Halaman

Sabtu, 22 Oktober 2011

Percaya Padamu, Kanaya!

"Nama saya Annisa Kanaya Larasati. Kalian bisa memanggilku, Naya. Terimakasih." ucapmu waktu itu. Aku langsung tahu, kamu bukan perempuan yang biasa. Caramu, tingkah lakumu, itu dapat terdeteksi olehku kalau kamu itu perempuan baik-baik.

Kamu duduk kembali, dan kuperhatikan terus dirimu. Tidak ada yang aneh, tenang dan biasa saja, Bagimu. Tetapi begitu luar biasa bagiku. Kamu tidak memplintir-plintir rambutmu seperti perempuan yang lain. Kamu membiarkan rambutmu begitu saja. Rapih.

Kanaya, aku belum pernah merasakan ini kepada perempuan-perempuan sebelumnya.

***

"Bay, lihat PR dari Bu Nisa dong, gue belom ngerjain, gangerti lebih tepatnya."

"Eh? Iya, tapi aku belum pasti kalau semua jawabannya..."

"Bodo amat," ucap Ardy, yang langsung mengambil buku tugasku.

Aku langsung kembali ke kamu, Kanaya. Kamu juga sama sepertiku, tempat peminjaman tugas dari Guru. Kamu selalu mengerjakan tugasmu tepat waktu, tak pernah lupa, dan itu yang kukesali.

Kapan kamu lupa mengerjakan PR? Kenapa kamu selalu ingat?

Setidaknya kalau kamu lupa, kamu bisa meminjam kepadaku dan kita bisa berbicara. Hampir setengah semester ini, kita belum pernah bicara. Basa-basi pun tidak.

Setiap pembagian kelompok, Aku selalu berharap kita dapat bersama. Tapi kamu selalu bersama dia, Galang. Tak heran makanya Galang jatuh hati padamu. Dan itu membuatku khawatir. Walau kamu mengabaikan semua berita kalau kamu akan segera ditembak olehnya, aku tetap khawatir. Walau aku tahu kamu tidak memperdulikannya, aku tetap khawatir. Aku takut suatu saat kamu berubah.

Dan menerimanya, sebagai kekasih pertamamu.

***
Aku selalu tersenyum jika diledek seperti ini. Kalau aku sama kamu itu cocok. Karena kita masih memakai Aku-Kamu.

"Oke deh, nanti Aku yang ngetik, kamu yang edit ya." ucapmu pada salahsatu temanmu.

"Aku, Kamu? Haha, lo sama Bayu makin cocok aja." canda salahsatu temanmu.

Kamu hanya tersenyum. Tak berkomentar apapun.

Memang ada yang salah dari bicara aku-kamu bagi anak SMA? Aku rasa tidak. Berkali-kali temanku menyuruhku agar bertransformasi dari anak Aku-Kamu menjadi anak Gue-Lo, tetapi aku tetap menolaknya. Aku juga selalu diancam kalau memakai aku-kamu akan menjadi calon korban bullying.

Aku ingin tahu apa komentarmu tentang ini. Tapi bagaimana caranya? Bicara berdua saja belum pernah.

Ya ampun, Pak, Bu. Kapan saya sekelompok bersama Kanaya?

***
"Kelompok 3. Muhammad Bayu Adhitama, Zahara Andani, ..."

Aku begitu antusias mendengar ucapan Pak Andi. Aku ingin sekali mendengar namamu berada di kelompok 3. Tolong Pak, sebut namanya...

"Annisa Kanaya Larasati, kalian membahas tentang..."

Aku tersenyum lebar. Akhirnya aku berhasil sekelompok denganmu disemester ini. Kukira kita tak akan pernah bisa bergabung dalam satu semester. Semakin berpikir bahwa kita tak akan berjodoh. Tak ditakdirkan dan aku yang terlalu berharap.

"Sekarang, Bapak beri waktu untuk berdiskusi dengan kelompok masing-masing,"

Semua anak berpencar. Bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Aku bangkit. Matamu tampak mencari-cari. Semoga kau mencari aku, bukan Zahara.
Aku segera menghampirimu. Tak enak bila kau yang menghampiri mejaku.

"Boleh aku duduk?" tanyaku pelan sambil menarik bangku terdekat.

"Kamu sudah menarik bangku, apa boleh buat." candamu pelan sambil tersenyum.

Aku menelan ludah. Tak seharusnya aku begini di perbincangan kita yang pertama. Dan oh! aku menyadari. Zahara sedang absen. Momen yang tepat, tapi aku berusaha agar tetap tenang.

"Kira-kira, kita mau gimana?" tanyaku sebagai permulaan perbincangan kita yang melanjut.

"Tugas kita, bukan kita."

"Oh ya, maaf. Tugas kita." jawabku. Bodoh sekali. Kenapa aku jadi begini?

"Sebaiknya aku yang ngetik ya, kamu nanti sama Zahara yang mengedit." jawabmu yang sudah tak asing bagiku. 'Aku yang mengetik, kamu yang mengedit.'

"Oh, ya. Kamu suka mengetik ya? Kayaknya kamu bebas memilih untuk mengambil alih tugas mengetik dan membiarkan orang lain untuk mengedit,"

Kamu melirik mataku. "Kalau kamu mau mengetik, bilang aja. Aku gak memaksakan kamu kok."

"Enggak, aku mau mengedit."

"Terus kenapa protes?"

"Siapa yang protes?" tanyaku memancing.

Kamu menghela napas. "Iya, aku salah bicara,"

"Hanya segini? Aku kira kamu bakal membalas. Kemana emansipasi wanita?"

"Maaf ya, kita ini diperintahkan untuk berdiskusi, bukan berdebat." jawabmu singkat.

Aku terdiam. Aku memang salah, bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal-hal yang tidak perlu. Ini ada waktunya, Bay.

"Oh ya, maaf."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan."

Kita mulai berdiskusi, dan aku semakin terbius olehmu.

***
"Serius lo? Lo udah siap buat nembak Kanaya?" tanya Dheryl.

"Insyaallah gue siap, doain aja ya," jawab Galang yakin.

"Halah, gayalu. Biasa ngerokok aja."

"Apaan sih? Selama ini gue tobat sebelum nembak Kanaya!" ujarnya.

Aku tersentak saat mendengarnya. Beruntung sekali telingaku dapat mendengarnya. Galang akan menyatakan cintanya kepada Kanaya?

Aku langsung khawatir. Apakah Naya akan menerimanya? Apakah Galang akan menjadi kekasih pertama bagi Kanaya? Apakah aku harus menanyakannya langsung kepada Naya?

Ya Tuhan, aku belum siap melihat Kanaya digandeng oranglain.

***
Aku memasuki kelas agak pagi dari biasanya. Aku berusaha membandingkan ramainya di Timeline dengan ramainya di sekolah.

Berita Galang akan segera menembak Kanaya sudah booming di kalangan kelas 11. Aku, anak yang dikenal sangat tertutup dengan yang namanya 'cinta' tak bisa berbuat apa-apa.

Apakah mungkin saat Galang menyatakan cinta kepada Kanaya aku harus datang secara tiba-tiba dan mengatakan 'HENTIKAAN!' ? Rasanya tak mungkin.

...Aku hanya bisa pasrah dan percaya kepadamu, Kanaya.

***
Bunga mawar yang segar sudah berada di tangan Galang. Kanaya yang daritadi berada di kelas bersikap tenang dan tak tahu apa-apa. Galang begitu yakin dilihat dari langkahnya. Sedangkan aku daritadi memelas dibalik jendela kelas.

Dan Galang pun memasuki kelas, mengumpatkan bunga mawar dibalik badannya.

"Nay..." ucapnya sambil menduduki kursi yang ada di sebelah Kanaya.

"Apa?" jawabmu tenang.

"Ada yang aku ingin omongin sama kamu,"

Aku menelan ludah. Sudah tidak siap mendengar setelah Galang mulai menggunakan kata ganti utama 'gue' dengan 'aku'.

"Iya, apa?" tanyamu.

Galang mengambil napas.

"Sejak bertemu denganmu, hatiku merasa ada yang beda. Kamu begitu berbeda dari perempuan yang lain. Kamu cantik, Kamu manis, Kamu pintar, segalanya ada di kamu."

Aku menelan ludah kedua kalinya. Keringatku semakin berjatuhan. Semakin nampak anak yang memelas dibalik jendela kelas. Ruang menontonku pun lama-lama semakin tidak nyaman. Yang menonton 'aksi' Galang menembak Kanaya semakin banyak penontonnya. Seperti tidak ingin dilewatkan oleh yang lain.

"Sekarang, maukah kamu menjadi kekasihku?" tanya Galang dengan menunduk dan mengeluarkan bunga yang dari tadi disembunyikannya.

Kanaya diam tanpa kata.

Aku. Hanya. Bisa. Menunggu. Responmu. Kumohon. Kamu. Sadar. Dan. Tidak. Berubah. Kumohon. Kanaya.

Kau mulai berbicara, berusaha mengangkat bibirmu yang daritadi tertahan.

"Maaf, aku enggak bisa. Kata mamaku aku enggak boleh pacaran dulu." jawabmu polos.

Suasana diluar kelas pun mencair. Berubah dari rasa ketegangan menjadi sesuatu yang konyol. Semua tertawa. Sedangkan Galang menanggung malu yang dirasakannya.

Tapi, entah kenapa, kamu malah memandangku dan tersenyum kepadaku.

Tunggu, Kanaya, apa artinya ini?

***

20 Tahun Kemudian...

"Ayah! Aku mendengar kabar kalau aku akan segera ditembak, Yah!" ucap Nandira, perempuan yang baru beranjak dewasa.

Aku memandang istriku yang sedang membuatkanku kopi. Aku jadi mengingat masa lalu.

"Sebaiknya kau tolak dan kau bilang 'Jika kamu benar-benar mencintaiku, tunggu sampai aku lulus SMA'." Jawabku yakin, sambil tersenyum.

"Yaa, Ayah. Tapi cowoknya ganteng, Yah. Masa aku tolak?"

"Memang kamu enggak tahu, cerita cinta Ibu dan Ayahmu sampai kami menikah?" tanya Kanaya menggoda Nandira. Ia pun meletakkan kopi yang hangat di meja.

"Memang seperti apa, Bu?"

"Kami memendam rasa selama SMA, demi prestasi Ayah dan Ibu dalam sekolah. Karena Ayah berpikir, suatu saat pasti ada waktunya. Dan berusaha percaya kepada Ibumu. Buktinya? Kami bisa sampai sekarang dan mempunyai dirimu," jawabku mendahului.

Ibuku mengangguk. Dan tertawa.

Tapi tidak dengan Nandira.

"Pa, masih jaman sekarang memendam-mendam rasa?"

Oh tidak, anakku terpengaruh oleh @Poconggg.



Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar