Halaman

Rabu, 23 Juli 2014

Tersesat


KETIKA semuanya berubah berujung pahit, aku diserang pemikiran bahwa aku merindukan kamu yang dulu.

Kini aku sedang berada pada malam hari jadi kita yang ketujuh belas bulan. Di hamparan langit yang seolah memaki, aku kini mencoba maklum untuk yang keseribu kali. Memaklumi kesibukan kamu. Memaklumi cita-cita kamu. Sampai-sampai... Ya, memaklumi ketidakhadiran kamu di sini, di sampingku.

Sudah terhitung lima kali aku merayakan hari jadi kita tanpa keberadaan kamu. Aku lagi-lagi mencoba mengerti. Kamu sedang mengejar skripsi kamu, kamu sedang sibuk seharian penuh, kamu pasti lagi mendamba-dambakan akan seindah apa jika kamu nanti sukses menjadi pengacara, dan membayangkan kalau kamu berhasil membuat orang tua kamu bangga.

Aku menatap bintang di atas sana.

Berpikir.

Mencoba mengilhami bahwa jutaan titik di langit sana akan menuntunku dalam menyusuri kehidupan kamu yang sekarang.

Tetapi mengapa... Kini itu terasa sulit?

Apa memang benar ucapan kamu saat terakhir kita bertengkar malam itu adalah jawaban sebenarnya?

"Kamu menuntut terlalu banyak dari aku, Jo. Sedangkan masih banyak yang perlu aku urusin sekarang. Bisakah kamu mencoba mengerti sedikiiit, saja?"

Perkataanmu membuatku menjelajah terlalu jauh. Sampai aku kehilangan arah. Tersesat. Tujuanku limbung. Bahkan aku menjadi tak tahu apa yang sedang aku cari.

Yang padahal, sebelumnya hal itu sudah kuketahui pasti.

Aku ingin mencari kamu yang dulu, dan mencoba menerima kamu yang sekarang.

Aku kembali terdiam. Bahkan pemikiran barusan lagi-lagi membuatku terpental melesat jauh.

Dari kamu. Dan juga kita.

Sungguh, apakah aku bisa menemukannya..?


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Nyata





LIMA belas menit sebelum aku tampil di atas sana.

Tanganku berkeringat. Peluhku membanjur dengan deras. Kudekap mic dengan gemetar, seraya bibir pucatku yang terus merapal berbagai macam doa.

Di sela-sela detik yang terasa seperti neraka, kalimatmu di telepon tadi sore terngiang di telingaku.

"Good luck, Key. Kamu udah latihan semalaman, lupain aja hal-hal yang buat kamu takut. Aku percaya kamu bisa. Ya?"

Aku tersenyum getir. Kamu memang satu-satunya orang yang mahir mencairkan kebekuan yang ada. Walaupun kamu nggak berada di kota ini, kamu terus memberikan semangat yang kapasitasnya kuanggap non-stop. Lewat skype, aku berlatih menyanyi di depanmu serasa orang konyol. Tetapi kamu tetap setia mendengar. Dan selalu menyelipi kalimat yang membuat segalanya terasa lebih mudah.

"Suara kamu itu serenade nina-bobo paling indah yang pernah kudengar, tau?" Ucapmu suatu waktu.

Sampai akhirnya, waktu itu tiba.

Aku melangkah ke atas panggung, dan memosisikan mic dengan siaga. Lampu panggung menyorot diriku, yang sebelumnya kuanggap diriku sebagai manusia kasatmata di dunia ini.

Aku bukan siapa-siapa.

Tapi kalimat-kalimatmu yang terngiang membuat keberadaanku menjadi nyata.

Aku mendongakkan kepala, seiring dengan musik yang mulai melantun.

Aku mulai bernyanyi.

Dan mataku menangkap kehadiranmu.

Aku tersenyum, rasa yakin di dalam diriku makin membuncah. Kalimat-kalimatmu bukan lagi ilusi semata, karena kini kamu menyaksikan aku yang menjadi nyata.

"Walaupun aku nggak menonton kamu langsung, kamu harus percaya bahwa aku selalu ada di setiap embusan napas kamu. Kapanpun itu."

Dan aku tahu, hal itu memang benar adanya.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku