Halaman

Selasa, 14 Februari 2012

Aderone

“Nama agamanya apa?”

“Aderone,”

“Umatnya berapa banyak?”

“Dua orang,”

“Kitabnya?”

“Linald,”

Tawa melepas dan beradu dengan udara. Mereka tertawa karena dialog yang terus diulang-ulang. Dialog yang akan menghantam telinga mereka dengan konyolnya suatu saat nanti. Walau mereka tak tahu, bila diketahui para ulama, pendeta, biksu dan lainnya akan segera dihajar habis-habisan.

“Hahaha, ini konyol banget!” sunggingan senyum belum bisa melarikan diri dari bibir manis Adellina. Dia terus terbahak-bahak tanpa jeda. Tak heran pita suaranya mengeluh kehausan.

“Kenapa? Ini itu romantis. Bila ditanya agama kita apa, jangan menjawab Islam atau Kristen. Tetapi, Aderone! Adellina dan Ronald!” Ronald terkekeh dengan puas. Ide gilanya berhasil membuat kekasihnya juga ikut larut dalam sebuah drama parodi buatannya. “Tapi ingat, Aderone hanya untuk kita berdua. Jangan pernah sekali-kali berdakwah tentang Aderone!”

Mereka terpingkal lagi. Seolah tak ada habisnya. Tak akan berhenti. Hanya karena satu ide gila: Aderone.

“Nanti, bila aku akan melamar kamu, jangan bilang kepada orangtuamu, bahwa kita tidak seiman. Karena ada Aderone yang menjadi saksinya,” lanjut Ronald.

“Sip! Kitab Linald juga akan segera meluncur! Dengan ajaran-ajaran yang khusus dibuat hanya untuk dua orang pengikut, kita.”

Mereka saling melempar senyum. Kebahagiaan tidak akan pudar di antara mereka. Kebahagiaan muncul menggantikan masalah yang menggelimuti mereka. Beda iman.

Jemari-jemari Adellina terus menari dalam keyboard laptopnya. Sebuah kata-kata yang akan dirangkai untuk beberapa surah sudah muncul di otaknya dengan cemerlang.

Tiba-tiba jemarinya merasa kelu. Kaku. Berhenti seketika. Tidak ada suara ketikan. Semuanya hilang. Adellina mengernyitkan kening. Masih ada yang mengganjal.

“Tuhan untuk Aderone itu siapa?”

Sambutan sunyi yang memberikan jawaban.

***

Adellina muncul dari bilik kafe. Membanting pintunya dengan keras. Matanya memancarkan silau dan sangat membendung. Seperti ada yang ingin tumpah dari matanya.

“Maaf, telat.” Suara Adellina terdengar parau saat merebahkan tubuhnya pada sebuah kursi di depan Ronald. Matanya menahan untuk mengatup. Karena sesuatu akan turun dengan derasnya.

“Tak apa, Del. Ada apa sampai kamu menyuruhku untuk datang ke kafe?” Ronald membenarkan posisi duduknya. Alisnya menaik dengan spontan. Telinganya telah dipersiapkan untuk mendengar sebuah jawaban.

Adellina menghela napas berat. Sampai-sampai endusannya dapat terdengar oleh Ronald. “Aku hanya ingin menyerahkan ini,”

Sebuah buku tebal melaju dengan perlahan ke hadapan Ronald. Tertera sebuah huruf yang bergabung disana: LINALD.

“Sudah selesai? Aku tak sabar ingin membacanya! Sungguh!” semangat Ronald menggebu-gebu. Bibirnya merekah dengan indah. Matanya tampak takjub melihat buku yang ada di tangannya.

Air mata beriak dalam ujung mata Adellina. Menuruni tebing pipinya dengan pelan. “Bukan itu, Nald. Bukan itu,”

Bola mata Ronald membesar. Ada sebuah jawaban yang mengapung dengan misteri. “A…Apa?”

“Hubungan kita harus berakhir disini, Nald,” Adellina terisak tangis. Intonasinya mulai kacau ditelan napasnya yang sesak. Air mata tak kunjung berhenti mengalir. “Ini konyol, Nald. Konyol. Sejauh apapun kita mengembangkan Aderone, sejauh apapun kita mengkhayal tentang masa depan kita, itu tak akan merubah satupun!”

Wajah Ronald menekuk heran. Tidak dapat merasakan apakah ini mimpi atau kenyataan. “Kamu bercanda, kan?”

“Orangtua aku tidak akan bisa mengerti! Orangtua aku tidak akan bisa menerima! Ini semua percuma, Ronald. Kita hanya akan dianggap gila!” Nada Adellina menekan pada ujung kalimat. Napasnya meletup tak beraturan. Semuanya hancur berantakan.

Adellina bangkit dari kursinya. Tak ada makanan dan minuman yang singgah untuk meja itu. Yang ada hanya sebuah tangis yang tertera jelas. “Terimakasih atas semua memori yang kamu berikan. Aku hanya bisa mengatakan… maaf,”

Adellina pergi meninggalkan Ronald yang masih ditemani beribu-ribu pertanyaan. Ronald hanya membeku dan merasa bisu. Hanya butir-butir air mata yang dapat menyatakan semua perasaannya saat itu.

***

RONES ayat 3:

Agama penuh cinta, dan sebuah cinta juga penuh agama. Karena jalinan cinta suatu saat akan memiliki sebuah hari akhir.Seperti agama.

Matanya menyapu isi kitab Linald yang dirancang Adellina. Namun itu hanya membuatnya jatuh semakin dalam pada lautan hina. Semuanya terungkap. Agama memang terjalin kuat dengan cinta.

Ayat yang terdapat pada surah Rones inilah yang sangat membekas. Meninggalkan sebuah jejak yang dilarang untuk diikuti. Dilarang untuk mencari tahu. Kiamat sudah terjadi dalam kehidupan Ronald. Kiamat terjadi tanpa ada tanda terompet sangkakala. Tak ada sebuah penanda. Semua terjadi secara mengagetkan.

Undangan pernikahan Adellina dengan Ahmad sudah sampai di tangannya. Menyentakkan hati yang sedang merana. Tak ada obat yang bisa menyembuhkan. Semuanya sudah sampai pada stadium akhir.

Tak ada lagi cinta, tak ada lagi Aderone.

Ronald tersungkur dan menggabungkan tangannya menjadi satu: Menghadap salib.

Dia mengangguk pelan dan tampak yakin.

Karena sejauh apapun manusia berkelana pasti akan kembali kepada penciptanya.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar