Halaman

Sabtu, 05 Mei 2012

Agen Mars (1)

Kali ini, saya ingin mempublikasikan cerita untuk suatu sayembara yang sama. :D Karena terlalu panjang, saya membaginya menjadi dua bagian. Selamat Membaca! :D

***

Awan menggantung dengan wajah memelas. Berusaha menahan kepedihannya agar tidak tumpah ke mana-mana. Budi dan Mimi terlalu kecil untuk melakukan ini semua. Awan ingin sekali gemertak, marah dan protes terhadap Tuhan, mengapa hidup ini tidak terasa adil. Namun semuanya lagi-lagi tertahan–Tuhan tak mau mengungkap semuanya cepat-cepat.
“Kak, kenapa sih sampahnya banyak banget? Mimi kan capek,” ketus Mimi dengan bibir yang maju ke depan. Tangannya tak berhenti bergerak memungut sampah-sampah yang menyesaki pinggiran jalan kota.
Budi mendongak, tersenyum kepada adiknya, “Mimi, itu sudah menjadi adat istiadat bagi penduduk kota ini: Membuang sampah sembarangan. Susah diubah!”
Mimi menyeka keringatnya yang terus mengucur, seolah kepenatannya sudah penuh dan menubruk dinding otaknya. “Tapi kenapa harus begitu, Kak? Mimi capek. Bukan fisik Mimi saja yang capek, tetapi semuanya. Hati Mimi terlalu sering bertanya-tanya, kenapa Mimi tidak sekolah seperti anak-anak yang lainnya, tidak memiliki rumah yang bagus seperti yang lainnya dan banyak sekali hal-hal yang seharusnya Mimi miliki, tetapi tidak Mimi miliki,”
Budi menghela napas, “Kan sudah berapa kali Kakak bilang, kita itu–”
“Apa? Agen Mars? Agen yang berasal dari Mars, ditugaskan Tuhan untuk mengawasi tingkah laku manusia di Bumi? Alien yang bertugas membersihkan bumi? Kak, kenapa sih Kakak sangat percaya dengan cerita-cerita ayah dan ibu?”
Budi menganga lebar, tak percaya dengan penggalan kata yang barusan terlontar itu. “Mimi!”
Belum saja penjelasan belaka akan muncul dari bibir Budi, Mimi sudah berlalu pergi. Berjalan dengan langkah panjang sambil terisak tangis. Tak ada kepala yang menengok menghampiri mata Budi. Semuanya sudah berhiaskan punggung kecil yang berlalu pergi.
Budi tercenung dalam kata-kata yang baru saja Mimi ucapkan. Entah kenapa itu serasa mematikan hati untuk terus bersabar. Mimi sudah besar. Wajar dia berpikir seperti itu. Namun yang tidak bisa Budi yakini, bahwa adiknya ternyata sudah mengambil langkah yang tak pernah ia duga sebelumnya.

***
Langkah yang terseret-seret menderap di atas tanah. Melaju menuju sebuah bangunan kardus, yang berada di lorong sempit, menyempil di antara rumah-rumah yang sesak.
Budi membuka pintu rumahnya, memandang Mimi yang sudah memojok di sudut ruangan. Suaranya serak ditelan tangis yang terus melanda. Markas lagi-lagi penuh akan air mata.
“Mimi…” panggil Budi pelan.
Mimi pun mendongakkan kepalanya, menampilkan wajah sendunya yang menyedihkan. Matanya mengunus kedua bola mata kakaknya lamat. Hingga Budi tergidik merinding. Adiknya tampak sudah benar-benar muak.
“Mimi, iya, Kakak mau–“
Belum kalimat itu selesai dilontarkan, Mimi sudah memeluk hangat Budi. Kepalanya merutuk-rutuk di dada Budi. Kesedihannya, kekesalannya, ketakpuasannya, ditumpahkan saat itu juga.
“Maafkan Mimi, Kak. Mimi yang salah,” Napasnya tersendat-sendat karena diselingi tangis. “Seharusnya Mimi percaya dengan cerita-cerita ayah. Seharusnya Mimi nggak boleh berpikiran seperti tadi,”
Budi tersenyum kecil seraya mengelus punggung Mimi pelan. Dia pun mengajak adiknya duduk bersandar pada dinding rumahnya. “Mimi, wajar bila kamu tak percaya. Dulu, Kakak juga pernah berpikiran seperti itu,”
Air wajah Mimi seketika berubah penasaran, “benarkah?”
“Benar,” Budi menganggukkan kepalanya. “Awalnya Kakak juga tidak percaya dengan apa yang Ayah bicarakan. Bahwa kita adalah alien, makhluk yang sudah dicari-cari oleh banyak orang,”
“…lalu?”
“Tetapi, entah mengapa, rasa itu timbul seketika. Mungkin memang Kakak belum percaya, bahwa raga Kakak ini adalah tubuh alien –tapi akhirnya Kakak menyadari, bahwa Kakak benar-benar menjalankan misi menjadi alien Mars,” Budi tersenyum, mengambil napas panjang. “Raga ini sudah ingin berhenti untuk menjadi tukang sampah, memungut sampah-sampah di jalan, tetapi jiwa ini tidak mengatakan begitu. Seolah ada radar dari Mars –tempat asal kita yang mengirimkan, bahwa Kakak harus ingat misi mengapa Kakak diturunkan di bumi ini. Menjaga bumi dengan sebaik-baiknya,”
Wajah serius Mimi berubah dengan kening yang merengut bingung. “Tapi, kenapa kita harus menjadi alien miskin, Kak? Mimi bisa kok, jadi orang kaya yang sayang dengan bumi. Mimi bisa ke sekolah dengan naik sepeda, menggunakan peralatan hasil daur ulang, tidak seperti sekarang. Kita menjadi tukang sampah jalanan,”
Budi tersenyum puas, “Itulah yang dinamakan misi rahasia. Kamu bisa lihat kan, bagaimana orang-orang mapan di luar sana? Mengobral karbondioksida sembarangan, membuang sampah seenaknya, kantung belanja yang terus ditemukan, mereka benar-benar lupa dengan bumi, Mimi. Kalau kita menjadi alien kaya, kita bisa-bisa dicurigai bukan manusia. Kita bisa ditangkap, dimasukkan ke dalam museum astronomi, bahwa kita adalah makhluk asing dari Mars. Oleh karena itu, anggaplah ini sebuah penyamaran, hanya kau dan Kakak yang mengetahuinya,”
Mimi manggut-manggut mengerti, senyumnya melebar memenuhi udara rumah kardus yang mereka tinggali. Yang mereka anggap markas rahasia utusan-utusan alien dari Mars.
“Sekarang, Mimi akan lebih giat menjalani misi, Kak. Mimi janji, Mimi akan menjadi alien Mars yang baik,” janjinya dengan sunggingan senyum yang indah.
Budi mengangguk kecil, “Ozon pun menitipkan harapan di tangan kita,”
Mereka pun akhirnya terpingkal bersama. Menyulut sebuah kebahagiaan yang sangat sederhana. Tak perlu uang, tak perlu kekayaan. Walau ada seberkas ilusi di antara kebahagiaan mereka. Yang membuat semuanya terasa pelik. Mereka, berdua, terjerat dalam sebuah fiksi yang amat mendalam.

***
Kaki-kaki kecil berlarian di aspal. Membaur dengan teriakan bahagia, yang memanggil sebuah nama, “Kakaaak! Aku pulang!”
Budi mendongakkan kepalanya, matanya langsung terbelalak melihat semua yang dibawa adiknya sendiri, Mimi.
“Kak, lihat, Mimi bawa apa?” tanyanya dengan secercah senyum yang terlampir manis. Meletakkan barang-barang bekasnya ke lantai rumah kardusnya, markas rahasia.
“Ini buat apa, Mimi? Sampah bekasnya kok, banyak sekali?” Budi menggaruk kepalanya kebingungan. Menerka-nerka jawaban apa yang akan diutarakan adiknya.
“Kakak masa tidak bisa tahu? Ini adalah salahsatu untuk menjalankan misi dari Mars, lho. Mimi akhirnya sadar, misi ini benar-benar menyenangkan!”
Budi menaikkan alisnya, “Maksud kamu…bagaimana bisa?”
Mimi menyibakkan rambut panjangnya ke belakang, “jadi, tadi Mimi bertemu dengan anak-anak yang baru saja pulang sekolah, dan mereka menatap Mimi lamaaa sekali. Mimi sempat heran, apa ada yang salah dari diri Mimi? Tapi ternyata, Kak, mereka itu memerhatikan tas mimi!”
“Tas yang kamu baru buat kemarin? Bahan jins?” timpal Budi dengan wajah yang masih kebingungan.
Mimi manggut-manggut sambil tersenyum, “Iya. Mereka juga sempat berbisik-bisik, bahwa tas Mimi itu bagus. Padahal kan, celana jins ini juga dari mereka-mereka. Tapi ternyata, Mimi bisa mengolahnya menjadi barang yang bagus, sekaligus mengurangi penggunaan plastik!”
Bibir Budi menganga lebar tak percaya. Ternyata adiknya bisa secerdik ini. Menggunakan barang-barang bekas untuk sebuah benda yang tak kalah bagusnya dengan barang-barang yang bermerek. Benar-benar inteligensi yang jenius.
“Wah, hebat kamu, Mi. Pasti Bos Mars bangga sama kamu. Ayah dan Ibu, yang sudah lebih dulu ke sana juga pasti bangga sama kamu. Kamu benar-benar agen Mars yang baik!” Budi tak henti-henti melontarkan pujian kepada Mimi. Dia benar-benar manusia yang menyayangi bumi. “Sekarang, kamu mau buat apa dari ini semua?”
Mata Mimi menyapu luas barang-barang di depannya. Bayangan-bayangan tentang benda yang indah sudah mondar-mandir di otaknya. “Tempat pensil dan… vas bunga!”
“Bagaimana caranya?”
Jemari-jemari kecil Mimi mulai terampil dengan barang-barang di depannya. Ia mulai meraih botol dan mulai menggunting di sana-sini. Menghasilkan imaji yang sangat proporsional untuk sebuah tempat pensil di otak Budi.
“Botol ini digunting melingkar, tak penuh satu lingkaran, jangan sampai putus, lalu…” Mimi mulai menjelaskan langkah-langkah selanjutnya. Untaian-untaian kata yang membuat Budi memekik takjub. Lewat tangannya, lahir sejumlah barang yang tak pernah disangka. Mimi terlalu asyik hingga terjun ke dalam dunia seninya, hingga hasilnya pun tak main-main. Luar biasa bagusnya.
Menyadari dua bola mata yang terus memandang gerak-geriknya, Mimi pun memberhentikan pekerjaannya. “Kok, Kakak melihat Mimi terus?”
Budi menggeleng-geleng, “Nggak, kok. Sudah, teruskan lagi,”
Seolah ada yang melintas sejenak di otak Mimi, tiba-tiba senyumnya merekah lebar. Kebahagiaan mulai tersirat kembali. “Ya ampun, Mimi sampai lupa. Kakak mau dibuatkan juga, ya? Kakak mau apa? Mobil-mobilan? Tas juga? Atau…”
Budi menggeleng lagi, “nggak perlu, Mimi. Semuanya buat kamu,”
“Jangan, Kak. Kakak juga harus mendapatkan sebuah barang yang merupakan karya dari Mimi sendiri! Itu juga bisa menjadi sebuah kenang-kenangan, kan?” serunya girang. Dia mulai bangkit dari tempat duduknya, melompat-lompat menuju daun pintu.
“Lho, kamu sekarang mau kemana, Mi?” tanya Budi kebingungan.
Mimi membalikkan badan, dengan sinar matahari yang juga menyorot langsung. Membuat tubuhnya menjadi siluet yang sangat anggun. “Aku ingin mencari bahan-bahan yang lain, untuk membuat suatu barang yang akan diberikan kepada Kakak,”
Budi menyimpulkan senyum. Menatap siluet yang beranjak pergi, dengan rambut yang berkibar ditiup angin. Tungkai kecil itu berlari, semakin beranjak jauh, hingga bayangannya semakin kecil, sampai hilang tak terlihat.
Namun, rasanya ada yang aneh. Ada segugus rasa yang datang tiba-tiba, menjelaskan–semua fiksi ini akan berakhir tak lama lagi.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar