Halaman

Sabtu, 22 Oktober 2011

MATA


Lagi-lagi, mataku harus memicing. Tanpa kacamata.

"Kemana kacamata lo?" tanya salahsatu temanku.

"Ketinggalan, bro." ucapku sambil menggaruk-garuk kepala.

"Lo yakin, Lo bisa jalan nih, di tengah mall yang segede gini?"

"Gausah dimasalahin soal jalan. Insyaallah bisa deh bro," jawabku setengah yakin.

"Serius Lo? Minus Lo itu gak kecil. Kalau perlu, Gue temenin dah balik lagi ke rumah,"

"Gausah, Gue bisa. Tenang aja, Dim."

"Oke, gue udah nawarin, ya. Dan gue gamau nuntunin lo sepanjang jalan-jalan di dalam nanti ya, Dan. Gue kesini mau cuci mata."

"Gue?"

"Makanya, menonton televisi jangan dekat-dekat, nak." canda Dimas.

"Sialan lo," ujarku singkat.

Setelah itu, kami pun segera memasuki dunia perempuan-perempuan Jakarta. Dan aku sangat menyesali mataku yang minus ini.

***
"Gila, sukses juga lo Dim dalam ngerebut hati perempuan!" colekku dan berbicara dengan suara yang kuusahakan tidak terdengar siapapun.

Karena, didepanku ada perempuan yang berhasil digaet Dimas. Dan perempuan ini langsung diajak makan bareng! Dan aku merasa menjadi sampah dalam meja makan ini.

"Oh ya, terus gimana karir kamu selanjutnya?" tanya Dimas berbasa-basi dengan Ratna, kenalan barunya tadi.

Aku hanya mengaduk-aduk sphagetty yang tak kunjung habis. Kalau ceritanya begini, mending gue gausah ikut! batinku dalam hati.

"Eh? Kamu keturunan bule ya?" tanya Dimas secara tiba-tiba.

Aku pun memperhatikan wajah Ratna. Bule darimana coba? Ngawur nih anak.

"Haha! Enggak, kok. Kalau boleh tahu, Bule darimana ya?" tanya Ratna balik.

"Soalnya matamu biru," jawab Dimas pelan.

Aku menelan ludah. Wajah Ratna nampaknya juga sedang menahan tawa. Gadis ini memakai contact lens, norak!

"Hahaha, ini itu contact lens. Sengaja aku memilih warna biru, karena biru itu jernih, layaknya air yang mengalir!"

Dimas hanya mengangguk-angguk sambil melongo.

"Memang sebenarnya, kamu minus berapa?"

"Lumayan gede, 3.25,"

"Wow! Tapi masih kalah sama temanku yang satu ini, nih. Minusnya gak karuan!" serunya sambil melirikku.

Aku mengangkat alis.

"Memang, minusnya berapa?"

"Tanya sendiri, deh sama orangnya!"

Mata biru Ratna berbalik kearahku.

"Oh, temanmu ini minus. Kusangka daritadi itu dia keturunan Tionghoa!" ucapnya polos.

Mereka hanya tertawa. Aku berusaha tertawa kecil. Walau tangan sudah mengepal.

***
"Jadi manusia yang bermata minus, itu gaenak. Sungguh menyiksa." ujar Ratna sambil meneguk hot chocolate-nya.

"Setuju," ucapku singkat.

"Awalnya memang gabisa menerima ini semua, tapi mau gimana lagi, mata udah terlanjur rusak."

Dimas yang daritadi hanya mengangguk-angguk saja, akhirnya bicara juga.

"Jangan putus asa gitu dong, kan masih ada wortel, yang kaya akan vitamin A!"

"Gabisa!" seruku dan Ratna bersamaan.

Dimas hanya melongo mendengar apa yang kami bicarakan.

"Loh? Kenapa? Bukannya wortel baik untuk mata?"

"Minum jus wortel atau makan wortel gabisa mengurangi minus. Untuk menghilangkan minus itu dapat dilakukan dengan memakai kacamata, contact lens dan mungkin... operasi laser." jelas Ratna.

"Makanya gue nyesel dulu males makan sayur. Padahal Ibu gue udah ngomel berapa kali biar gue makan sayur. Sekarang? Nasi sudah terlanjur menjadi bubur." ujarku.

Dimas hanya mengangguk-angguk seperti orang yang tidak tahu apa-apa.

"Terus, kenapa kamu enggak memakai kacamata?" tanya Ratna kearahku.

"Memang calon-calon orang lanjut usia gini, nih! Ketinggalan!" jawab Dimas.

"Siapa sih yang ditanya?" ujarku.

Dimas hanya terkekeh. Tapi tidak dengan Ratna. Dia masih terbingung.

"Terus, kamu kuat gak memakai kacamata? Kalau aku jadi kamu, aku udah sempoyongan, kali!" seru Ratna.

Aku hanya tersenyum.

"Kalau tujuannya mau cuci mata, apapun jadi jelas!" canda Dimas.

"Sialan," ucapku.

Kami pun akhirnya tertawa bersama dengan makanan yang menunggu untuk dimakan sejak tadi.

***
"Emm... kayaknya perempuan gabaik deh kalau pulang sendirian di tengah malam gini," Dimas daritadi memang sudah mengisyaratkan kalau dia meminta maaf sebesar-besarnya kepadaku. Karena, aku disuruh untuk pulang sendiri, naik taksi katanya.

Rencananya, dia ingin mengantar Ratna pulang sampai ke rumahnya. Dia ingin membuat Ratna terkesan akan pertemuan pertama mereka.

"Serius? Gapapa? Aku bisa pulang sendiri kok!" ucap Ratna.

"Udah gapapa," ucap Dimas sambil tersenyum. Belum dijawab oleh Ratna, Dimas sudah membukakan pintu depan mobil layaknya seorang sopir. "Silahkan masuk, Nona..."

Ratna tertawa kecil dan memasuki mobil Dimas.

"Sorry ya Bro, untuk kali ini aja." maafnya.

Aku hanya mengangguk dan mengangkat jempol.

Tak lama, mobil itu berlalu. Daun-daun pun berterbangan, mengenai diriku. Yang mencari taksi.

***
"Baik,mas." ucapnya sambil menyalakan argo. Angka nominal 5.000 pun muncul. Aku bernapas lega. Aku berhasil mendapatkan taksi yang berlabel 'TARIF BAWAH'. Yang, setelah kusadari bahwa uang sakuku tak cukup jika ingin bergaya menaiki taksi Silver Bird.

"Kanan ya, Pak." ucapku. Taksi itu pun akhirnya berbalik arah.

Aku memandang tanda pengenal si Sopir Taksi ini yang berada di depanku. Tertera disana: M. Norman. Aku pun memandang sopir taksi itu. Wajahnya sudah memiliki banyak kerutan. Kulitnya sudah keriput dan masih sibuk mencari nafkah. Kutebak, umurnya sudah melewati 55 tahun.

Dengan kondisi seperti ini, itu membuatku khawatir. Apakah aku bisa sampai ke rumah dengan selamat? Semoga mata Pak Norman ini baik-baik saja. Kan tak lucu jika dalam satu mobil ada dua orang yang sama-sama siwer. Yang tinggal menunggu mobil yang menabrak kami atau kami yang menabrak mobil lain.

Aku terus memperhatikannya. Berapa kali kulihat mata Pak Norman ini memicing. Aku pun semakin gelisah.

"Pak, Bapak tak apa? Saya bisa mencari taksi yang lain, kok." tanyaku.

Bapak itu malah tertawa. "Tak apa, mas. Cuman silau sama lampu jalan." jawabnya.

"Kalau ada apa-apa, saya bisa mencari taksi yang lain. Saya memaklumi kok mata orang yang sudah lanjut usia." ujarku prihatin.

"Enak saja! Mas kira mata saya sudah rusak apa, seperti mata Mas? Saya masih bisa melihat dengan jelas!" protesnya.

Aku pun melongo. Tahu darimana kalau aku ini manusia bermata minus?

"Kok, Bapak tahu kalau saya minus?"

"Ya, daritadi justru Mas yang terus memicing!" serunya.

Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil.

"Mas, mas. Mas itu gimana sih? Punya mata ya dijaga, jangan dibiarkan saja!" omelnya.

Aku menelan ludah. Sejak kapan orang ini bisa mengomeliku seenaknya?

"Saya juga maunya mata saya normal, Pak.." ucapku pelan.

Tiba-tiba taksi ini berhenti. Bukan karena mogok atau ban bocor, tetapi Sopir taksi ini yang memberhentikannya sendiri. Ia membuka jendela yang dilapisi kaca filem dan melihat langit yang hitam. Ia memalingkan wajahnya dari wajahku.

"Pak?" tanyaku bingung.

"Tunggu sebentar, nak. Tunggu." bisiknya lirih.

Akhirnya aku menunggu. Aku juga mulai gelisah. Ada apa dengan bapak ini?. Tak lama, mobil berjalan lagi. Aku melirik argo yang telah bertambah 2000 sebelum berhenti. Kebingunganku pun semakin memuncak setelah melihat mata Pak Norman ini membanjir. Aku semakin bertanya-tanya. Apa aku salah bicara?

"Pak.."

"Iya! Nanti 2000-nya saya ganti!" serunya dengan nada goyah.

***

"Walau tidak langsung, kita bisa membantu orang-orang yang kurang mampu. Betul?" seru Dimas.

Ratna hanya mengangguk. Hubungan Dimas dan Ratna semakin hari semakin lengket saja. Dan aku, semakin hari juga semakin menjadi benalu bagi mereka. Bukan karena sengaja, tetapi Dimas yang menyuruhku agar ikut juga.

Kami pun memasuki Rumah Sakit yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Aroma Rumah Sakit langsung tercium. Ya, seperti bau bayi. Tetapi, setelah memasuki lebih dalam lagi, aromanya berubah. Udara yang kurasakan juga berbeda. Semakin panas.

"Kita sudah sampai, langsung ke Dokter Adhi saja, yuk." ajak Ratna.

Kumpulan orang-orang-- yang hampir sebagian adalah orang manula. "Tuh, liat Han. Masih banyak orang yang kurang beruntung daripada Lo. Masih mending Lo minus. Mereka? Mereka lebih susah, Han." gumam Dimas.

Aku hanya melihat wajah orang-orang yang membentuk barisan panjang ini. Spanduk 'Operasi Gratis Katarak' semakin jelas terlihat. Akhirnya, kami sampai di depan pintu yang bertuliskan Dr.Adhi.

Ratna pun membuka gagang pintu dan memasuki langkah ke ruang dokter ini. "Hai, Kak Adhi. Maaf kita agak terlambat, ya!" maaf Ratna kepada kakaknya. Dokter Adhi hanya tersenyum. Ia tampak sedang menangani pasien pengidap katarak.

Dua pasien itu menengok.

Aku pun tercengang. Pasien yang terdiri dari Suami & Istri itu rasanya aku pernah mengenalnya. Saat Sang Suami mengangguk dan tersenyum, aku langsung mengenalnya. Ia Sopir Taksi yang kutemui semalam.

Aku pun membalas senyumnya. Dan Pak Norman terus memegang erat Istrinya yang akan segera melakukan operasi katarak. Sekarang, aku mengerti mengapa ia menangis semalam.

Selesai



1 komentar: