Halaman

Kamis, 16 Februari 2012

Ucil

Suara decitan pagar menggema keras. Kilan berlari-lari kecil menuju ambang pintu rumahnya. Langkahnya tampak terseok-seok. Bibirnya mengernyit. Dengan gerak seadanya, dia membuka pintu dan...

"Ma, Ucil telah pulang!" teriak adiknya dengan senyum licik. Kilan hanya bergeming kaku. Diam tak membantah. Kilan segera berlalu dan membiarkan adiknya larut dalam gelak tawa.

Kilan memasuki kamarnya. Membanting tubuhnya bebas pada tempat tidurnya. Menyumbat telinganya untuk mendengar lantunan lagu klasik kesukaannya. Dia melengos pelan.

Dia tidak bisa membantah. Kenyataan tidak bisa dialihkan. Tubuhnya yang mungil sangat tertera jelas dari mata-mata manusia. Tubuhnya kurus dan ditambah tingginya yang seperti anak sekolah dasar.

Dia menghela napas berat. Menyadari bahwa dirinya memang aneh. Jika dibandingkan adiknya yang masih duduk di sekolah dasar, orang-orang pasti melihat bahwa Kilan yang menjadi seorang adik dibandingkan Keara, adiknya.

Semuanya berjalan dengan konyol. Beratnya tak juga naik menerima asupan makanan cemilan. Tingginya tak juga bertambah mengingat susu yang bergelas-gelas masuk ke dalam tubuhnya.

Kemana semua gizi yang ada? Termakan cacing? Macet di tengah jalan?

Kilan memejamkan mata. Membuyarkan semua pikiran yang tadi menghinggap di otaknya. Batinnya terus berkata dalam sebuah kehendak yang tidak diinginkan. Satu kata yang masih menancap di benaknya.

Kelainan. Aku bukan kelainan.

***
Matanya menyapu kertas tersebut. Bola matanya tak mengecil sejak tadi. Sejak kertas itu melayang dan mendarat di wajahnya saat ia baru membuka mata dari tidur siang.

Barisan-barisan alfabet membuat matanya terbelalak. Tak percaya. Jantungnya berdegup tak beraturan. Tak ada manggut-manggut yang menghiasi wajahnya. Mimiknya tampak tegang.

INSTITUSI TINGGI TAK HENTI.

Kilan membacanya sekali lagi.

Sebuah tawaran menarik bagi kalian yang merasa mungil! Tak ada yang perlu dikeluhkan! Semua ada jalannya! Tuhan menciptakan manusia awalnya sama! Hanya hambatan di dunialah yang merubah semuanya!

Alisnya menaik heran.

Jika otakmu mengatakan, ya. Jangan berpikir-pikir lagi! Kau tunggu di teras rumahmu pada jam dua belas malam! Tak usah bawa sesaji, aku bukan makhluk termulia! Siapkan saja dirimu disana, karena kami akan menjemputmu!

Kilan mengerutkan kening tak mengerti.

Datanglah kepada kami sebelum paku takdir menancap di dirimu!

Dia menutup kertas itu cepat . Napasnya menghembus berantakan. Pertanyaan-pertanyaan menyerbunya pada satu titik. Semuanya bertemu. Menunggu sebuah keputusan.

***
Gesekan sendok dengan dasar cangkir menjadi serenade satu-satunya yang terdengar pada malam itu. Keputusannya sudah membulat pas. Dia akan menerima tawaran itu.

Dia segera meletakkan cangkir di meja. Duduk manis di kursi depan teras. Menopang dagu sambil menunggu seseorang. Pasrah akan angin yang menghantamnya dingin.

Tiba-tiba suara gemerisik pepohonan menyertai malam itu. Pagar tergeser dengan sendirinya perlahan. Sebuah langkah semu terdengar dan menyelusuri indra Kilan.

Kilan meremas pegangan besi kursi. Badannya gemetar kuat. Dia menggigit bibirnya dengan wajah bingung. Otak sudah menyuruhnya untuk bangkit, namun entah apa yang menariknya untuk tetap duduk.

Langkah itu semakin dekat.

Pita suaranya nekat untuk teriak, tetapi tiba-tiba tertahan sendirinya.

Tangan Kilan diremas kuat oleh seseorang tanpa wujud.

Mencekiknya perlahan.

Membekap mulutnya keras.

Menekan urat nadinya.

Sampai Kilan merasa dirinya sudah hilang tak berwujud.

***

Matahari menyembul dari permukaan. Semburatnya menyerang dataran bumi yang membentang panjang. Menghiasi lolongan panjang Keara.

"MAAAA! KILAN HILANG!"


***
Seorang ayah merangkul istri dan anaknya kuat. Perjalanan mereka ke Paris terasa hampa tanpa kehadiran seseorang. Butir-butir air mata menjadi pemandu perjalanan mereka. Keara tak berhenti menangis dan mengutarakan isi hati sendunya.

Keara merebahkan kepalanya. Menetralisir darah-darah yang tadi bertumbuk menjadi satu. Paris, suatu tempat impian Kilan. Tempat yang sangat ingin ia kunjungi.

Sudah sepuluh tahun sejak peristiwa lenyapnya Kilan. Keluarganya sudah berkerja sama dengan pihak polisi untuk mencari keberadaan Kilan, tetapi hasilnya nihil. Kilan tidak ditemui. Kilan lenyap ditelan dimensi. Tak ada jejak-jejaknya yang tertinggal.

Kata Paranormal yang telah mengecek seluk beluk hilangnya Kilan, satu bukti yang menyatakan kuat bahwa Kilan diculik iblis adalah surat dari Institusi Tinggi Tak Henti yang terdampar di tempat tidur Kilan. Mereka berpendapat, bahwa iblis ini mengincar Kilan sejak lama. Ditambah dengan keluhan Kilan tentang fisiknya yang menggunung tinggi.

Tiba-tiba seorang pramugari membawakan keluarga Keara sebuah hidangan masakan. Aromanya sudah terhirup harum oleh indra manusia-manusia di sana.

Menunya adalah: Spagetty, sup jamur dan susu.

Otak Keara berhenti seketika. Masakan ini benar-benar kesukaan Kilan. Ada susu yang sangat ia gemari. Yang membuatnya minum sampai bergelas-gelas. Tetapi, Keara menemukan sebuah kejanggalan. Entah mengapa. Ada firasat yang menyertai dirinya.

Segera ia memandang pramugari itu dari sepatu hak tinggi, menuju rok yang bermotif batik, sampai...

"Kau masih ingin memanggilku Ucil?" tanya pramugari itu dengan tatapan menggoda.

Sejenak Keara berpikir untuk memilih kata yang tepat untuk diungkapkan.

"KILAN!"

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar