Halaman

Kamis, 01 Maret 2012

Terserah

Gesekan sendok beradu dengan cangkir. Melarutkan gula yang baru saja tertuang. Menabur rasa yang indah -akan segera tertanda jelas. Ini untuknya. Untuknya. Untuk Aleva.

Senyumnya tak berhenti mengembang. Bagai ragi dalam sebuah adonan roti. Sebersit cahaya matahari menyaksikan kebahagiaannya. Tuhan juga menjadi saksi relungnya yang menjadi tempat perkumpulan reaksi-reaksi cinta.

Dentingan sendok memetik bibir cangkir dengan anggun. Rana tersenyum puas. Wangi teh buatannya tercium harum. Lezat untuk dicicipi. Segera ia bangkit dengan membawakan teh andalannya menuju kursi depan.

"Aleva, lihat apa yang Ibu bawakan?" tanya Rana dengan nada menyenangkan. Bibir merahnya mekar tak menghambat.

Rana meletakkan cangkir di atas meja. Sengaja ia membuat suara tubrukan dengan kaca itu terdengar nyaring. Agar Aleva mendengar bahwa ibunya telah membuatkan teh untuknya.

Rana menopang dagunya. Menatap benih cantiknya. Melihat rambut hitamnya yang terajut dengan lurus, bibir anaknya yang jika dilihat mirip dengan suaminya, mata yang biru menunggu untuk disibak. Cantik, katanya. Tak apa ia menunggu sampai 19 tahun untuk mendapatkan seorang anak. Anaknya sangat tumbuh menjadi gadis rupawan.

Rana tersenyum lagi. Aleva memang suka minum teh. Entah mengapa. Teh salahsatu rutinitas yang digemari Aleva, sejak awal bertemu. Jika diingat, Rana sempat kaget saat Aleva meneguk secangkir teh. Habis. Tetapi akhirnya, itu semua merupakan tata cara yang dianggap wajar.

"Aleva, diminum tehnya," tangan Rana menggeser cangkir itu lebih dekat dengan Aleva yang sedang mematung kosong. Tak bergerak. Mata terbuka. "Ini teh kesukaanmu loh,"

"Terserah," jawab Aleva dengan nada datar tak terikhlaskan.

"Iya, ayo diminum Nak."

"Terserah,"

"Aleva..."

"Terserah,"

Rana mulai beraksi. Segera ia menyodorkan cangkir ke bibir mungil Aleva. Tak terbuka. Aleva melawan keras. Bibirnya terus mengatup bagaikan berhibernasi.

"Aleva, minum!"

"Terserah,"

Air mata Rana mulai berkecipak.

"Aleva!"

"Terserah,"

Pita suara Rana mulai merintih peluh.

"Aleva! Minum, Nak!"

"Terserah,"

Tangan Rana gemetar kuat. Cangkir terjatuh memecah keheningan. Membuka portal air mata di pelupuk mata Rana. Pita suaranya menjerit bebas. Dia merutuk-rutuk di lantai.

"Dasar kamu!" Rana bangkit dari lantai. Mencekik Aleva kuat. Meremas rambut anaknya. Mencubit anaknya keras.

"Terserah. Terserah. Terserah," ucap Aleva tanpa nada kesakitan.

Emosi Rana sudah mencapai titik tertinggi. Amarahnya sudah berkolaborasi dengan rasa sedih yang belum tersirat. Segera ia membuka bagian belakang baju Aleva. Membuka kulitnya paksa.

"Aku tak butuh kamu! Aku lebih baik menunggu beberapa tahun lagi agar ada benih yang tertanam dalam rahimku!"

Rana membuang baterai yang sejak bulan kemarin sudah tertancap di dalam tubuh Aleva. Tangisnya menyalang tak terperi. Ia lebih setia dengan menunggu. Walau terkadang itu meremas otak keseimbangannya kuat.

Kini dia tak butuh Aleva. Dia hanya butuh seorang anak...


...Manusia.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar