Halaman

Kamis, 02 Februari 2012

Ik Hou Van Je

Matahari menyisakan bayangan yang membayangi pohon lebat itu. Memuat lingkaran bayangan keteduhan yang menyejukkan hati sendu mereka. Jika dilihat dari kejauhan, mereka tampak seperti siluet yang bersandar dipohon. Mereka lebih senang bersembunyi dibandingkan beraksi. Mereka sangat menyembunyikannya.

Laksmi memandang lelaki gagah disampingnya. Dia benar-benar tak menyangka kalau mereka akan sampai dilembaran ini. Siapa yang berharap bahwa lelaki ini ada di sampingnya? Tidak. Tidak ada. Dia hanya mengikuti apa yang lelaki ini mau. Percaya akan permainan yang dibawakannya.

Biarlah, katanya. Dua bulan rasanya seperti getaran dalam sebuah air. Singkat. Mengenalnya dibalik seragam yang dilengkapi senjata dengan berbagai peluru, sangat menyenangkan. Biarlah kebahagiaan ini terus mencuat.

Pohon rimba itu menjadi saksi ilusi hubungan mereka berdua. Kertas putih dan pena hitam juga menjadi penonton setia mereka. Setiap jam makan siang, mereka selalu bertemu dibalik panggung kehidupan.

Dan menurut Laksmi, mengenalnya seperti belajar mengeja kata. Dia mengenal rangkaian-rangkaian huruf yang ia tak mengerti. Takdir seorang perempuan mendekam di dapur, memang mencengramnya saat itu. Hanya kepada lelaki inilah ia bisa menerima berbagai ejaan dari bibir lelaki yang di sampingnya kini. Atau tidak, berbagai bahasa asing yang terlukis dalam kertas putih milik lelaki itu.

Satu kalimat yang sangat membekas diotaknya, adalah saat lelaki itu mengambil pena dan terjun ke dalam lautan kertas. Dia menuliskan beberapa kata dengan perlahan. Goresan-goresan tintanya menjadi sesuatu yang ditunggu oleh Laksmi.


Ik Hou Van Je, tulisnya.

***

Peluru menjadi saksi pertemuan terakhir mereka berdua. Laksmi hanya menatap ayahnya dari kejauhan dengan tangan diikat oleh tangan-tangan tentara. Mulutnya terus memberontak. Kata-kata kejam keluar dari bibirnya. Batinnya untuk terus berbicara tak juga membungkam.

"Vuren!"

Bola mata Laksmi membesar saat melihat lelaki yang sudah dua bulan ia cintai menggenggam senjata. Mengatur arah agar tepat menghantam dada ayahnya. Laksmi hanya menangis sambil terus gemertak. Sedangkan beribu-ribu mata berwarna coklat menatap dirinya dan ayahnya dingin.

DOR!

Peluru itu menghinggap didada ayah Laksmi. Menghasilkan cairan merah yang mencemari bajunya. Mata ayahnya kosong, menatap langit. Badannya ingin ambruk walau tubuhnya diikat dengan bambu yang menahannya.

"Bapak!" Laksmi menghampiri ayahnya berlumuran darah. Memeluknya erat dan membelai wajahnya. Dia masih menangis.

Laksmi berbalik badan memandang lelaki yang sudah membunuh ayahnya. Lelaki yang juga membuatnya merasakan apa yang disebut cinta. Lelaki itu hanya tersungkur dalam duka dan menangis.

Laksmi hanya memandang lelaki itu dengan bengis. Dua bulan hanya seperti merancang sebuah bom untuk diledakkan.

Dan kini, bom itu akhirnya meledak.

***

Semburat cahaya matahari memasuki jendela kamar Laksmi. Laksmi, kini hanya duduk termenung di atas kursi goyang. Menatap layar televisi yang masih kecil. Tidak ada yang namanya antena. Sehingga layar itu dipenuhi dengan samar-samar gambar dan suara.

Air matanya mengalir deras. Menyaksikan upacara bendera di Istana Presiden. Menyaksikan kemerdekaan yang sudah berumur tua. Mendengarkan lantunan Indonesia Raya saat bendera dinaikkan.

Remah-remah memori berantakan diotaknya. Mengingat masa-masa indah di bawah pohon lebat, mengingat kata-kata asing yang menyusupi telinganya, mengingat goresan-goresan tintanya, menerawang wajah lelaki pertama yang ia cintai.

Dia terus menangis, menyesali mengapa ia masih hidup. 101 tahun mendekam dalam rumah yang seadanya, menunggu para tetangga membawakan makanan untuknya, menjadi rutinitas Laksmi yang tak bisa dihindari.

Tak ada suami. Tak ada anak. Tak ada cucu. Tak ada siapapun.

Hanya ada beribu-ribu pertanyaan yang masih menemaninya : Kau sedang apa? Kau sedang dimana? Apakah kau masih hidup? Atau sudah mati? Apakah kau masih menjadi warga negara Belanda?

Pertanyaan hanya dijawab dalam kesunyian. Hanya satu yang terjawab oleh buku tebal yang dinamakan kamus.


Ik Hou Van Je: Aku cinta kamu.

Dia tersenyum bila mendengarnya. Dia sekarang mengerti. Kata-kata itulah yang terus mengikatnya selama berpuluh-puluh tahun. Yang membuat dirinya tak pernah mencintai lelaki lain selain dirinya. Namun, dia hanya berharap pernyataan itu bukanlah klise, bukanlah bahan-bahan perancang bom, bukanlah sebuah taktik.



...Melainkan, kenyataan.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar