Halaman

Kamis, 26 Januari 2012

Air Mata di Hari Merah

Aku tak suka awan hitam. Aku tak suka mendung. Aku tak suka petir. Semuanya. Semua yang berhubungan dengan hujan, sangat aku benci. Termasuk, satu hari yang rutin datang setiap tahun.


...Imlek.


Dimsum

"Ibu sudah buatkan dimsum, sayang." ucap Mei itu sambil meletakkannya dimeja yang berukuran persegi panjang. Yang selalu diduduki oleh 4 manusia. Aku, Ayah, Mei dan setan kecil.

Wajah mereka tampak bahagia, tetapi aku tidak. Bibirku mengatup. Diam. Aku yang pegang kunciku ini. Segera mereka melahap makanannya, tetapi aku hanya mengaduknya, menghancurnya, membiarkan dia terkena angin.

"Oh iya, sebentar lagi Imlek. Nanti rumah ini kita hias, yuk!" seru Ayah dengan semangat. Matanya yang sipit terbuka sedikit, walau tetap terlihat sipit. Begitu juga yang lain. Kecuali, aku. Topik yang selalu dibahas setiap tahun.

Aku benci dimsum.



Angpau


"Sebentar lagi, Nenek akan datang. Sambut dengan baik, ya!" seru Mei dengan semangat. Ayah hanya mengangguk sambil membetulkan lampion yang bergoyang.

Sedangkan aku, masih membeku dipojok ruangan.

"Ayah, Nenek datang!" Feng berteriak sembari menunjuk mobil merah yang datang. Menunggu orang yang turun dari sana. Ya, Neneknya. Tapi bukan Nenekku. Sama sekali bukan.

Segera aku memasuki kamar, dan kembali menguncinya. Membanting tubuh ketempat tidurku, menyumbat telingaku dengan earphone. Aku menjadi orang tuli selama mereka datang.

"Feng, lihat Nenek bawa apa?" tanyanya menggoda. Walaupun sayup-sayup suara itu masih masuk ketelingaku. Aku menaikkan volume lagu yang sedang bersenandung. Membiarkan lagu ini menguasai telingaku ini.

"Angpaauu!" Feng melompat kegirangan. Kaki mungilnya menghentakkan lantai yang terbuat dari kayu. Teriakannya memantul kesegala arah. Bodohnya, aku tetap mendengarnya.

Aku mematikan lagu. Sejauh apapun, suara itu masih menyusupi indraku. Mematikan suasana. Aku hanya memeluk bantal. Menatap hujan. Dan mendengar perbincangan mereka. Tak ada angpau untukku. Bahkan mereka, tak menanyakanku sedang dimana.


Aku benci Angpau.


Pemakaman

Aku mengelus batu itu. Menghapus segala kotoran yang menempel dinamanya. Mencabut-cabuti tanaman-tanaman pengganggu disana.

Tak ada payung, tak ada penghalang kepalaku. Hujan terus membanjiriku. Rambutku. Kemeja hitamku. Semuanya. Termasuk, mataku, yang juga membanjir. Hujan itu tak sebanding dengan kebahagiaan mereka. Mereka yang sedang bersulang dan bertukar angpau.

"Ibu..."

Aku kembali menangis. Aku benar-benar tidak sanggup untuk hidup. Tetapi, jantungku masih terus berdenyut. Darahku masih mengalir. Namun, hati ini sudah mati, Bu.

"Damar kesini lagi, kan, Bu? Menengoki Ibu?" Aku berbincang dengan kesunyian. Tak ada jawaban. Yang ada hanya suara gertakan petir. "Pokoknya, setiap Imlek, Damar akan kesini. Menemani Ibu. Ya?"

Aku tak tahan lagi. Keluhan hidupku sudah beribu-ribu membendung. Membayangiku selama empat tahun terakhir, setelah kepergian Ibu. "Aku berbeda dengan mereka semua, Bu. Aku hitam, Mereka putih. Mataku terbuka lebar, mereka selalu memicing. Sedangkan Ayah, sibuk dengan mereka, keluarganya yang baru," Aku segera menyeka air mata. Walau air itu terus turun kembali. "Dan... Ayah rela keluar Islam karena mereka, Bu."

Aku menyadari bahwa hidupku sekarang hanyalah kekosongan. Aku sudah tidak punya siapa-siapa. Merayakan Idul Fitri dengan sepi, merayakan Imlek juga merasa sepi. Hari-hari itu hanya diisi bersama Ibu, sungguh. "Tapi tak apalah, aku lebih bahagia mirip dengan Ibu,"

Wajahnya menerawang diotakku. Ibu mirip sekali denganku. Aku bernapas lega. Aku bangga, Bu.

Aku segera merangkul nisannya dan memeluknya erat.


"Tunggu aku ya, Bu."

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar