Halaman

Minggu, 26 Februari 2012

Kolaborasi Mimpi (1)

Sebenarnya post ini adalah naskah sayembara yang tak jadi kukirim. Karena... saya salah membaca kriteria dan syaratnya! :]. Awalnya, naskah ini akan saya kirim untuk 'Andrea Hirata Song Book', namun... ternyata cerita itu harus berdasarkan kisah nyata. Bukanlah fiksi. *melengos*. Jadi, daripada naskah ini mematung di dokumen tanpa ada yang baca, saya post disini. Karena terlalu panjang, saya bagi menjadi beberapa bagian.

Selamat... membaca!

***

Secercah bayangan selalu mengikuti langkah mereka. Bayangan yang tak pernah mengeluh kesah atas keringat yang terus membanjir. Bayangan yang menjadi teman berkelana yang paling setia bagi mereka. Bayangan tak pernah menolak ingin dibawa kemana oleh mereka. Bayangan selalu membuyuti dan pasrah walaupun akan diajak ke tempat yang paling menjijikan.

Bayangan tak pernah menolak jika ditakdirkan harus mengikuti manusia. Sekalipun manusia itu beruntung atau tidak, bayangan tetap harus menjalankan tugasnya.

“Kak, kita akan berhenti kapan?” celoteh adiknya. Ia terus menyeka keringat yang mengguyur tubuhnya basah. Mengangkut karung beras yang berisi sejumlah sampah bukan suatu hal yang mudah bagi seorang bocah kecil.

Kakaknya memandangnya letih. Berjalan dan memunguti sampah yang ada memang sangat melelahkan. Tapi apa boleh buat, ia tidak bisa menolak takdir yang sudah menghantam hidupnya keras. Dia juga tidak boleh menyesali hidup. Dia diutus untuk ke dunia, bukan karena niat sia-sia. Dirinya yakin, Tuhan memiliki alasan yang sangat kuat untuk dirinya agar hidup.

“Sedikit lagi. Sampahnya juga sedikit lagi. Jika kita tak mau ditampar Bang Boni,” cetus kakanya pelan. Matanya menerawang wajah Bang Boni yang marah bila dia dan adiknya tidak bisa mengumpulkan sampah yang lebih banyak. Namun memang Bang Boni harapan hidupnya saat ini. Bila dirinya tidak menemukan Bang Boni, dia yakin dia tidak bisa terus melangkah sampai sekarang.

Adiknya mengernyitkan bibir mungilnya. Menghela napas berat dan menaikkan karung ke pundaknya lebih kuat.

Sementara kakaknya menyunggingkan senyum kepastian. Merangkul adiknya dengan rasa bangga yang membahana. Jika dunia bertanya siapa bocah-bocah yang mengerti arti kehidupan, mereka akan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan melambai-lambai agar lebih jelas.

Karena arti kehidupan tidak terbatas, sementara hidup terbatas. Namun keterbatasan hidup bukanlah dinding penghalang untuk terus mencari. Mencari makna dan tujuan mereka terlahir di dunia.

Bayangan mereka lagi-lagi tersenyum. Terbahak kecil melihat dua siluet yang merangkul satu sama lain. Dan merasa bangga menjadi bayangan jejak bahagia mereka.


***

Manusia lain selalu membuang sisa.

Namun mereka selalu memanfaatkan sisa.

Dibawah matahari yang akan segera menutupi permukaan, mereka tampak sibuk dengan urusan masing-masing.

Damar sedang sibuk dengan botol mineral bekas. Membuat lubang di sana dan menancapkan potongan kardus. Membuat baling-baling dan membuat sayap. Membayangkan sedikit harapan yang akan sangat membekas.

Sementara Dio bercengkrama dengan kardus yang lebih besar. Mengerutkan kening dan memutar otak sejenak. Sketsa-sketsa bangunan bertumbuk menjadi satu di benaknya. Tak jarang ia menampilkan senyum jika menemukan ide yang fantastis untuk dipraktekkan.

Jemari Dio tampak lihai menggunakan pisau bekas. Pisau lipat yang sudah berkarat tanpa menghiraukan bahwa ada bibit tetanus di sana. Dengan tenaganya, dia berhasil memotong kardus itu menjadi beberapa bagian dan merangkainya perlahan.

Sedangkan Damar sibuk memutar baling-baling pesawat mainan barunya. Berandai-andai bahwa terbang ke langit sangatlah indah. Menembus awan-awan dan berada lebih tinggi dari burung-burung. Mengenakan seragam pilot yang gagah. Bertanggung jawab atas kehidupan orang lain yang dititipkan padanya.

Damar bangkit berdiri. Berputar dan berlari membawa pesawat mainannya. Membiarkan baling-baling pesawatnya diterpa angin kencang. “Pesawat Damar Indonesia akan melaju kencang menuju benua Eropa!” teriaknya bahagia. Kakinya melompat gembira. Menyentuh bumi tanpa alas kaki. Mengajak dunia untuk bersorak sorai bersamanya. Mengajak angin yang menghempas untuk menari bersamanya.

Dio memicingkan mata. Siluet adiknya menari-nari di bawah senja. Memancarkan senyum dan radar mimpi yang akan terwujud. Dia membuang peluhnya puas. Dia menepuk tangannya keras dan meneriakkan nama adiknya.

“Damar!”

Tarian itu berhenti. Damar membalikkan badan dan menatap sumber suara yang memanggil namanya. Kakaknya berada di samping sebuah bangunan berbentuk kubus. Bangunan yang menyerupai tempat berteduh. Bangunan yang memiliki sebuah atap. Bangunan tempat berlindung. Rumah! Dia memiliki rumah!

Damar berlari-lari kecil dengan bibir yang merekah layaknya bunga. Menuju dekapan peluk yang telah disiapkan Dio. Memeluk kakaknya erat dengan butir-butir air mata turun tanpa diundang.

“Kita memiliki rumah, Kak?” tanya Damar dengan tangisan yang masih terisak. Baru kali ini ia menangis karena bahagia. Segera ia memasuki rumah barunya tak sabar. Senyumnya tak berhenti mengembang. Dia terkagum-kagum walau rumahnya berisi tanpa perabotan. Dia tidak mengeluh walau rumahnya terbuat dari kardus.

“Walaupun sempit, setidaknya kita tidak perlu tidur di depan ruko Pak Raja, kan?” Dio merangkul adiknya. Senyumnya tak berhenti mengempis. Rumah memang menjadi dambaannya sejak harus hidup berdua dengan adiknya. Sejak mereka ditinggal maut oleh kedua orangtuanya.

“Dan kita tidak akan diomeli Pak Raja lagi!”

Dio tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Melihat adiknya bahagia itu sudah lebih dari cukup. Mungkin ini jawabannya. Jawaban mengapa ia masih harus melanjutkan hidup. Jawaban mengapa ia tidak ikut bersama orangtuanya ke alam sana. Ya, dia masih memiliki satu malaikat yang harus dilindungi, Damar.

Dio membuang napas panjang. Tak henti ia mengucap syukur. Tuhan selalu menyisakan bahagia bagi makhluknya. Kebahagiaan memang bukan harta. Namun adalah waktu di mana manusia masih memiliki kesempatan untuk bersyukur.

Dan dia hanya bisa berharap agar hujan tak akan datang. Menghancurkan rumahnya yang tidak tahan air.

Bersambung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar