Halaman

Jumat, 13 Januari 2012

Dongeng Papua dalam Rahim

Musim hujan yang dingin menghiasi Papua. Rintik-rintik membasahi rumah-rumah warga disana yang menantikan kebahagian. Termasuk rumah yang berwarna merah itu. Didalamnya, seorang wanita sedang duduk termenung didekat jendela. Ia memandang hujan yang menurutnya magis. Hujan juga menghipnotis dirinya untuk menangis. Merintikkan genangan air dari matanya yang gemerlapan.

“Asal kau tahu, aku sangat menyesal,” ia menyeka air matanya dengan tangannya sendiri. Sekali-kali ia mengecek telepon genggamnya –memastikan apakah ada telfon atau pesan yang tertinggal dari suaminya. Tapi yang ada hanya sebuah kenihilan. “aku menyesal telah dinikahi dia,” Dia semakin menangis. Air dimatanya serasa tak ingin kalah dengan hujan yang melanda.

“Kau tahu? Dahulu ia bilang akan membahagiakanku, keluargaku, bahkan menjanjikan Papua,” air terus menyeruak dari matanya. Kini, mata wanita itu tampak membanjir. “Tapi keadaan kini yang kurasa. Papua menjadi lebih parah karenanya,”

Wanita itu menenggelamkan kepalanya kedalam dekapannya. Mungkin dia malu kepada hujan. “Aku bodoh, aku bodoh.” Dia terus menyalahkan dirinya sendiri. Mengacak-acak rambutnya yang semakin kusut. “Dan dia lebih bodoh,”

“Kita saling tahu. Kita tahu Papua kaya. Tapi kenapa kau ikut dalam proyek pengambilan tambang?” tangisnya semakin menjadi-jadi. Awan hitam yang tergantung pun juga ikut iba. “Kau tak pulang tiga bulan, tanpa kabar, kau hanya meninggalkan kabar bahwa tambang Papua semakin dangkal, itu saja.”

Dia menghantam meja dengan tangannya yang kecil. Wanita itu tak merasakan betapa sakitnya. “Sekarang, aku setuju Papua menyendiri. Aku setuju Papua merdeka,” ocehannya mulai menerawang masa depan. “Papua terlalu dikucilkan, Papua terlalu diperbudak, Papua sangat memusingkan,” Dia menghapus air matanya yang turun membasahi pipinya. Segera ia menatap langit. “Papua butuh merdeka.”

***

Wanita itu menghela napas berat. Dia membagi napasnya yang ia endus dengan orang lain. Menangisi Papua bukan salah satu penyelesaian masalah. Dia mengelus perutnya yang kian membuncit –yang merindu akan seorang manusia yang membuatnya.

Wanita itu berusaha tersenyum, membiarkan hujan yang tak kunjung reda. Dia membelai halus perutnya. Walau tangisan masih ingin menyeruak diujung mata. “Jika kau besar, jangan seperti dirinya, ya.”

Dia kembali menangis. Padahal ia sudah berusaha menahannya. “Papua kini sudah hancur Nak, hancur.”

Wanita itu kembali memandang perutnya. Ia tersenyum dalam tangis. “Sejak tadi kau mendengarku, kan? Aku tahu kau sudah bisa mendengar suara lain.” Dia mengelus lembut perutnya tak berhenti. “maafkan Ibu yang meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tak kau mengerti,” bisiknya pelan.

Wanita itu memandang langit gelap yang ada di Papua. Musim hujan memang sedang menjadi temannya, mungkin. Ia hanya berharap, Papua bisa menjadi kota yang dapat membahagiakan dirinya, dan pangeran kecilnya.





“Cepatlah besar, Nak. Papua butuh kamu untuk mengubahnya…”


Selesai


P.S. DALAM MENYEMARAKKAN #SEBULANSEPULUHTUPLISAN BERTEMA PAPUA. :D




Tidak ada komentar:

Posting Komentar