Halaman

Sabtu, 01 Desember 2012

Filateli




Untuk mengenang kelas saya tercinta, 8D.
Pameran Filateli Dunia
18 Juni 2012

***

Walau nggak pernah bertemu, yang jelas saya butuh waktu.
Klise, memang. Namun itulah satu-satunya jawaban yang sering Zea lontarkan kepada setiap orang. Kepada setiap kerabat. Kepada setiap tetangga. Kepada setiap manusia yang menjulurkan tanya : “Ze, nggak berminat cari pendamping hidup, gitu?” Dalam benak Zea, waktu tak lebih dari sebatas menengok jam tangan bila ada yang bertanya, lalu mencerna ke mana arah jarum pendek dan panjang mengacung. Atau, tak lebih dari letak dan posisi matahari bergantung. Bulan yang bertakhta. Kapan jam tidur yang cocok untuk kembali berkelana. Jam makan. Waktu pameran prangko maupun buku. Semuanya. Semua hal-hal yang bersifat mengendap pada masa kini, namun tak sekali-kalinya ia ungkit kumpulan urusan di zaman depan. Termasuk, urusan jodoh.
Usia Zea sudah menjejaki tiga puluh. Sudah banyak waktu yang terbuang untuk berdiam, berjalan, berlari, hingga bergemuruh. Namun, kebahagiaan belum juga bersimpuh. Hingga Zea hampir saja melupakan apa definisi ‘cinta’ yang membuat banyak orang luluh. Tetapi, bukan berarti usaha Zea luput dari lumpuh. Zea tetap berusaha, menerjang semuanya, menyingkirkan keluhan masyarakat yang tak berarti, namun... ia selalu berpikiran : Jangan pikir hanya kita yang membutuhkan waktu. Tetapi, waktu juga membutuhkan kita untuk meragukan sesuatu.
Klise lagi? Kali ini–menurut Zea, tidak. Ia bisa bernapas lega karena Rene Descartes pernah mengungkit persoalan ini. De omnibus dubitandum. Segala sesuatu sudah sepatutnya diragukan. Sudah seharusnya segala sesuatu harus dipertanyakan. Termasuk, kehidupan. Menurutnya, untuk apa memaksa bahagia datang bila kebahagiaan itu sendiri belum sepenuhnya siap? Untuk apa segera membina rumah tangga bila keuangan masih menjadi persoalan basi? Untuk apa memiliki anak bila tak ingin postur tubuh membengkak? Semua itu, semua pertimbangan itu, terkuak satu demi satu, seiring mengarusnya waktu.






 
“Ze, kita harus banget ngantri sepanjang ini?”
Kelopak mata Zea terbuka. Keramaian kembali menyergap mata. Sejauh mata memandang, kumpulan manusia bermantel tebal sambil menenteng semacam album, berarak-arakan seperti awan. JCC kembali dipadatkan berbagai perbincangan asing. Aneka bahasa memencar di sana-sini. Zea mengerutkan kening. Lagi-lagi, di tengah hiruk pikuk filatelis seluruh dunia, dia harus terjebak oleh pertanyaan bodoh seorang pria bernama Doni.
“Harus lah,” sahut Zea pendek. Tatapan matanya menyorot Doni tajam. “Don, kita akan mendapat sebuah stempel prangko kerbau yang bersejarah. Prangko ini adalah prangko yang diluncurkan pada zaman kemerdekaan. Nanti, saya akan mendapatkan prangko bergambar kerbau yang sedang terbelit rantai. Kamu tahu apa artinya? Itu melambangkan kondisi Indonesia yang baru saja bebas dari jeratan penjajahan. Lagipula... memangnya kamu punya sesuatu hal yang bersejarah? Nggak, kan? Ya sudah, nikmati saya antrian panjang ini.”
Doni menghembuskan napas berat seraya menaikkan kacamatanya sedikit ke atas. Ia kembali sibuk kepada Nikon yang tergantung di lehernya. “Terserah kata kamu deh, Ze. Sekarang, mending saya foto kamu dulu, ya. Buat kenang-kenangan, Ze.”
Belum sempat kamera Doni memendarkan cahaya silau, tangan Zea sudah lebih dulu menyergap halus lensa kameranya. Dengan tatapan sinis, Zea berdengus kesal. “Untuk apa foto saya? Mending kamu foto stempel prangko yang sebentar lagi akan saya dapatkan, ya.”
Doni terdiam. Tak lama, bibirnya memberengut. Kameranya menurun tertahan. Sedangkan Zea, menyengir sambil terkikik pelan. Zea tak menyangka jalinan pertemanannya dengan Doni bisa berjalan sebegini lamanya. Mengingat koneksi pergaulan Zea yang sangat terbatas, atau banyak orang menyebut dirinya mengidap anakronisme koneksi. Mudah remuk. Buruk. Lapuk. Suntuk.
Zea juga tak mengerti. Mengapa hubungannya dengan Doni yang sebatas teman bicara dapat mematahkan penamaan bodoh itu. Pertemuan yang berawal dari Australia 99, sebuah pameran filateli dunia yang diadakan di Melbourne itu dapat memutar siklus kehidupan Zea sangat drastis. Karena semenjak pertemuan itu, Doni, seorang fotografer sekaligus jurnalis yang saat itu hanya kebetulan berada di pameran filateli tersebut dapat menjadi teman akrab Zea. Bahkan, ke manapun Zea berkelana ke berbagai negara untuk memenuhi album filateli yang tak Doni paham. Yang tak Doni mengerti.
“Ze, mengapa kamu itu seorang filatelis, sih? Saya nggak nyangka bisa punya teman yang sebegini gilanya sama kumpulan prangko kayak kamu. Beneran,” ujar Doni, menatap mata Zea yang masih menelisik ke arah mesin stempel di ujung sana.
Mendengar itu, Zea mendelik tajam. Ia menaikkan album prangkonya, mendekap lebih erat album penuh cerita itu. “Sok banget, kamu. Kalau saya bukan seorang filatelis, kamu nggak akan ketemu saya, tahu.”
“Ya ampun Ze, sinis amat, sih. Saya hanya bingung, di tengah banyaknya perempuan-perempuan yang menggumuli versi baru LV, mondar-mandir keluar Zara, mencari lipstik warna-warna cerah,  kamu, dengan anehnya mendekap album prangko yang usang itu, pergi ke berbagai negara, hanya untuk mengumpulkan sebuah prangko. Sebuah kertas penanda yang sering dilihat di surat-surat!” cerocos Doni panjang. “Sumpah, Ze. Empat tahun saya dekat sama kamu, saya belum ketemu jawaban itu sampai sekarang.”
  Zea tertawa. Tergelak keras di depan muka Doni yang hambar akan ekspresi. “Hei, kamu tuh jadi teman saya nggak perlu mencari tahu apa-apa.”
“Tetapi saya selalu terbuka sama kamu, Ze. Itu masalahnya.”
Tawa Zea menyurut. Pandangannya kembali mengeras, pendar netra yang selalu Doni kenal. “Don, bukannya saya pernah cerita sama kamu, ya? Bahwa penyebaran prangko di Indonesia itu sudah sampai...”
“Saya nggak butuh jawaban itu, Ze. Jawaban itu sudah saya hapal di luar kepala. Bahwa penjualan prangko di Indonesia sudah lebih dulu terkenal ke luar negeri. Lebih dulu dimiliki dibandingkan rakyat-rakyatnya. Keluh kamu tentang prangko Naga Air, prangko yang dicetak pada saat imlek sudah kamu terangkan kepada saya. Bagaimana 90% prangko buatan negeri kita lebih dulu sampai kepada filatelis di negara lain. Bagaimana senangnya kamu dengan berkurangnya minat rakyat untuk mengirim surat, sehingga filatelis gila kaya kamu nggak perlu bersusah payah mencari prangko hangat yang baru dicetak. Ya, kan? Dan kamu benar-benar ingin menjadi filatelis-filatelis seperti itu, yang menyabet prangko milik negara lain tersebut lebih dulu dibandingkan rakyat-rakyatnya,” jelas Doni mulus. Berhasil membuat bibir Zea bungkam, hanya sanggup menetaskan cengiran tak berarti.
“Tuh, kamu sudah tahu, Don. Jadi, untuk apa saya menjelaskan...”
“Saya jadi ingin menjadi sahabat satu-satunya yang terbaik buat kamu, Ze. Mengingat... ya itu, tadi. Kehidupan kamu tuh seperti sudah disesaki penuh sama prangko-prangko di album usang kamu. Oleh perjalanan kamu mengejar edisi prangko lama maupun baru. Tetapi, saya hanya peduli sama kamu, Ze. Bagaimana masa depan kamu? Bagaimana urusan-urusan kecil hidup kamu? Saya jadi bingung, kamu itu menyisihkan sebagian dari otak kamu untuk hidup kamu sendiri, nggak sih?”
Zea tercenung. Udara tampak memadat, menjejali tenggorokannya yang tercekat. “Don...”
Come on, Ze. Saya selalu siap menjadi tempat sampah yang baik bagi kamu.”
Sorot mata Zea mendadak mencair, menatap kedua bola mata Doni lamat. Berkali-kali ia mengambil napas panjang, agar tangis tak meluber lebih dulu daripada kata-kata. Zea membeku, tak tahu harus memulai dari mana.
“...Ze?”
Zea menunduk lemas, menatap album perjalanannya. “Saya hanya ingin kelihatan sebagai manusia yang hidup, Don. Bukan sekadar raga yang berjalan.”
Doni berbalik terdiam. Memandang Zea yang tak seperti Zea.
“Banyak orang bilang, di usia saya yang ketiga puluh, saya seperti sampah. Malu-maluin keluarga saja karena belum juga menikah. Belum juga memiliki pendamping. Tetapi... saya harus bagaimana, Don? Saya selalu terkepung oleh waktu, terjejali berbagai pertimbangan yang membuat saya ragu. Yang membuat saya sulit untuk mengambil langkah dalam hidup saya, sulit mengambil keputusan dalam batin saya, dan semakin saya pikir... hidup saya serasa kosong, Don. Hambar tanpa tujuan. Walaupun saya sudah berpersepsi bahwa hidup saya sudah dituliskan di atas sana, saya takut keraguan saya ini membawa rangkaian hidup saya menjadi ending yang nggak membekaskan makna apa-apa. Nggak menyiratkan satupun kenangan buat saya.
“Oleh karena itu, saat saya berada di Melbourne, saya menemukan hidup saya. Saya menyusun hidup saya kembali dari nol. Saya memutuskan untuk menjadi seorang filatelis. Pengumpul prangko-prangko. Saya membeli album prangko ini, dan saya bertekad untuk mengisi album ini sepanjang waktu yang saya punya. Dengan berkelana ke berbagai negara. Karena saat saya mengumpulkan prangko-prangko ini dari berbagai muara, saya tak meragukan sesuatu. Justru, saya semakin penasaran ... di mana letaknya prangko terakhir bagi saya, prangko yang membuat batin saya tak lagi berbicara, dan membawa saya kepada dunia asal saya yang tak lagi saya ragukan. Hanya itu.”
Doni tertegun. Memandang album prangko yang selama ini selalu menggandeng sahabatnya, mendekap tubuh sahabatnya, menghadirkan berbagai tanya dalam benaknya. Doni menunduk, tak tahu harus menjawab apa. Dia merasa kalah, bahwa album prangko lebih pantas disebut teman terbaik untuk Zea. Bukan dirinya.
“Tapi kamu jangan keterusan menganggap saya gila, Don. Album ini, kumpulan prangko-prangko ini hanyalah benda yang ingin saya tunjukkan kepada suami dan anak saya, bahwa hidup saya juga pernah berusaha. Bahwa saya juga pernah punya mimpi. Mimpi untuk melengkapkan album ini, dan terus mencari definisi cinta yang tak membuat sedikitpun keraguan dalam hati saya,” lirih Zea tak kuasa. Air mata menggenang di pelupuk matanya. “Ah, saya jadi menangis, kan. Tak pantas untuk wanita berumur tiga puluh seperti saya.”
“Maaf Mbak, Mas, jadi mau stempel prangko kerbaunya?”
Petugas yang berada di samping mesin stempel menyadarkan posisi mereka berdua. Zea segera menyeka air matanya, dan menyerahkan selembar kartu putih kepada petugas berkumis itu. Setelah gambar kerbau tercetak di kertas putih itu, Zea segera menyisipkannya ke dalam album prangkonya.
“Dasar filatelis gila. Itu kan bukan prangko, tapi stempel,” cetus Doni, menyunggingkan senyum.
“Bawel kamu, Don.”
Doni tersenyum puas. Ia senang sahabatnya satu ini menuangkan kisah di balik prangko-prangko yang tak ia mengerti filosofinya. Prangko yang selalu membuat jenuh dirinya. Namun, semua tanya telah terbalas, bahwa dalam hidup Zea, jalan filateli-lah yang dapat menghadirkan cinta di hati Zea. Meludeskan kata-kata dalam benak Zea. Karena Zea cuma butuh waktu. Dan waktu sedang sibuk membutuhi Zea dalam meragu.

***
Mereka baru saja keluar dari gedung mewah itu, dan mereka tampak bahagia sekali rasanya. Tawa mereka terumbar ke mana-mana. Senyum mereka merunut simpul bahagia. Seolah lupa baru saja ada tangis yang tercipta.
“Ze, mengingat soal meragu, pikiran saya entah mengapa berlabuh pada perkataan Hamlet kepada Ophelia. Ragukan segala sesuatu, tetapi jangan meragukan persoalan cinta.”
“Hamlet? Drama Shakespeare? Saya baru tahu kamu baca hal-hal begituan.”
“Jangan meremehkan gitu dong, Ze. Tetapi, ngomong-ngomong soal meragu, kenapa saya nggak pernah ragu ya untuk menemani kamu ke pameran-pameran begini? Padahal untuk memotret berita yang lagi hangat-hangatnya aja terkadang saya malas setengah mati. Aneh.”
Mendengar ucapan itu, hati Zea terhentak. Segera ia membuka album prangkonya, dan melihat stempel prangko kerbau yang terbelit rantai. Ia segera mendongakkan kepala, menatap wajah Doni di bawah naungan renjana. Dan Zea mendadak sulit berkata-kata. Seolah berbagai keraguan telah menyingsing hingga sirna. Hingga tak sanggup lagi untuk merongrong tanya.
Zea telah menemukan prangko terakhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar