Halaman

Sabtu, 31 Mei 2014

Sebuah Kado di Hari Ulang Tahun


"Oke! Latihan hari ini cukup!"

Suara itu lantang terdengar. Fathan menepukkan tangannya di udara, diikuti riuh teriakan seluruh anggota teater. Studio mendadak ramai. Semua anggota teater pun bersalaman satu sama lain lalu menepi ke arah kursi penonton.

Tak terkecuali perempuan satu itu.

Sesosok perempuan dengan kerudung biru langit pun menghampiri tempat duduk Fathan berada. Kabar yang berembus memang mengatakan hubungan mereka sangat dekat, berujung pada label pacaran, tetapi sayangnya nggak ada bukti kuat akan hal itu. Keduanya masih mengatasnamakan alasan sebatas teman teater saja.

"Minum?" Fathan menyodorkan satu botol air mineral.

Perempuan yang bernama Retno itu pun mengangguk. Sigap, Fathan membuka tutup botol itu, lalu memberikannya kepada Retno.

"Aku suka cara kamu peranin tokoh Yasmin di sana," ucap Fathan tiba-tiba. "Anggun. Persis seperti yang kubayangkan. Pantas, ya, dulu aku nggak perlu pikir panjang saat mengaudisi kamu."

Mendengarnya, Retno pun tersenyum. Ia buru-buru mereguk air minumnya untuk menyamarkan hal itu. "Terima kasih, tetapi aku begini juga masih belajar. Sedikit-sedikit."

Fathan mengangguk. Menatap mata Retno sekilas. Satu-dua detik.

Seketika, ia tersadar akan sesuatu. Mata Retno begitu indah.  Biru, bulat, seperti menampakkan kilat sinar. Ia yakin bahwa kecantikan Retno bisa jadi infinit. Bukan hanya fisik, tapi tutur dan tingkahnya ikut melukis keindahan. Tak heran ia sering mendengar kabar bahwa perempuan di depannya berhasil memikat banyak hati lelaki kampus.

Memikirkan itu, Fathan pun mengerutkan kening.

Mengapa perempuan satu ini belum juga memilih kekasih? Apa dia tipe perempuan yang pemilih atau bagaimana? Mendengar celotehan teman-teman kampusnya selama ini, seharusnya perempuan ini sudahlah memiliki kekasih.

Tapi, itu tak jadi masalah. Fathan menganggap hal itu menjadi sebuah anugerah. Berkat Retno jugalah klub teater asuhannya tidak sepi akan peran laki-laki. Sehingga semakin perempuan ini memberi batas, semakin banyak lelaki yang jatuh penasaran dengannya.

"Oh, ya." Retno tiba-tiba berceletuk.

Lamunan Fathan seketika buyar.

"Apa?"

"Bagaimana dengan cerpen kamu? Diterima, nggak?" Tanyanya sambil menunjukkan segaris senyum. "Cerpen yang kamu tunjukkan sama aku waktu itu, lho. Tiara, judulnya."

Sunyi menyisir beberapa detik. Sejurus kemudian, Fathan menunjukkan seringai khasnya.

"Aku belum cerita sama kamu, ya?"

Entah mengapa Retno menjadi tak sabar mendengar kalimat selanjutnya.

"Cerpenku yang berjudul Tiara diterima sama salah satu majalah," ucapnya semangat, "ini suatu pencapaian besar. Baru pertama kali aku mengirim cerpen ke sebuah majalah dan... Wow, nggak disangka, langsung diterima."

Retno tersenyum lagi. Lesung pipinya muncul malu-malu. Usahanya tidak sia-sia. Baguslah. Fathan senang, dirinya pun juga. Retno senang jika momen-momen seperti ini hadir. Oleh karena itu, ia merasa berhutang besar kepada Hanna. Sangat.

"Serius? Selamat, ya. Saat pertama kali aku baca cerpenmu, aku sudah yakin bahwa cerpenmu layak dibaca banyak orang," timpal Retno sekenanya.

"Ya, terima kasih," Fathan mengangguk singkat, lalu berkata, "sepertinya kebahagiaan ini patut dirayakan. Kamu sudah makan siang?"

Fathan, seorang ketua klub teater kampus. Cerdas, tegas, dan tampan. Tapi yang membuat dirinya dan banyak perempuan heran, lelaki ini sempat dikabarkan belum pernah sekalipun berpacaran.

Apakah itu benar? 

Dan, memangnya, apakah itu mungkin?

"B-belum," akhirnya kata itulah yang bisa Retno ucapkan.

"Ya sudah, hari ini aku traktir kamu makan baso depan kampus, ya? Sebagai tanda ucapan terima kasih juga."

Retno terkadang berpikir, apakah Fathan juga pernah bertanya-bertanya suatu hal tentang dirinya? Apakah Fathan pernah bertanya-tanya, mengapa dari sekian banyak lelaki yang jatuh cinta pada Retno, perempuan itu tetap tidak menjatuhkan pilihan?

Apakah pertanyaan itu tidak pernah terlintas sekali saja di benak Fathan?

"Ya sudah, kita jalan sekarang, ya, perutku sudah berisik sejak tadi," Fathan bangkit berdiri, sambil melampirkan sebuah senyum geli.

Retno ikut beranjak, mengikuti punggung Fathan yang perlahan keluar dari studio.

Seiring mereka berjalan, batin Retno belum bisa bungkam.

Apakah semua itu belum terlihat sangat jelas di mata lelaki satu ini?

***

Retno Wulandari: Han, terima kasih banyak, ya. Berkat kamu cerpen pertama Fathan bisa lolos. Dia terlihat senang banget, Han. Aku berhutang banyak sama kamu. Terima kasih, ya. :)

Hanna mengetuk jari-jarinya di meja. Alisnya bertaut. Matanya menghunus layar laptopnya. Cappuccino di sampingnya belum juga tersentuh.

Ia melenguh.

Merasa bingung, ia mengambil print out naskah cerpen yang akan masuk dalam majalah kantornya edisi bulan depan.

Dan, benar, kan. Siapa sih Fathan yang disebut-sebut sahabatnya itu?

Hanna kembali melirik ke layar laptop, lalu mengetikkan sejumlah balasan.

Hanna V: Sama-sama, Sayang. Lagipula cerpen dia benar-benar bagus. Menarik. Semua anggota redaksi juga setuju. Tetap semangatin dia untuk menulis, ya. Jadi, aku ditraktir kapan, nih? XD

Sent.

Hanna mengempaskan tubuhnya di badan kursi. Kejanggalan ini sebenarnya nggak perlu dipusingkan. Asalkan Retno sudah memberi kabar begitu, ya pasti semuanya telah berjalan lancar.

Namun, rasa penasarannyalah yang belum menyurut sejak tadi.

Siapa Fathan? Mengapa Retno menyebut nama penulis cerpen di depannya dengan sebutan Fathan?

Hanna mengurut keningnya yang pusing. Ia akhirnya menyambar cappuccinonya lalu mereguknya pelan. Ia mengecek handphone. Tuh, kan. Lagi-lagi kekasihnya telat. Sudah dua puluh menit ia menunggu di sini dan batang hidung kekasihnya belum juga nampak.

Sebenarnya ia sedang berada di kafe milik kekasihnya, Barry. Setiap makan siang atau ingin bertemu, mereka berdua selalu sepakat untuk bertemu di sini. Karena, kafe itu terletak tidak jauh dengan kantor Hanna berada. Itu pertanda yang bagus. Jadi tak perlu sering-sering bagi mereka untuk saling menyatakan kalimat 'aku rindu'.

Ya, Hanna memang tidak suka hal-hal yang berbau romantis. Satu-satunya hal romantis yang ia suka hanyalah puisi-puisi Batara Surya, dan...

Cerpen di depannya.

"Hai, Han. Udah nunggu lama, ya?"

Suara berat itu muncul tiba-tiba. Hanna terdiam. Satu jenis suara yang sudah ia hapal. Ia pun mendongak, mencoba memastikan bahwa tebakannya tidaklah salah.

"Barry?"

Sesosok pria berpostur tubuh tinggi berdiri di hadapannya. Dan seperti biasa, dengan rambut kekasihnya yang dibiarkan acak-acakan, Hanna sukses dibuat tersenyum lebar. Boleh juga penampilan kekasihnya saat ini. Kaus polo putih polos, jeans warna gelap, dan jam tangan kulit berwana hitam.

"Sedang sibuk banget, ya, Pak Manajer? Sampai telat dari waktu ketemuan sama pacarnya," celetuk Hanna jahil.

Barry menarik kursi, lalu duduk dengan segera. "Maaf, Han. Tapi beneran, aku sibuk banget hari ini."

Hanna mengiyakan saja ucapan kekasihnya satu itu. Iya kembali (sok) sibuk menilik layar laptopnya.

"Kelihatannya kamu juga lagi sibuk, ya, Han?"

Yes, batin Hanna. Salah satu hal yang ia suka dari Barry ialah ia tanggap dalam menangkap apa maksud Hanna.

"Hm, iya, Bar. Ngurusin cerpen buat majalah bulan depan," jawabnya dengan mata yang masih tertuju ke layar.

"Batara Surya lagi?"

Hanna tersenyum. Satu hal lagi yang ia sukai dari Barry ialah lelaki satu itu mengenali pekerjaannya dengan baik. Buktinya, salah satu penulis puisi yang sering masuk ke majalah kantornya saja dia tahu namanya.

"Kan aku bilang cerpen, Bar." Hanna menatap mata kekasihnya. "Yang kamu sebut itu kan yang sering ngirim puisi."

Barry tergelak singkat. "Jadi, siapa lagi penulis yang bisa buat kamu terpikat akan bahasanya?"

Bibir Hanna sudah siap menceritakan segalanya, tapi semua kata itu mendadak tertahan di sana. Ia seketika teringat akan nama penulis cerpen yang Retno katakan tadi.

"Emm..." Hanna mengambil naskah cerpen di sampingnya. "Bar, aku mau nanya sesuatu."

Barry mendelik ke arahnya. "Apa?"

"Kamu kenal nggak, sama seseorang yang bernama..." Hanna menatap mata kekasihnya. "...Fathan?"

Ada sejentik rasa kaget yang menyentil pendengaran Barry. Membuat ia terkesiap, membeku beberapa saat. Napasnya mendadak tak keruan.

Nama itu.

Nama yang ia pikir ia sudah lupa.

Fathan.

Mengapa nama itu muncul kembali?

"Memangnya kenapa, Han?" Ia mencoba relaks.

"Nggak.." Hanna menatap naskah itu. "Temanku bilang penulis cerpen ini bernama Fathan, tapi nama penulis yang tertulis di cerpen ini justru nama kamu."

Barry menelan ludah.

"Benar-benar nama kamu."

Hanna menyerahkan naskah cerpen itu ke dada Barry, membuat Barry tak siap untuk melihatnya.

Mata Barry mengerjap-ngerjap. Ia benar-benar tidak salah lihat.

CERITA PENDEK
TIARA
Karya Barry Yoswara

Semua kepingan memori mendadak berhamburan di kepala Barry. Setiap detik momen miliknya bersama orang itu seketika meresap, menggedor-gedor isi otaknya.

Semuanya. Bagaimana mereka bertemu. Bagaimana mereka saling membuat tawa. Bagaimana mereka saling menyatakan cinta. Bagaimana ciuman pertama itu hadir. Bagaimana hubungan mereka pupus berakhir. Semua hal yang tak ingin ia ingat mendadak berserakan. Dan Barry terpaksa memungutnya satu persatu.

"Bar? Kamu kenal sama Fathan-Fathan itu?"

Barry terdiam. Ia mendongak, lalu perlahan menggelengkan kepalanya.

"Ng-nggak. Aku nggak tahu. Tapi, kenapa dia memakai nama lengkapku, ya?"

Barry menatap naskah cerpen di depannya. Orang itu benar-benar sudah gila. (Otaknya yang gila atau rasa rindu yang sudah menggila?) Barry benar-benar tak mengerti. Ia hanya ingin mencoba lupa.

"Han."

"Ya?"

"Print out naskah ini kubawa pulang, ya?"

Hanna mendelik tajam. "Kenapa?"

Barry tertawa. Pahit. "Aku cuman pengin baca aja. Nama penulisnya saja sama namanya denganku, kan?"

Hanna menatap heran, lalu mengangguk pelan. "Boleh. Aku masih ada print out yang lain."

"Terima kasih, ya."

Barry melemaskan posisi duduknya. Mengatur napasnya yang sejak tadi tak beraturan. Ia menatap naskah di depannya, seraya mencoba memberesi isi kepalanya yang mendadak kacau.

Fathan, rindu memang menjadi setan kecil di antara kita. Saling meninggalkan memang tinggallah satu-satunya jalan. Jalan sempit yang bahkan tak muat kita tempuh. Asal kamu tahu, hidupku juga begitu. Mengingat lupa entah mengapa menjadi siksaan terberat  yang pernah ada bagiku.

Apakah kamu juga begitu?

***

"Selamat ulang tahun, Tiara."

Tiara memejamkan mata. Ah, suara Kak Fathan. Sudah lama nggak bertemu, mendengar suaranya saja sudah terasa cukup saat ini. Tiara terus memejam, seolah mengilhami bahwa suara Fathan tak beda jauh dengan lirik lagu rock kesukaannya.

"Terima kasih, ya, Kak," Tiara menjawab malu-malu. "Terutama... atas kadonya."

Ada jeda di ujung sana, sampai akhirnya Fathan kembali bersuara. "Ah, iya. Kamu sudah melihat kadonya?"

Walau tak ada yang lihat, Tiara mengangguk sendiri. Ia memegang erat majalah yang berisi cerpen buatan Fathan untuknya. "Sudah, Kak. Pulang sekolah tadi aku langsung ke kios majalah dan beli di sana. Hujan-hujanan lagi."

Mereka berdua tertawa.

"Pulangnya aku langsung membacanya. Aku suka ceritanya. Seperti membaca diri sendiri," terangnya menggebu-gebu. "Dan ada rasa bangga juga sih melihat namaku tercetak besar-besar sebagai judul cerpen Kakak." Tiara memandang judul cerpen itu sekali lagi. Tiara. Namanya. Dengan huruf cetak besar.

"Hahaha, bisa aja kamu. Baguslah kalau kamu suka. Aku buatnya semalaman soalnya," jelas Fathan.

"Wah, iya?" Tiara memasang wajah terkejut. "Cerpen Kakak ini benar-benar luar biasa aku bilang. Karakter, setting, plot cerita, semuanya tertata dengan rapi. Sepertinya ini menjadi kado terindah yang pernah aku terima, deh."

Ya, sekarang kalian bayangkan saja. Seseorang yang kalian sukai menulis sebuah cerpen tentang kalian, lalu cerpen itu berhasil menerobos redaksi majalah, dan akhirnya cerpen itu hadir di depan mata sebagai kado ulang tahun kalian yang ketujuh belas. Setidaknya itulah yang dirasakan Tiara. Kepalanya serasa ingin meledak. Ia tahu ia tidak biasa begini. Ia tahu bagaimana ia sering bersikap jutek terhadap lelaki. Tapi kali ini? Memang benar-benar hanya seorang Fathan yang mampu membuat garis hidupnya terasa berbeda.

"Ha-ha, terima kasih, Tiara. Kukira cerpen itu akan mengecewakan karena aku nggak biasa menulis cerpen," jelasnya sambil terkekeh, "Ya sudah, aku mau ngurusin naskah teater dulu, ya. Sudah malam juga. Besok kamu sekolah, kan?"

Tiara lagi-lagi mengangguk. "He-em."

"Ya sudah, selamat malam, Tiara."

"Selamat malam, Kak."

Klik.

Tiara melempar handphonenya ke kasur. Tapi tidak dengan majalah di tangannya. Sejak sore ia tidak berhenti membaca cerpen buatan Fathan.

Kak Fathan bilang ini untukku, batinnya berkali-kali.

Ia terus membaca, membolak-balik halaman cerpen itu berkali-kali.

Ya, ini kado darinya untukku. Cerita ini untukku, batinnya lagi.

Tapi, ada sesuatu yang terasa mengganjal. Perasaan jatuh cinta dalam cerita ini terasa aneh. Rasa yang tidak pernah ia kenal. Ia lama-lama makin merasa... Tulisan ini bukanlah ditujukan untuknya.

Tiara menghela napas. Membaca kalimat pertama cerpen di hadapannya.

MERAGUKAN cinta sudah menjadi makanan sehari-hariku sejak bertemu kamu. Tapi anehnya, rasa ragu ini yang membuatku cinta. Meragukan rasa ini untukmu membuat aku mengingatmu setiap waktu.

Tiara membenarkan posisi duduknya. Lagi-lagi terasa ganjil. Sekelebat ada makna tersembunyi yang tak sengaja tercerabut dari akarnya.

Tiara memperhatikan judul cerpen itu lagi.

Tiara.

Namanya.

Ia memperhatikan nama penulis di bawahnya.

Barry Yoswara.

Bukan namanya, bukan juga nama Fathan.

Tiara mengerutkan alis. Ia terus menatap kedua nama itu, sampai sebuah pemikiran menghadang benaknya.

Ia menatap nama Barry Yoswara yang tercetak di sana. Seketika, dadanya terasa sesak. Air mata menggenang di pelupuk. Sesuatu telah menamparnya. Membuat ia sadar, bahwa nama itulah yang seharusnya dicetak lebih besar dibandingkan namanya.

Nama itu lebih cocok menjadi judul cerpen itu dibandingkan namanya.

Tiara menutup majalah di depannya. Matanya terbelalak. Ia tahu, tapi ia tak mau memahaminya. Kado ini bukan untuknya. Tulisan ini ditujukan bukan untuk dirinya. Kado ini memiliki pemilik lain. Pemilik yang lebih pantas menerima ini semua. Lewat cerpen ini, Fathan berbicara pada seseorang. Dan itu bukan dirinya. Ia berbicara... Kepada pemilik kado ini.

Tiara memeluk lutut. Ia bukanlah pemilik kado itu. Seharusnya ia menangis, tapi air matanya tidak jatuh juga.

Tiara meringis. Hujan kembali menggeledah malam. Dingin. Membuat tangisnya beku tak mau jatuh.

Pemilik kado ini pastilah sedang menangis haru di luar sana, karena ia telah dicintai dengan takdir yang tidak sebagaimanamestinya.

Berbanggalah ia, Barry Yoswara.

***

(Hujan menggeledah malam, dan Barry masih sibuk menangis sendiri)




Catatan:
Diikutsertakan dalam #KuisUltah @bellazoditama & @Kopilovie. Sebuah pengalaman hebat menggabungkan tokoh Fathan, Hanna, Retno, Tiara, dan Barry dalam sebuah cerita.
Selamat ulang tahun! :)















Minggu, 25 Mei 2014

Beda


PARAGRAF yang kutulis ini sepertinya terlalu simpel untuk menggambarkan rumitnya kisah kami. Mereka bilang, sangat mustahil bagi kami untuk bersatu. Bayangkan saja, seorang dokter anak seperti aku bisa jatuh cinta dengan seorang penyanyi jazz di kafe-kafe. Orang-orang berkata, itu sudah petaka. Perbedaan jelas-jelas merupakan jurang pemisah di antara aku dengannya. Tetapi, kami masih kukuh bertahan dengan mengatasnamakan titel cinta. Ibaratnya, aku adalah laut yang tenang, sedangkan dia adalah latte yang menunjukkan gejolak buih. Berbeda, tapi kami masih sama-sama air. Aku menenangkan, sedangkan dia menghangatkan. Betapa sempurnanya perbedaan itu, bukan? Tetapi, aku ingat bagaimana akhirnya kami mengalah kepada takdir. Di sebuah kafe, kami sama-sama berikrar 'aku tak mau tenggelam dalam lautmu lebih jauh tanpa pelampung' katanya, sedangkan aku, 'aku tak mau larut dalam lattemu jika tak pernah bisa dicicipi'. Kami tahu. Kami tak pernah bisa berlanjut. Oleh karena itu, aku tak kuasa meluruhkan air mataku saat ia menyanyikanku sebuah lagu jazz berjudul 'Please Don't Talk About Me When I'm Gone' dari Billie Holiday. Sungguh, suaranya saat itu sehangat latte. Dan air mataku yang jatuh pun terasa asin, seperti laut. Hal itu saja sudah terdengar berbeda, bukan, menurutmu?







Catatan:

Paragraf ini diikutsertakan dalam Give Away Interlude @_nikmal. Selain memang tertarik sama Interlude, Give Away ini juga membuat saya tertarik karena ditantang untuk membuat sebuah paragraf bertemakan Kafe-Jazz-Latte-Laut. Prosesnya cepat, dan inilah hasilnya. :)

Minggu, 18 Mei 2014

[FF Cinta Pertama] - Ari, Cinta Pertamaku


TIDAK semua orang mampu mengingat bagaimana cinta pertamanya bermula. Tetapi, aku ingat betul perihal satu itu.

Ari,

cinta pertamaku.

Pertemuan pertamaku dengannya bisa dibilang ajaib. Aku menemukan dirinya saat aku sedang mencoba membuka mata. Konyol, kan?

"Bangun, Cantik. Ada mimpi indah lain yang harus kamu lihat."

Suaranya. Untuk pertama kali, suara itu terdengar amat sejuk. Serak nyaris habis, tegas, dan terasa menggoda. Hatiku runtuh akan gemanya.

"Namaku Ari. Anggap aku kekasihmu untuk beberapa waktu ke depan, ya?"

Kekasih. Kami baru kenal, tetapi dia sudah bilang bahwa ia kekasihku. Kenyataannya, dia benar-benar memperlakukanku layaknya seorang kekasih. Pelukannya tak pernah lepas melingkar di pinggangku. Ia menjagaku setiap waktu, dari mataku terbuka sampai terpejam lagi. Sampai-sampai, aku dibuat cinta. Aku bahkan menganggap bahwa aku, dia, dan tempat kami berada merupakan rumah paling nyaman yang pernah ada.

Hingga membuat aku tak pernah mau keluar dari sana.

"Dunia nggak seburuk yang kamu kira, Cantik," ucapnya sambil menyuapiku makan. "Ada kalanya kamu harus keluar. Semuanya telah menunggu kamu."

"Nggak," gelengku, "selama ada kamu di sini, rumah ini sudah menjadi surga buatku."

Aku tahu kamu kelimpungan menghadapiku. Setiap bicara urusan dunia, kamu terus disambut dengan aksiku yang cemberut memeluk kaki.

"Aku nggak mau pisah sama kamu, Ri. Nggak mau," rutukku.

"Kemungkinan berpisah itu pasti ada, Cantik. Ada sesuatu yang harus kita tebus dari sebuah kasih sayang."

Pelukannya menghangat. "Kamu akan menemukan banyak sekali 'aku' di luar sana. Percayalah."

Aku hapal perkataan itu di luar kepala. Namun, bukan jaminan bahwa aku memahaminya. Jadi, wajarkah bila saat itu tiba, aku masih belum bisa merelakan apa yang harus aku tebus?

"Pecat aku sebagai kekasihmu, Cantik."

"Justru aku mau naikin jabatan kamu, Ri."

"Kita harus berpisah. Waktu sudah bilang begitu."

"Persetan dengan waktu. Aku mau hidup di dunia tapi harus sama kamu. Wajib."

Puncaknya, rumah kami pun digusur. Aku dan Ari dipaksa pergi. Aku sudah mengejang dan menangis. Sedangkan Ari hanya bisa terdiam sambil mengeratkan pelukannya di pinggangku.

Tapi, apakah kalian tahu, apa yang diucapkannya saat kami pada akhirnya berhasil keluar dan menghirup napas berdua di dunia?

"Selamat tinggal, Cantik. Aku menyayangimu."

Dan... Ia melepaskan pelukannya. Pelukan yang selama ini membekapku. Aku menjerit. Aku belum siap. Ini bukanlah hal yang sanggup kutebus. Sama sekali bukan.

Tetapi, memang di situlah akhir ceritanya. Sejak saat itu, aku tak pernah bertemu dengan Ari. Kisah itu tinggallah menjadi dongeng cinta yang terus mendengung di benakku.

Kini, aku sudah berada di depan tempat persinggahan terakhirnya. Orang tuaku bilang ia dikubur di sini. Dan keterlaluan tidak, jika aku baru mengunjungi dia lagi setelah sekian lama aku hidup?

Aku memandang sepetak tanah yang kini berada di hadapanku. Tujuanku ke sini tak lebih dari sekadar ingin memberi laporan kecil kepadanya.

Ari,

Terima kasih atas setiap detik pelukan yang pernah kamu beri kepadaku. Hal itu merangkum banyak cinta. Dunia bukan lagi suatu hal yang aku takutkan. Itu semua berkat kamu.

Aku rindu hangat pelukanmu, Ri. Sungguh.

Terakhir, apakah boleh aku membalas ucapan terakhirmu yang belum sempat aku ucap?

Aku tersenyum kecil.

Aku juga menyayangimu,

Ari,

Sang Plasentaku.


***

497 kata, tidak termasuk judul dan catatan di bawah ini.

Diikutsertakan dalam kuis flash fiction cinta pertama oleh @redcarra & @stiletto_book