Halaman

Senin, 06 Februari 2012

Menunggu Perceraian

Debu-debu segera merangsang hidungku. Tanpa mau tahu, bahwa aku sedang pilek. Aku hanya mengeluh kecil, dan menyapu pandangan ke seluruh pelosok ruangan berukuran kecil ini.

Kotor. Tak terurus. Sarang laba-laba.

Itulah yang pertama kali terlintas di otakku. Mungkin memang takdir sebuah gudang yang harus mengalah dengan ruangan-ruangan lain, karena ruangan ini sangat busuk. Ruangan ini seperti balon yang kau isi dengan kentutmu sendiri, lalu kau tancapkan jarum, dan menyebarlah aroma menjijikan.

Sebenarnya, aku benar-benar tak ada kemauan untuk masuk ke dalam ruangan ini. Tidak. Sama sekali tidak. Melainkan ayah yang menyuruhku untuk membersihkan gudang dan memilih barang apa yang masih layak pakai. 'Walaupun barang itu layak dan ada kenangan tentangnya, jangan ambil!' perintahnya.

Ayah dan aku akan pindah rumah. Dia bilang, dinding-dinding di rumah ini selalu berbicara dan mengingatkannya kepada ibu. Tak heran, sejak ibu dimakamkan, ayah selalu menangis.

Segera aku leburkan semua debu yang ada di sudut ruangan, mengganggu aktivitas sejumlah laba-laba yang sedang merajut, membuang buku-buku tua yang ditemani rayap, semuanya.

Hampir semua buku telah ditelan nafsu oleh rayap, kecuali satu kertas yang masih utuh. Jernih. Berkilau. Bersih. Semuanya. Seolah kertas itu adalah salah satu spesies zebra ditengah spesies unggas. Seperti orang gila di tengah-tengah kewarasan.

Aku mengernyit bingung. Apakah rayap bisa memilih mana yang pantas ditinggali? Mana yang harus dileburkan? Tanpa memperdulikan pertanyaan yang terus membendung, aku membuka kertas yang dilipat itu.

Sebuah barisan aksara-aksara indah tergores disana. Tulisan sambung yang segera menyergap mataku. Pusing. Aku mengatupkan mata sekali. Tintanya berwarna emas. Aku mengatupkan mata kedua kali. Benar-benar emas. Ada kertas bertinta emas yang selamat dari para rayap!

Anehnya, mataku seolah dipaksa untuk membaca. Ada sebuah medan magnet positif yang menarik medan 'negatif' mataku.

Kepada Maleo,
Putraku yang masih belia.

Apa kabar, Nak? Ibu menulis surat ini dalam waktu yang singkat, tapi begitu banyak arti yang tergores. Di tengah air mata yang tak bisa dibendung, banyak kesedihan yang memang harus diungkap. Duduklah yang manis, aku akan memberitahumu suatu berita yang bisa kau anggap sedih, ataupun tidak sama sekali.

Ibu belum pernah cerita kepadamu, kan? Apa yang terjadi sebelum aku dan ayahmu menikah? Bahwa tak ada sama sekali cinta di antara kita? Bahwa hanya ada paksaan yang membahana dalam hati kami masing-masing?

Ketahuilah, Maleo. Rencana ini sudah matang-matang kami persiapkan. Rencana ini sudah hadir dibenak kami masing-masing sejak duduk dipelaminan.

Kami. Akan. Menyelesaikan. Pernikahan. Kami. Secepatnya.

Aku akan bercerai dengan ayahmu saat kau mulai terjun ke dalam dunia yang benar-benar kau resapi, yang hanya kaulah yang pantas berada di dalamnya. Bahkan kau tak membutuhkan kami lagi, kau hanya butuh dirimu sendiri untuk menemanimu.

Aku menuliskan surat ini saat kau baru berusia dua tahun. Saat kau pergi memancing dengan ayahmu. Jadi surat ini, tak ada hal yang tersembunyi.

Tetapi bodohnya, rencana itu tak pernah berhasil. Belum gagal, namun memang belum terlaksana. Perceraian ini masih dalam rencana. Menunggumu untuk bisa bangkit sendiri.

Oh, ya. Hanya ada satu waktu yang membuatku cinta kepada ayahmu. Yaitu, saat menciptakanmu. Jadi, jangan salah sangka bahwa kau diciptakan tanpa cinta.

Ibumu,

Helena.

Aku terbahak dalam genangan air yang muncul di sudut mata. Tak ada yang lucu, tak ada kesedihan. Aku sendiri heran mengapa aku menangis dalam tawa.

Surat ini benar-benar surat yang terbodoh -yang pernah aku baca. Surat ini benar-benar ajaib. Bisa menebak tepat saat usia berapa aku membacanya. Ya, Ibu. Saat aku sudah meresapi dunia seperti yang kau tunggu-tunggu itu.

Tetapi, aku bisa tersenyum puas. Rencana itu tak pernah terlaksana! Perceraian itu tak ada dalam pernikahan kalian berdua! Kalian berhasil menyembunyikannya! Cinta kalian dipisahkan oleh maut seperti suami istri yang saling mencinta! Dan kalian benar-benar hebat bisa melalui 30 tahun tanpa cinta!

Aku menyeka air mata. Asal kau tahu ya, Bu.


...Ayah masih kehilangan sosok yang dia tidak cintai.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar