Halaman

Selasa, 22 April 2014

Perempuan dan Senja



David: Aku nggak pernah paham mengapa perempuan cinta sekali sama yang namanya senja.

Satu-dua detik, aku menyengir. Lelaki satu ini selalu sukses membuatku gemas akan kalimat-kalimatnya. Lancang, namun polos. Terus terang, tetapi selalu membuatku menganggap itu bualan. Bagaimana hal itu tidak membuatku merasa adiksi? Kalimat-kalimatnya serasa candu bagiku. Melumer jika dicecap, terasa nagih saat direguk. Segera kuketikkan sejumlah balasan,

Senja: Kok kamu bertanya begitu?

Enter.

Aku masih menyengir-nyengir girang. Tak lama, lelaki ini pun menjawab,

David: Aku baru pertama kali bertemu perempuan yang bernama Senja, dan dia juga menggilai senja. Kamu itu edisi langka, makanya.

"Njaaaa...!" Suara itu tiba-tiba datang dari luar kamar. "Air panasnya udah Mama siapkan tuuuh!"

"Iya, Ma! Sebentar!" Teriakku dengan mata yang masih menghunus ke layar laptop.

Senja: Kamu tahu? Yang membuat aku spesial di perbincangan ini ya cuman kalimat-kalimat kamu. Akunya sih nggak.

David: Hm, iya, ya? Aku nggak percaya. Kita kan belum pernah bertemu.

Nah, ini. Mungkin di sinilah letak sisi murahannya. Kami belum pernah bertemu, tetapi sudah berbincang semesra ini. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rupa wajahnya. Foto profil whatsappnya saja hanya gambar gitar yang tergeletak di dinding. Dan bisa kupastikan dia pun merasakan hal yang sama. Aku hanya memasang foto profil berupa langit senja di tepi pantai.

Senja: Sudah kubilang, kan. Karena aku Senja, kamu bisa menemuiku setiap hari. Setiap sore.

David: Tidak. Tidak karena kamu belum menjawab keherananku. Mengapa perempuan begitu mencintai senja?

Aku terdiam.

David: Jangan beri alasan karena kamu memang patut dicinta, ya, Senja.

Ya ampun, lelaki ini.

"Njaaaa!" Suara Mama terdengar kembali. "Kamu mau mandi gak sih? Airnya keburu dingin tuh!"

"Iya, Ma! Sebentar lagi! Sudah pegang handuk, nih!" Teriakku sekenanya.

Mengapa ya? Aku kembali ke pertanyaan tadi. Mengapa aku mencintai senja? Dan - ah, kalimat apa yang bagus untuk menjawab pertanyaan itu?

David, jika kalimatmu adalah wine, maafkan aku jika kalimatku terlalu berasa jamu.

Aku mengerutkan alis. Bagus tidak ya, kalimatku?

David: Maksud kamu?

Senja: Menurutku, senja mampu membuat perempuan jauh lebih cantik. Yang membuat mereka cantik bukanlah maskara atau polesan lipstik yang dipakai, tetapi...

... Saat perempuan berhadapan dengan senja, mereka sesungguhnya sedang bertatapan dengan Tuhan. Definisi cantik itu nomor sekian. Nomor satunya, rasa syukur. Tuhan membuat perempuan bersyukur lewat senja.

Dan ketahuilah. Rasa syukur itulah yang menjadikan seorang perempuan cantik, David.

"Njaaaa!" Dari arah luar, suara itu kembali terdengar. "Airnya keburu dingin, nih! Katanya mau mandi air hangat?"

"Iya, Ma! Sebentar lagii!"

David: Kalimatmu edan. Aku makin gila sama kamu. Aku ralat ucapanmu, ya. Kalimatmu sendiri yang membuat kamu cantik. Bukan aku.

Senja: Tuh, kan. Mulai, deh.

Ada beberapa jeda sebelum dia mengetikkan kalimat di bawah ini.

David: Jadi itu alasan mengapa nama kamu Senja?

Ah.

Membacanya, aku terhenyak. Jariku mendadak kelu. Ada segelintir pahit yang ikut terhembus bersama napasku.

Ragu, tanganku mulai mengetik sesuatu.

Senja: Ya, mungkin.

"PANTJA!"

Pintu kamarku terbuka. Mama tampak geram dengan tangannya yang berkacak pinggang.

"Cepat mandi! Kamu tuh, ya, jadi cowok kok pemalas amat, sih. Harus digertak dulu. Ayo, kuliah kan kamu hari ini?"

Aku menoleh. "E-eh, ya, Ma. Pantja mau mandi."

Mama pun keluar kamar. Napasku kembali lega. Ekor mataku kembali melirik layar laptop.

David: Aku mencintaimu, Senja.

Oh, Tuhan. Aku akan masuk nerakamu yang mana? Laknatlah aku dengan cinta yang masih sanggup aku tampung.

Sebelum menutup layar, aku mengetik sebuah balasan,

Senja: Senja juga mencintaimu, David.

Aku tersenyum miris.

Senja: Walau aku sulit mempercayainya.

***

557 kata, tulisan ini diikutsertakan dalam kuis flash fiction Perempuan dan Senja.

3 komentar:

  1. bahahahak. :D
    ironi menggelitik.

    BalasHapus
  2. Btw, "Pantja" itu dibaca "panca" dalam ejaan lama.

    BalasHapus
  3. Wahaha, iya. Jatuhnya memang memaksa akibat mentoknya dalam mencari nama dengan akhiran 'Nja'. Terima kasih! :)

    BalasHapus