperti kisahku saat ini. Saat mendengarnya, Anela.

25 tahun silam, aku baru mengerti semuanya. Cucuku membeli buku dongeng. Ia meminta aku membacanya. Aku sudah menggeleng, tetapi ia merengek. Apa boleh buat, itu adalah pertama kalinya aku membaca dongeng.

Halaman demi halaman, akhirnya sampai dengan akhir yang tak bahagia. Sang puteri tidak menjadi permaisuri sang pangeran karena dongeng penyebabnya. Rasanya aku menjadi mengenali tokoh yang ada didalamnya. Sejenak aku berpikir, tokoh itu adalah aku dan dirinya, Anela. Segera aku menutup buku dan aku melihat namamu sebagai sang dalang di sampul depan.

Sekarang, aku baru mengerti. Kau menginginkan lelaki yang mempercayai dongeng untuk percaya akan dongeng yang sedang dijalaninya. Aku tak menyangka bahwa kisah kita adalah dongeng, Anela! Kini, aku menyesalinya. Sampai sekarang pun rasa itu masih tertahan, walau secuil.

Segera aku memerintahkan cucuku,:


"...Beli buku dongeng yang banyak, nak!"


Selesai


P.S. Dalam rangka menyemarakkan #cumanaksirunite, aku hanya bisa membuat cerita (fiksi) ini. Aku belum banyak berpengalaman tentang ini, @hurufkecil. Aku masih 14 tahun. Setidaknya, ini mengisi liburan sekolah 2 minggu-ku ini. Thanks!