Halaman

Sabtu, 10 November 2012

Monokrom


Dalam kertas lapuk yang mengeriting
Terdapat kenangan kita yang tak pernah menyingsing
Antologi masa yang membuat waktu terpicing
Hingga tertawa terkencing-kencing
Dalam hening
Banyak tabir yang tak lebur karena bening
Itu kita, manusia penggenggam ranting-ranting
Mengarak, menyuruk, menggondol memoar agar tetap lekas di samping
Masih ingatkah kamu, Ning?

Ning, mungkin kini tampakku telah lenyap
Terkikis dan mengepungmu dalam senyap
Namun, kamu tidak perlu kalap
Saya selalu ada, menunggu kamu hingga terlelap
Selalu. Setiap malam. Setiap napas yang terpental dalam gelap

Ning, saya tinggalkan album foto untuk kamu pandang
Saya tinggalkan seberkas cinta saya di sana, agar kamu mudah mengenang
Bukalah album itu, dengan janji, jangan sampai matamu menggenang
Saya tak mau, Ning. Saya tak mau hatimu hambar mengambang
Karena, saat air matamu memercik, saya tak lagi ada di sana
Saya tak bisa menghapus air mata kamu saat merana
Atau, saya pun tak bisa ikut terpingkal saat kamu tertawa
Karena memaki-maki kebodohan saya

Ning, bukalah album itu perlahan
Rasakan desiran waktu yang telah berjalan
Mengaruskan kita, menjebak kita, membuat cinta kita tertelan
Dalam tungku waktu yang meletupkan buaian

Ning, kau sudah membukanya?
Menatap foto abu-abu pernikahan kita yang tercetak di sana?
Bagaimana, kamu lihat bahwa abu-abu tampak mendominasi hidup kita dulu, bukan?
Dan... bukanlah rahim abu-abu itu yang selalu membuat kita berdampingan?

Saya ingat, dulu kita sering kali bertengar
Mengoyak dinding abu-abu yang kian melebar
Saya tahu, saya rasa, hati kita sama-sama bergetar
Bertengkar kepada orang yang kita cinta... memang selalu merobohkan tegar
Hingga... aku selalu mengalah, Ning. Saya redam semua gejala yang berkobar
Karena saya tahu saya yang bodoh. Kamu yang pintar.

Saya ingat, kamu selalu berkata bahwa saya itu manusia lempeng
Mau diajak bicara ke mana pun jawaban saya tetap nggak mudeng
Dan kamu pernah bilang, saya waras kalau saya dibuatkan es pudeng
Dan kalau saya ingat-ingat sampai sekarang, ucapanmu benar adanya juga, Ning
Saya gembleng di depan kamu
Semua yang saya punya ngawur di depan kamu
Entah sebab apa yang membuat semua ini melaju
Akankah cinta, benci, atau memang diri saya yang dungu
Saya tak peduli. Saya hanya peduli melihat diri kamu yang selalu kesal sama saya
Karena setiap kamu kesal sama saya, kamu selalu ketawa
Jadi, tak masalah deh kalau saya memang gila
Kalau itu membuat kamu bahagia

Ning, saya jadi kangen saat kamu selalu memanggil saya Monokrom
Memandang segalanya dengan satu titik, satu celah, satu teropong
Walau wajah kamu ruwet, kesal, letih saat bicara sama saya
Tetapi saya senang sekali, saat nama Monokrom tertiup di telinga saya
Adem, Ning
Apalagi saat kamu berkali-kali memanggil saya dengan panggilan itu setiap hari
Saya semakin bahagia, karena sampai keseratus kali kamu memanggil saya itu,
Ternyata kamu masih bisa menerima saya, sang Monokrom Lempeng
dengan apa adanya

Ning, sudah dulu, ya
Tutup saja album yang sama monokromnya denganku itu sekarang
Jangan nangis, Ning. Jangan.
Saya juga kangen sama kamu, kok
Kangen sekali
Jadi, jangan nangis lagi
Waktu memang penguji cinta, Ning
Dan saya anggap kamu telah berhasil
Karena kamu telah bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Seperti puisinya Goenawan Mohammad itu, Ning
Kamu ingat, kan?

Ning... apakah boleh saya mengajukan permintaan sama kamu?
Simpel saja, Ning
Panggil aku, sekali lagi saja...
dengan panggilan sayang 'Monokrom', ya?


Kebayoran Lama, 2012

Catatan : Salah satu tulisan yang akan saya kenang. Saya menikmati proses penulisan tulisan yang berjudul 'Monokrom' ini. Saya akan ingat keteguhan hati kedua manusia ini.
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar