Halaman

Minggu, 26 Februari 2012

Kolaborasi Mimpi (1)

Sebenarnya post ini adalah naskah sayembara yang tak jadi kukirim. Karena... saya salah membaca kriteria dan syaratnya! :]. Awalnya, naskah ini akan saya kirim untuk 'Andrea Hirata Song Book', namun... ternyata cerita itu harus berdasarkan kisah nyata. Bukanlah fiksi. *melengos*. Jadi, daripada naskah ini mematung di dokumen tanpa ada yang baca, saya post disini. Karena terlalu panjang, saya bagi menjadi beberapa bagian.

Selamat... membaca!

***

Secercah bayangan selalu mengikuti langkah mereka. Bayangan yang tak pernah mengeluh kesah atas keringat yang terus membanjir. Bayangan yang menjadi teman berkelana yang paling setia bagi mereka. Bayangan tak pernah menolak ingin dibawa kemana oleh mereka. Bayangan selalu membuyuti dan pasrah walaupun akan diajak ke tempat yang paling menjijikan.

Bayangan tak pernah menolak jika ditakdirkan harus mengikuti manusia. Sekalipun manusia itu beruntung atau tidak, bayangan tetap harus menjalankan tugasnya.

“Kak, kita akan berhenti kapan?” celoteh adiknya. Ia terus menyeka keringat yang mengguyur tubuhnya basah. Mengangkut karung beras yang berisi sejumlah sampah bukan suatu hal yang mudah bagi seorang bocah kecil.

Kakaknya memandangnya letih. Berjalan dan memunguti sampah yang ada memang sangat melelahkan. Tapi apa boleh buat, ia tidak bisa menolak takdir yang sudah menghantam hidupnya keras. Dia juga tidak boleh menyesali hidup. Dia diutus untuk ke dunia, bukan karena niat sia-sia. Dirinya yakin, Tuhan memiliki alasan yang sangat kuat untuk dirinya agar hidup.

“Sedikit lagi. Sampahnya juga sedikit lagi. Jika kita tak mau ditampar Bang Boni,” cetus kakanya pelan. Matanya menerawang wajah Bang Boni yang marah bila dia dan adiknya tidak bisa mengumpulkan sampah yang lebih banyak. Namun memang Bang Boni harapan hidupnya saat ini. Bila dirinya tidak menemukan Bang Boni, dia yakin dia tidak bisa terus melangkah sampai sekarang.

Adiknya mengernyitkan bibir mungilnya. Menghela napas berat dan menaikkan karung ke pundaknya lebih kuat.

Sementara kakaknya menyunggingkan senyum kepastian. Merangkul adiknya dengan rasa bangga yang membahana. Jika dunia bertanya siapa bocah-bocah yang mengerti arti kehidupan, mereka akan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan melambai-lambai agar lebih jelas.

Karena arti kehidupan tidak terbatas, sementara hidup terbatas. Namun keterbatasan hidup bukanlah dinding penghalang untuk terus mencari. Mencari makna dan tujuan mereka terlahir di dunia.

Bayangan mereka lagi-lagi tersenyum. Terbahak kecil melihat dua siluet yang merangkul satu sama lain. Dan merasa bangga menjadi bayangan jejak bahagia mereka.


***

Manusia lain selalu membuang sisa.

Namun mereka selalu memanfaatkan sisa.

Dibawah matahari yang akan segera menutupi permukaan, mereka tampak sibuk dengan urusan masing-masing.

Damar sedang sibuk dengan botol mineral bekas. Membuat lubang di sana dan menancapkan potongan kardus. Membuat baling-baling dan membuat sayap. Membayangkan sedikit harapan yang akan sangat membekas.

Sementara Dio bercengkrama dengan kardus yang lebih besar. Mengerutkan kening dan memutar otak sejenak. Sketsa-sketsa bangunan bertumbuk menjadi satu di benaknya. Tak jarang ia menampilkan senyum jika menemukan ide yang fantastis untuk dipraktekkan.

Jemari Dio tampak lihai menggunakan pisau bekas. Pisau lipat yang sudah berkarat tanpa menghiraukan bahwa ada bibit tetanus di sana. Dengan tenaganya, dia berhasil memotong kardus itu menjadi beberapa bagian dan merangkainya perlahan.

Sedangkan Damar sibuk memutar baling-baling pesawat mainan barunya. Berandai-andai bahwa terbang ke langit sangatlah indah. Menembus awan-awan dan berada lebih tinggi dari burung-burung. Mengenakan seragam pilot yang gagah. Bertanggung jawab atas kehidupan orang lain yang dititipkan padanya.

Damar bangkit berdiri. Berputar dan berlari membawa pesawat mainannya. Membiarkan baling-baling pesawatnya diterpa angin kencang. “Pesawat Damar Indonesia akan melaju kencang menuju benua Eropa!” teriaknya bahagia. Kakinya melompat gembira. Menyentuh bumi tanpa alas kaki. Mengajak dunia untuk bersorak sorai bersamanya. Mengajak angin yang menghempas untuk menari bersamanya.

Dio memicingkan mata. Siluet adiknya menari-nari di bawah senja. Memancarkan senyum dan radar mimpi yang akan terwujud. Dia membuang peluhnya puas. Dia menepuk tangannya keras dan meneriakkan nama adiknya.

“Damar!”

Tarian itu berhenti. Damar membalikkan badan dan menatap sumber suara yang memanggil namanya. Kakaknya berada di samping sebuah bangunan berbentuk kubus. Bangunan yang menyerupai tempat berteduh. Bangunan yang memiliki sebuah atap. Bangunan tempat berlindung. Rumah! Dia memiliki rumah!

Damar berlari-lari kecil dengan bibir yang merekah layaknya bunga. Menuju dekapan peluk yang telah disiapkan Dio. Memeluk kakaknya erat dengan butir-butir air mata turun tanpa diundang.

“Kita memiliki rumah, Kak?” tanya Damar dengan tangisan yang masih terisak. Baru kali ini ia menangis karena bahagia. Segera ia memasuki rumah barunya tak sabar. Senyumnya tak berhenti mengembang. Dia terkagum-kagum walau rumahnya berisi tanpa perabotan. Dia tidak mengeluh walau rumahnya terbuat dari kardus.

“Walaupun sempit, setidaknya kita tidak perlu tidur di depan ruko Pak Raja, kan?” Dio merangkul adiknya. Senyumnya tak berhenti mengempis. Rumah memang menjadi dambaannya sejak harus hidup berdua dengan adiknya. Sejak mereka ditinggal maut oleh kedua orangtuanya.

“Dan kita tidak akan diomeli Pak Raja lagi!”

Dio tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Melihat adiknya bahagia itu sudah lebih dari cukup. Mungkin ini jawabannya. Jawaban mengapa ia masih harus melanjutkan hidup. Jawaban mengapa ia tidak ikut bersama orangtuanya ke alam sana. Ya, dia masih memiliki satu malaikat yang harus dilindungi, Damar.

Dio membuang napas panjang. Tak henti ia mengucap syukur. Tuhan selalu menyisakan bahagia bagi makhluknya. Kebahagiaan memang bukan harta. Namun adalah waktu di mana manusia masih memiliki kesempatan untuk bersyukur.

Dan dia hanya bisa berharap agar hujan tak akan datang. Menghancurkan rumahnya yang tidak tahan air.

Bersambung


Terka

Aku tahu kamu mengetahui diriku darimana. Dari sesuatu yang mengikutiku setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik. Ya, Bayangan. Yang kau ciptakan sendiri. Aku hanya dapat menebaknya karena kamu tak segan-segan muncul dihadapanku. Bahkan jutaan orang yang menyaksikanmu berdiri kokoh. Bahkan anak kecil saja mengenalmu. Mereka melukismu di selembar kertas dan meletakkanmu di antara dua pegunungan.

Kau bisa tebak, siapa?


P.S. Tak salah bukan, aku menulisnya di tengah musim dingin yang melanda? :-)

Jumat, 24 Februari 2012

Bayangan


Bayangan- 1. Pemalu, pengumpat, selalu berlindung dalam naungan manusia ; 2. Lukisan jejak-jejak yang ada ; 3. Takut akan gelap ; 4. Senang beratraksi di bawah sinar matahari yang menyembur ; 5. Sebuah seni yang menakjubkan ; 6. Sebuah jawaban untuk hal yang paling setia bagi manusia.

Kita tak akan pernah menunggu dan menolak bayangan, Dia selalu singgah sebagai takdir pada setiap makhluk.
-Sofwan Rizky

Seri Hewan: Perkenalan

Saya harus mengucapkan 'halo' lagi? :-)
Ya, entah apa yang saya mimpikan semalam, hari ini saya menemukan buku-buku tulis sejarah penulisan saya. *halah*

Tapi memang benar. Dari dulu saya sudah menulis, namun di buku tulis. Menulis dengan tangan. Bukan seperti ini. Dulu saya belum canggih, EYD juga masih suka-suka. Semua dituang sesuka hati.

Jadi dulu saya niatnya ingin membuat buku karena melihat banyaknya penulis cilik yang datang. Dan lucunya, yang saya tahu mengirim naskah itu lewat buku tulis, bukan lewat print-out. Jadi, terciptalah sebuah karya yang saya buat dengan tulisan tangan.

Dan cerita ini salahsatunya. Saya menemukan buku tulis kumpulan-kumpulan cerita hewan yang saya rangkai sendiri saat masih sekolah dasar. Cerita ini baru sampai bab tujuh. Intinya, cerita ini belum selesai. Karena saya sudah malas melanjutkannya. -_-

Tetapi... saya akan menulis ulang kembali cerita itu lewat blog ini! Sebelumnya, ada beberapa tokoh yang ada dalam buku tulis itu:

1.Tiny (Kura-kura): Bijaksana.
2. Rabb (Kelinci) : Ceroboh.
3. Acorn (Tupai) : Lucu, IQ-nya tinggi. (Tertawalah!)
4. Hams (Hamster) : Ceria.
5. Teddy (Beruang) : Sombong.
6. Doggie (Anjing) : Ngantuk sejati.
7. Duck (Bebek) : Periang.
8. Burd (Burung Hantu) : Insomnia sejati.

Mungkin nama-namanya memang aneh-aneh. Dan tujuh bab yang saya akan ceritakan juga pasti aneh. Kepolosan akan hal-hal yang tak lucu menjadi lucu akan terlihat. Saksikan saja, ya.

Seperti yang saya bilang, saya akan menyebarkannya untuk kalian.

Selamat menikmati cerita-cerita hewan yang... absurd!

Kantin Bu Marni

Ha-lo!
Post ini bukanlah post baru, bukan ide baru, bukan utusan tentara baru dari otak saya. Melainkan sebuah cerita yang sudah lama, hampir terlupakan, namun kini muncul kembali. Diawali dengan ditemukannya buku tulis yang berisi cerita tersebut. Cerita ini saya tulis saat lomba mengarang -saat menduduki sekolah dasar. Dan cerita ini yang membuat saya menang. :-D

Cerita ini sedikit direvisi, agar nyaman dibaca.
Selamat mencicipi!

***
Pada suatu hari, terdapat sebuah sekolah bernama SD Barisan Membentang. Di sekolah itu, terdapat dua kantin. Kantin itu terdiri dari kantin Bu Marni dan kantin Pak Karjo. Dua kantin ini sangatlah berbeda. Bukan dari barang jajakannya, namun dari ramainya kerumunan yang terlihat. Kantin Bu Marni sangatlah ramai pembeli, sedangkan kantin Pak Karjo sangat sepi.

...Dan ini yang membuat Pak Karjo menjadi iri.

Akhirnya Pak Karjo mempunyai niat jahat, ia ingin menghancurkan kantin Bu Marni.

"Lihat saja, kantinmu akan hancur!" dengus Pak Karjo kesal. Matanya membesar lebar. Wajahnya marah tak terkendali.

Sedangkan di Kantin Bu Marni, tampak banyak pembeli disana. Sampai-sampai Bu Marni jadi kewalahan. Tetapi, dia terus tersenyum. Menyingkirkan rasa lelahnya.

"Alhamdulillah, penghasilanku setiap hari semakin banyak," syukurnya.

***
Saat malam hari, Pak Karjo sedang berjalan dengan hati-hati. Sengaja ia memperkecil langkahnya. Dia berjalan mengendap-ngendap karena ingin menghancurkan kantin Bu Marni. Malam itu sangatlah gelap, tidak ada penerangan. Sehingga terkadang mengganggu penglihatan Pak Karjo.

Pak Karjo mulai menghancurkan kantin Bu Marni. Derai gelas yang pecah terdengar keras. Berbagai perabotan jatuh ke lantai dengan tidak semestinya. Semuanya berantakan. Hancur.

Pak Karjo tersenyum puas. Menahan rasa tawa yang berkecamuk. "Rasakan ini, Marni!"

***
Keesokan harinya, Pak Karjo merapihkan bajunya. Berjalan dengan gagah menuju kantin Bu Marni. Ocehan-ocehan buruknya sudah menunggu untuk dilontarkan. Matanya tak sabar untuk melihat tangisan Bu Marni.

Sesampainya disana, Pak Karjo terbelalak.

Kantin Bu Marni tampak seperti biasa, ramai pembeli, rapih, dan lengkap. Tak ada satupun yang hancur. Tak ada yang rusak. Semuanya seperti biasanya.

Pak Karjo menelan ludah. Firasat buruk menghantamnya kencang.

Dia berbalik badan dan menatap kantinnya. Kantinnya berantakan. Hancur. Rusak. Benda-benda bertebaran di lantai. Barang jualannya dikelilingi lalat karena jatuh ke aspal.

Dia gemertak kesal. Mengerti akan siasat buruknya yang mengenai dirinya sendiri. Ternyata kemarin malam dia menghancurkan kantinnya sendiri, bukan kantin Bu Marni. Dia kesal mengapa langit begitu gelap. Dia benci mengapa langit begitu akrab dengan Bu Marni.

Segera dia menyimpulkan,

Senjata makan tuan!

Selesai

Senin, 20 Februari 2012

Ilusi Optis

Post ini beda dari biasanya. Bukan menampilkan cerita fiksi, melainkan sebuah penghargaan untuk diri saya sendiri. Masalah ini sebenarnya sangat simpel, namun benar-benar menjadi sesuatu yang buat saya kesal sendiri. Saya tidak tahu apa yang ada di otak kalian setelah melihat kebodohan saya, bisa tertawa terbahak-bahak atau ikut bingung juga.

Gambar dibawah ini benar-benar membuat saya frustasi. Pertanyaan ini timbul sejak saya kelas 4 SD dan baru terpecahkan sekarang. Tahun 2012. Saya enggak tahu mimpi apa semalam sampai saya bisa menemukan jawabannya.

Kalau kalian melihat usaha saya dalam memecahkan makna dari gambar ini, saya sangat berusaha. Dari memutar kepala seratus delapan puluh derajat, melihat dari sisi pandang yang beda, dan sampai akhirnya saya menemukan tanpa harus menggerakkan kepala satupun.

Dan ini gambar yang sangat BERKESAN dalam hidup saya. Termasuk 5 tahun terakhir ini:Gambar ini wanita muda atau seorang nenek-nenek?

Bagi orang yang mengerti:

(Tertawa puas)
Bagi orang yang tidak mengerti:
(Melongo) Dan hati kecilnya berkata: Senasib. Ini memang sulit!

Saya tidak tahu kalian termasuk yang mana, yang jelas sekarang saya tidak bertanya-tanya lagi, karena saya sudah bisa membayangkan wajah nenek-neneknya! (Wanita muda sudah terbayang jelas).

Jika kamu tidak bisa membayangkannya, saya enggak kasih jawaban. Biar kamu cari jawabannya. Saya sendiri sampai lima tahun baru menemukannya!

Bicara soal Ilusi Optis, ada beberapa gambar yang membuat saya berdecak kagum! Gambar itu antara lain:Jika diperhatikan, Daunnya tampak bergerak seperti gelombang!
Dari dekat memang Albert Einstein. Setelah kamu beranjak jauh, dia menjadi...
Jendelanya menghadap kemana? Kanan atau kiri?

Mungkin itu saja. Itu saja. Hanya ilusi optis tersebut yang membuat saya gila. Ya, gambar wanita muda atau nenek-nenek itu. Terimakasih telah membaca penghargaan yang sebenarnya untuk diri saya sendiri.

***


Kamis, 16 Februari 2012

Ucil

Suara decitan pagar menggema keras. Kilan berlari-lari kecil menuju ambang pintu rumahnya. Langkahnya tampak terseok-seok. Bibirnya mengernyit. Dengan gerak seadanya, dia membuka pintu dan...

"Ma, Ucil telah pulang!" teriak adiknya dengan senyum licik. Kilan hanya bergeming kaku. Diam tak membantah. Kilan segera berlalu dan membiarkan adiknya larut dalam gelak tawa.

Kilan memasuki kamarnya. Membanting tubuhnya bebas pada tempat tidurnya. Menyumbat telinganya untuk mendengar lantunan lagu klasik kesukaannya. Dia melengos pelan.

Dia tidak bisa membantah. Kenyataan tidak bisa dialihkan. Tubuhnya yang mungil sangat tertera jelas dari mata-mata manusia. Tubuhnya kurus dan ditambah tingginya yang seperti anak sekolah dasar.

Dia menghela napas berat. Menyadari bahwa dirinya memang aneh. Jika dibandingkan adiknya yang masih duduk di sekolah dasar, orang-orang pasti melihat bahwa Kilan yang menjadi seorang adik dibandingkan Keara, adiknya.

Semuanya berjalan dengan konyol. Beratnya tak juga naik menerima asupan makanan cemilan. Tingginya tak juga bertambah mengingat susu yang bergelas-gelas masuk ke dalam tubuhnya.

Kemana semua gizi yang ada? Termakan cacing? Macet di tengah jalan?

Kilan memejamkan mata. Membuyarkan semua pikiran yang tadi menghinggap di otaknya. Batinnya terus berkata dalam sebuah kehendak yang tidak diinginkan. Satu kata yang masih menancap di benaknya.

Kelainan. Aku bukan kelainan.

***
Matanya menyapu kertas tersebut. Bola matanya tak mengecil sejak tadi. Sejak kertas itu melayang dan mendarat di wajahnya saat ia baru membuka mata dari tidur siang.

Barisan-barisan alfabet membuat matanya terbelalak. Tak percaya. Jantungnya berdegup tak beraturan. Tak ada manggut-manggut yang menghiasi wajahnya. Mimiknya tampak tegang.

INSTITUSI TINGGI TAK HENTI.

Kilan membacanya sekali lagi.

Sebuah tawaran menarik bagi kalian yang merasa mungil! Tak ada yang perlu dikeluhkan! Semua ada jalannya! Tuhan menciptakan manusia awalnya sama! Hanya hambatan di dunialah yang merubah semuanya!

Alisnya menaik heran.

Jika otakmu mengatakan, ya. Jangan berpikir-pikir lagi! Kau tunggu di teras rumahmu pada jam dua belas malam! Tak usah bawa sesaji, aku bukan makhluk termulia! Siapkan saja dirimu disana, karena kami akan menjemputmu!

Kilan mengerutkan kening tak mengerti.

Datanglah kepada kami sebelum paku takdir menancap di dirimu!

Dia menutup kertas itu cepat . Napasnya menghembus berantakan. Pertanyaan-pertanyaan menyerbunya pada satu titik. Semuanya bertemu. Menunggu sebuah keputusan.

***
Gesekan sendok dengan dasar cangkir menjadi serenade satu-satunya yang terdengar pada malam itu. Keputusannya sudah membulat pas. Dia akan menerima tawaran itu.

Dia segera meletakkan cangkir di meja. Duduk manis di kursi depan teras. Menopang dagu sambil menunggu seseorang. Pasrah akan angin yang menghantamnya dingin.

Tiba-tiba suara gemerisik pepohonan menyertai malam itu. Pagar tergeser dengan sendirinya perlahan. Sebuah langkah semu terdengar dan menyelusuri indra Kilan.

Kilan meremas pegangan besi kursi. Badannya gemetar kuat. Dia menggigit bibirnya dengan wajah bingung. Otak sudah menyuruhnya untuk bangkit, namun entah apa yang menariknya untuk tetap duduk.

Langkah itu semakin dekat.

Pita suaranya nekat untuk teriak, tetapi tiba-tiba tertahan sendirinya.

Tangan Kilan diremas kuat oleh seseorang tanpa wujud.

Mencekiknya perlahan.

Membekap mulutnya keras.

Menekan urat nadinya.

Sampai Kilan merasa dirinya sudah hilang tak berwujud.

***

Matahari menyembul dari permukaan. Semburatnya menyerang dataran bumi yang membentang panjang. Menghiasi lolongan panjang Keara.

"MAAAA! KILAN HILANG!"


***
Seorang ayah merangkul istri dan anaknya kuat. Perjalanan mereka ke Paris terasa hampa tanpa kehadiran seseorang. Butir-butir air mata menjadi pemandu perjalanan mereka. Keara tak berhenti menangis dan mengutarakan isi hati sendunya.

Keara merebahkan kepalanya. Menetralisir darah-darah yang tadi bertumbuk menjadi satu. Paris, suatu tempat impian Kilan. Tempat yang sangat ingin ia kunjungi.

Sudah sepuluh tahun sejak peristiwa lenyapnya Kilan. Keluarganya sudah berkerja sama dengan pihak polisi untuk mencari keberadaan Kilan, tetapi hasilnya nihil. Kilan tidak ditemui. Kilan lenyap ditelan dimensi. Tak ada jejak-jejaknya yang tertinggal.

Kata Paranormal yang telah mengecek seluk beluk hilangnya Kilan, satu bukti yang menyatakan kuat bahwa Kilan diculik iblis adalah surat dari Institusi Tinggi Tak Henti yang terdampar di tempat tidur Kilan. Mereka berpendapat, bahwa iblis ini mengincar Kilan sejak lama. Ditambah dengan keluhan Kilan tentang fisiknya yang menggunung tinggi.

Tiba-tiba seorang pramugari membawakan keluarga Keara sebuah hidangan masakan. Aromanya sudah terhirup harum oleh indra manusia-manusia di sana.

Menunya adalah: Spagetty, sup jamur dan susu.

Otak Keara berhenti seketika. Masakan ini benar-benar kesukaan Kilan. Ada susu yang sangat ia gemari. Yang membuatnya minum sampai bergelas-gelas. Tetapi, Keara menemukan sebuah kejanggalan. Entah mengapa. Ada firasat yang menyertai dirinya.

Segera ia memandang pramugari itu dari sepatu hak tinggi, menuju rok yang bermotif batik, sampai...

"Kau masih ingin memanggilku Ucil?" tanya pramugari itu dengan tatapan menggoda.

Sejenak Keara berpikir untuk memilih kata yang tepat untuk diungkapkan.

"KILAN!"

Selesai

Cerita Kecil Ashton

Nah! Ketemu lagi sama saya. Sekian lama tidak ada sebuah sapaan, akhirnya sekarang timbul dari post ini. Kali ini tidak ada ide baru, tidak ada cerita baru. Yang ada hanya cerita lama yang muncul kembali. Cerita ini sudah lahir dari tahun 2010. Namun baru merasakan dunia tahun 2012. Dia sama seperti manusia. Tidak pernah merasakan hidup saat baru lahir.

***

"Ellie,Tunggu!"

"Apa yang kau mau Andre?"

"Aku ingin bicara sebentar ! Jadi selama ini..."

"Selama ini apa? cepatlah, aku tak punya banyak waktu...!"

"Aku... Ingin mengungkapkan perasaanku kepadamu.."

"Maksudmu apa?"

"Emmm..."

"Jangan buang-buang waktuku Andre!"

"Ok, Aku.."

Aku mematikan tv, lagi-lagi adikku menonton acara yang tak patut untuk ditonton dia, sebagai anak yang masih dini.

"Ah Kakak apa-apaan sih! menggangu saja!" protes adikku, Ashton.

"Kau yang apa-apa! acara tadi tak patut untukmu!" jawabku puas.

"Apa salahnya? aku sudah kelas 6 SD! Aku sudah masuk masa pubertas,maklumilah!" jawabnya.

Aku tak kehilangan akal.

"Besok kau try out, lebih baik kau belajar daripada menonton acara ini!" jelasku.

"AAAAH! Dasar kakak yang tak bisa mengerti adiknya!"

Adikku meninggalkan ruang tv, dan masuk ke kamarnya. Aku menghela napas, Huuh, dasar anak zaman sekarang, ujarku dalam hati.

Oh iya! namaku Jack Robinson, panggil ku cukup dengan 4 huruf saja, Jack!

Setelah kalian mendengar kejadian tadi, kalian bisa menggambarkan sifat adikku yang satu ini?

Ok, sebaiknya aku ceritakan ya!

Antony Ashton namanya. Akhir-akhir ini atau sebut sajalah semenjak dia menduduki bangku kelas 6! Sifatnya berubah drastis! dia selalu menuntut bahwa dia sudah memasuki masa pubertas, dan bisa melakukan apa saja!

Aku berkali-kali mengingatkannya, dia selalu mengelak. Berbagai-bagai alasan selalu dilontarkannya.

Perasaan saat aku kelas 6 aku tak begini.

Apalagi, Ashton sedang duduk di kelas 6, dia sudah banyak Try Out dan ulangan harian. Apalagi nanti akan ada UASBN yang akan dihadapinya, tapi dia malah sibuk dengan tayangan per-episode yang tayang rutin setiap hari pukul 19.00, ah entahlah dia yang butuh nilai, bukan aku.

***

Keesokan Harinya...

Jam dinding kamarku menunjukkan pukul 19.00 aku menutup buku biologi, dan menuju ruang tv dan memastikan apakah adikku yang satu ini, Ashton sedang menonton film percintaan atau belajar.

Kulihat bangku tv kosong, aku bersyukur dia sedang ada di kamarnya.

Aku pun menuju ke kamarnya. Tanpa basa-basi aku langsung masuk. Ashton terkaget. Dia terlihat belajar, tapi entah kenapa saat aku masuk dia langsung buru-buru merapikan buku tulisnya.

"Kakak, kalau mau masuk kamar seseorang ketok-ketok dulu lah!" serunya

"Oh, maaf, kau sedang mengerjakan PR?" tanyaku.

"Ya, kak buatkan aku Milo hangat dong!" pintanya.

"Adikku tersayang, kau mempunyai kaki, kau bisa menggunakannya dengan baik kan?"

"Sekali-sekali kak."

"Syukuri kakimu dik,"

Ashton menghela napas, dia beranjak dari kursinya, dan menuju ke dapur. Aku melihat tugas nya-Ashton, ya benar sih, tugas Bahasa Indonesia, tugas membuat puisi.

Aku kaget, mataku terbelalak. Adikku yang satu ini membuat-puisi-cinta-kepada-seseorang-bernama Anna!

Adikku masuk membawa gelas milo hangatnya, matanya langsung melotot saat aku memegang dan melihat buku tugas bahasa indonesia-nya. Dia menaruh gelas milonya di meja, dan merebut buku tugas bahasa indonesianya dariku.

"ARGH! KAKAK!" serunya.

"Oh-oh. Ternyata adikku yang satu ini sedang jatuh cinta, toh." ujarku.

"Ya, Wajarlah!" jawabnya.

"Eh, kalau boleh komentar, puisimu bagus juga, sungguh aku baru melihat kau sepuitis ini dik." ujarku.

"Ah apa sih kau ini!" komentarnya.

"Hmm, sepertinya kau sangat mengkhayati puisi itu. Apa yang kau suka darinya?" tanyaku.

"Kau tak perlu tahu, Kau ini ikut campur urusan orang lain saja! Ini urusanku!" protesnya.

"Oh, baiklah jika itu yang kau mau." aku pun meninggalkan kamar Ashton. Ashton terlihat masih memegang erat buku tugasnya.

Aku hanya tersenyum di balik pintu melihat kelakuan adikku yang satu ini.

***

Muka adikku terlihat kusam saat pulang sekolah, dia sedikit cemberut, hatiku bertanya-tanya ada apa dengan adikku yang satu ini?

"Adikku tersayang, ada apa dengan harimu ini?" tanyaku.

"Sial, tadi, Anna di depan ku sedang pacaran dengan Ryan!"

Wow! aku terkaget-kaget, adikku pertama kali curhat kepadaku!

"Hah? lalu puisi indahmu yang sudah diukir dengan bagus?" tanyaku menggodanya.

"Sudah menjadi serpihan-serpihan kertas." jawabnya.

Aku sedikit terkikik.

"Begini, kan sudah kubilang, cinta itu akan menjerumuskanmu dik, ya tak selamanya sih. Seperti kakakmu ini, jujur aku pernah suka kepada seorang perempuan, tapi setelah aku melihat perempuan-yang-aku-suka sedang memasukkan tangan ke hidungnya, aku langsung berhenti menyukainya." jelasku panjang lebar.

Adikku hanya mengangguk-angguk.

"Begini, kan kau sudah kelas 6, fokuslah dulu kepada ujianmu, jangan mengurusi persoalan cinta." nasehatku

Lagi-lagi dia mengangguk, aku tersenyum, semoga ini menjadi pelajaran baginya.

***

Aku melihat kalender kegiatan Ashton, dan terlihat lingkaran merah di agenda-nya. Ternyata, besok dia akan menghadapi UASBN. Aku membuka pintu kamar Ashton.

Terlihat dia sedang asik dengan pacar barunya, yaitu buku paket. Aku tersenyum. Kini, aku bangga dengan Ashton dia sudah melupakan sedikit demi sedikit tentang persoalan cinta, dan lebih fokus ke pelajaran.

"Emm.. Ashton, maaf mengganggu belajarmu, hanya ingin nanya, bagaimana kabar Anna dan Ryan?" tanyaku.

"Mereka semakin akrab, malah katanya hari ini mereka sedang jalan-jalan." jawabnya.

"Jalan-jalan? mereka tak belajar? padahal kan esok UASBN?" tanyaku lagi.

"Ya, begitulah mereka."

"Yasudah, kamu lanjutkan belajarnya, semoga besok sukses ya!" doaku kepada Ashton.

"Makasih kak."

Aku beranjak ke kamarku, dan bersyukur kepada Allah atas berubahnya adikku ini, Antony Ashton.

***

Senyum terpancar dari wajah adikku, Ashton. Dia menjadi lulusan terbaik tahun ini, mendapat nilai yang baik. Sebuah medali terlihat di lehernya.

Mataku berkeliaran, dan akhirnya tertuju kepada seorang anak laki-laki dan perempuan di sudut ruangan.

Ya, Anna dan Ryan, mereka tidak lulus karena sibuk dengan cinta. Anna masih menangis di pangkuan ibunya. Ibunya terus menenangkan Anna. Dan tiba-tiba...

POK!

Seseorang menepuk pundakku. Oh, Ashton!

"Kakakku yang paling baik, makasih atas semua nasihatmu selama ini kak. Kalau tak ada kakak, aku tak akan bisa seperti ini! Mungkin aku akan seperti Anna dan Ryan! Sekali lagi, makasih ya kak!" jelas Ashton panjang lebar.

Aku tersenyum.

"Iya,iya. Selamat ya dik, tuntutlah ilmu terus ya!" nasehatku.

Tiba-tiba seorang fotografer bicara kepada Ashton.

"Ini Ashton kan? wah selamat ya! foto dulu deh!" ujar fotografer.

Ashton menarik tanganku, dan merangkulnya.

Cahaya blitz menghampiri mataku, aku sedikit silau. Tapi aku mencoba tersenyum.

Ini pengalaman yang Ashton akan abadikan.

Oh iya ada pesan dari Ashton untuk kalian yang membaca notes ini,

"Nikmati masa mudamu dengan hal-hal yang berguna! Jangan membuangnya dengan sia-sia! Ini penentu buat masa tua kita loh!"

Selesai

Mohamad Sofwan Rizky

Jakarta,2 Oktober,2010.


***

Pesan penulis kini: tertawalah melihat EYD yang amburadul.

Selasa, 14 Februari 2012

Aderone

“Nama agamanya apa?”

“Aderone,”

“Umatnya berapa banyak?”

“Dua orang,”

“Kitabnya?”

“Linald,”

Tawa melepas dan beradu dengan udara. Mereka tertawa karena dialog yang terus diulang-ulang. Dialog yang akan menghantam telinga mereka dengan konyolnya suatu saat nanti. Walau mereka tak tahu, bila diketahui para ulama, pendeta, biksu dan lainnya akan segera dihajar habis-habisan.

“Hahaha, ini konyol banget!” sunggingan senyum belum bisa melarikan diri dari bibir manis Adellina. Dia terus terbahak-bahak tanpa jeda. Tak heran pita suaranya mengeluh kehausan.

“Kenapa? Ini itu romantis. Bila ditanya agama kita apa, jangan menjawab Islam atau Kristen. Tetapi, Aderone! Adellina dan Ronald!” Ronald terkekeh dengan puas. Ide gilanya berhasil membuat kekasihnya juga ikut larut dalam sebuah drama parodi buatannya. “Tapi ingat, Aderone hanya untuk kita berdua. Jangan pernah sekali-kali berdakwah tentang Aderone!”

Mereka terpingkal lagi. Seolah tak ada habisnya. Tak akan berhenti. Hanya karena satu ide gila: Aderone.

“Nanti, bila aku akan melamar kamu, jangan bilang kepada orangtuamu, bahwa kita tidak seiman. Karena ada Aderone yang menjadi saksinya,” lanjut Ronald.

“Sip! Kitab Linald juga akan segera meluncur! Dengan ajaran-ajaran yang khusus dibuat hanya untuk dua orang pengikut, kita.”

Mereka saling melempar senyum. Kebahagiaan tidak akan pudar di antara mereka. Kebahagiaan muncul menggantikan masalah yang menggelimuti mereka. Beda iman.

Jemari-jemari Adellina terus menari dalam keyboard laptopnya. Sebuah kata-kata yang akan dirangkai untuk beberapa surah sudah muncul di otaknya dengan cemerlang.

Tiba-tiba jemarinya merasa kelu. Kaku. Berhenti seketika. Tidak ada suara ketikan. Semuanya hilang. Adellina mengernyitkan kening. Masih ada yang mengganjal.

“Tuhan untuk Aderone itu siapa?”

Sambutan sunyi yang memberikan jawaban.

***

Adellina muncul dari bilik kafe. Membanting pintunya dengan keras. Matanya memancarkan silau dan sangat membendung. Seperti ada yang ingin tumpah dari matanya.

“Maaf, telat.” Suara Adellina terdengar parau saat merebahkan tubuhnya pada sebuah kursi di depan Ronald. Matanya menahan untuk mengatup. Karena sesuatu akan turun dengan derasnya.

“Tak apa, Del. Ada apa sampai kamu menyuruhku untuk datang ke kafe?” Ronald membenarkan posisi duduknya. Alisnya menaik dengan spontan. Telinganya telah dipersiapkan untuk mendengar sebuah jawaban.

Adellina menghela napas berat. Sampai-sampai endusannya dapat terdengar oleh Ronald. “Aku hanya ingin menyerahkan ini,”

Sebuah buku tebal melaju dengan perlahan ke hadapan Ronald. Tertera sebuah huruf yang bergabung disana: LINALD.

“Sudah selesai? Aku tak sabar ingin membacanya! Sungguh!” semangat Ronald menggebu-gebu. Bibirnya merekah dengan indah. Matanya tampak takjub melihat buku yang ada di tangannya.

Air mata beriak dalam ujung mata Adellina. Menuruni tebing pipinya dengan pelan. “Bukan itu, Nald. Bukan itu,”

Bola mata Ronald membesar. Ada sebuah jawaban yang mengapung dengan misteri. “A…Apa?”

“Hubungan kita harus berakhir disini, Nald,” Adellina terisak tangis. Intonasinya mulai kacau ditelan napasnya yang sesak. Air mata tak kunjung berhenti mengalir. “Ini konyol, Nald. Konyol. Sejauh apapun kita mengembangkan Aderone, sejauh apapun kita mengkhayal tentang masa depan kita, itu tak akan merubah satupun!”

Wajah Ronald menekuk heran. Tidak dapat merasakan apakah ini mimpi atau kenyataan. “Kamu bercanda, kan?”

“Orangtua aku tidak akan bisa mengerti! Orangtua aku tidak akan bisa menerima! Ini semua percuma, Ronald. Kita hanya akan dianggap gila!” Nada Adellina menekan pada ujung kalimat. Napasnya meletup tak beraturan. Semuanya hancur berantakan.

Adellina bangkit dari kursinya. Tak ada makanan dan minuman yang singgah untuk meja itu. Yang ada hanya sebuah tangis yang tertera jelas. “Terimakasih atas semua memori yang kamu berikan. Aku hanya bisa mengatakan… maaf,”

Adellina pergi meninggalkan Ronald yang masih ditemani beribu-ribu pertanyaan. Ronald hanya membeku dan merasa bisu. Hanya butir-butir air mata yang dapat menyatakan semua perasaannya saat itu.

***

RONES ayat 3:

Agama penuh cinta, dan sebuah cinta juga penuh agama. Karena jalinan cinta suatu saat akan memiliki sebuah hari akhir.Seperti agama.

Matanya menyapu isi kitab Linald yang dirancang Adellina. Namun itu hanya membuatnya jatuh semakin dalam pada lautan hina. Semuanya terungkap. Agama memang terjalin kuat dengan cinta.

Ayat yang terdapat pada surah Rones inilah yang sangat membekas. Meninggalkan sebuah jejak yang dilarang untuk diikuti. Dilarang untuk mencari tahu. Kiamat sudah terjadi dalam kehidupan Ronald. Kiamat terjadi tanpa ada tanda terompet sangkakala. Tak ada sebuah penanda. Semua terjadi secara mengagetkan.

Undangan pernikahan Adellina dengan Ahmad sudah sampai di tangannya. Menyentakkan hati yang sedang merana. Tak ada obat yang bisa menyembuhkan. Semuanya sudah sampai pada stadium akhir.

Tak ada lagi cinta, tak ada lagi Aderone.

Ronald tersungkur dan menggabungkan tangannya menjadi satu: Menghadap salib.

Dia mengangguk pelan dan tampak yakin.

Karena sejauh apapun manusia berkelana pasti akan kembali kepada penciptanya.

Selesai