Halaman

Senin, 26 November 2012

15



15 tahun tersibak. 180 bulan merebak. 5.471 hari melesak. 131.304 jam mendesak. 7.878.240 menit tak tertolak. 472.694.400 detik tak terelak. Di mana kamu sekarang, manusia terimpit waktu yang sesak?
Jutaan napas yang telah kamu isap, mungkin kini sedang menaikkan kumisnya. Puluhan waktu yang sudah lama kamu genggam, mungkin kini sedang mencabut uban antara satu dengan yang lainnya. Wajah buyutmu, kakekmu, nenekmu, mungkin sedang mengepung langkahmu dengan jutaan pesona. Lalu, kini kamu bertanya-tanya : apa gunanya lilin-lilin yang menyala?
Hidup memang benar-benar seperti satu lilin yang memercikkan api. Sekali kejap, sudah melahirkan asap yang berhembus sepenuh hati. Kamu dapat melihat asap-asap itu meruap di horizon, mengusir detik, mengibaskan acara, lalu menjejakkan memori, hingga tercengang-cenganglah kamu di ujung bumi. Kamu benar-benar tak mengerti, mengapa satu momen yang sekali melintas, begitu mudah melekat di hati. Dan di inti hati, kamu bertanya-tanya : Apa gunanya lilin yang menyala bila suatu saat akan mati?
Lihatlah, tak ada bedanya asap dengan sebuah memori. Mungkin terlihat lunak, namun padat berisi. Padat akan berbagai situasi. Pasti kamu berpikir, asap padahal sebuah substansi yang gampang sekali melahirkan benci. Dapat membuat orang-orang menggertakkan hati. Tapi, rasakanlah ... saat asap menyepuhkan seringainya ke matamu yang tak mengerjap, di situlah air matamu mulai menunjukkan inti. Asap tetap asap, dan memori tetap memori. Tak selamanya kelam akan menyebalkan, tak selamanya gelap akan terus mengikis hati. Karena, saat kamu menjentikkan satu jarimu pada gumpalan asap yang sangat dibenci, di situ lah kamu bisa melihat asap yang mudah sekali rapuh, mudah sekali lumpuh. Dan, itu tak ada bedanya saat kamu menjentikkan jari untuk sebuah memori. Karena, kamu sama-sama telah menyentil hati.
Maka, di setiap detik yang kapan saja bisa memenggal lehermu, berterima kasihlah kamu kepada sang Pencipta Waktu. Bersyukurlah atas kebahagiaan yang telah menyatu. Berterima kasilah atas orang tua yang dengan sangat mencintai kamu. Tunduklah kamu kepada waktu yang tak jenuh menunggu. Kepada kitabmu. Kepada junjunganmu. Kepada anggota tubuhmu. Kepada pagi. Kepada malam. Kepada udara yang bebas kau reguk. Kepada teman yang dapat mengalirkan senyummu. Kepada guru-gurumu. Kepada nasi uduk yang setia menjadi sarapanmu. Kepada air mineral. Kepada teknologi. Kepada laptopmu. Kepada Bill Gates. Kepada penjerat sastra. Kepada pengenyam filsafat dunia. Kepada Aristoteles. Kepada Kant. Kepada Euclid. Kepada Phytagoras. Kepada Pascal. Kepada Gauss. Kepada Khawarizmi. Kepada Moivre. Kepada semua simpul yang menggoyangkan bandul waktu, karena dia masih menjaga kamu, melindungi kamu... dalam lilinmu yang perlahan memendek, menua, dan menuju kubangan hampa...
  Akhirnya, aku hanya bisa ucapkan, selamat ulang tahun bagimu yang ke-15. Tataplah langit, dan pandanglah jutaan asap yang berarak-arakan menyerupai awan. Itu artinya, mereka selalu bersedia untuk kau sentuh, untuk kau resapi, untuk kau pahami. Betapa berharganya kumpulan waktu yang makin lama terasa seperti setetes air yang menggelayut di ujung daun, dan perlahan jatuh ke tanah. Singkat, padat, dan mudah berubah menjadi pipihan bias.
Jagalah lilinmu sendiri. Terbukalah dengan waktu. Karena dalam udara yang berhembus cepat, lilinmu mudah sekali untuk menggelapkan diri. Membungkam api sendiri. Hingga mati–hanya meninggalkan kumpulan memori.


Hadiah kecil untuk 15 tahunmu,
Sofwan Rizky

Tidak ada komentar:

Posting Komentar