Jika ada kabut yang ditiupkan Tuhan, berkata:
Siapa manusia yang paling sabar di dunia?
Aku merapatkan kaki dan memeluknya hangat. Menenggelamkan
kepalaku dalam. Sudut mataku sudah mulai goyah. Sibuk meracik simbol untuk gumpalan
rasa yang amat pedih. Lengkaplah sudah.
Lembaran hidup yang berjalan pada seutas benang, dengan kemungkinan terbesar
adalah jatuh.
Jawabannya kujawab lirih,
Aku.
Jika air beriak, memercikkan sebuah pertanyaan:
Masihkah kau menganggap dia adalah kamu?
Napasku tercekat dalam sebuah rasa yang begitu membelit.
Ingin sekali aku berteriak tidak, namun rasanya sulit. Rasa cinta yang sudah
terlanjur menyulut sebuah mantel hangat. Merengkuh tubuhku selamanya. Sulit
dilepaskan.
Bila harus jujur, aku harus mengakui, dia masih menjadi
orang yang bertitel kucinta.
Jika Tuhan mengirimkan petir yang menyambar sekaligus
berkata:
Kau orang yang bodoh. Tidakkah kau bosan? Kau terlalu lama menunggu untuknya!
Aku hanya bisa tersenyum dalam segelintir pahit. Ini adalah
yang kurasa, ini adalah sebuah keanehan. Aku juga tidak tahu apa artinya.
Tetapi semakin aku tak tahu mengapa aku tak samasekali bosan menunggunya, itu
semakin membuatku bertahan, rela hanyut
dalam hantaman ombak yang keras.
Jika awan hitam ikut berceloteh:
Hei, dia mencintai makhluk lain! Tidakkah kau sadar? Kau hanya sekedar temannya, tak lebih! Hilangkan perasaan itu jauh-jauh!
Aku mengedip lagi, hingga tak terasa air mata sudah jatuh
berkeping-keping. Sudah sepuluh tahun, aku menjadi teman dekatnya, sekaligus
orang yang ia percaya. Dan sudah beribu-ribu cerita yang ia berikan kepadaku,
tapi samasekali tak ada cerita yang menyangkut namaku.
Aku menatap langit, angkasa sedang terbahak. Petirnya
semakin menjadi-jadi. Dia sangka aku terlalu mengkhayati peran dalam drama
hidup ini.
Akhirnya hujan turun, membisikkan kata-kata:
Aku tak sanggup melihatmu terus bertahan. Aku tak sanggup cinta menghabiskan kebahagiaanmu, hingga tinggal menyisakan kesedihan mendalam. Haruskah aku menghilangkan cinta untukmu?
Aku tersenyum lagi. Aku menggeleng pelan. Hujan menyamar
menjadi tangis, hingga menyembunyikan air mata yang terus ada. Walau imaji
terus muncul, menggambarkan dia yang melihatku sampai begini karenanya.
Aku hanya bisa menjawab. Tak usah, hujan.
Karena jika cinta hilang, dia tak lagi bahagia dengan orang
yang ia cinta.
Jika dia tidak bahagia, aku semakin terpuruk.
Karena hidupku sudah menyimpulkan sendiri,
Cukup aku yang mencinta. Cukup ia yang bahagia. Aku sudah
puas. Sangat puas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar