Halaman

Senin, 19 November 2012

Jawaban Mama



Ada jutaan metafora di balik seringai malam. Ada banyak berkas rindu yang berhamburan, mengarus bersama hembusan udara malam. Aku selalu percaya bahwa malam tak selamanya kelam. Aku pun juga percaya bila malam bukanlah wajah yang penuh muram. Karena dalam malam, banyak noktah-noktah pembangkit misteri yang lama tenggelam. Datang dengan perlahan, dan pergi saat mata kita terpejam. Bayangkanlah, aku tahu kalian pasti akan paham.
Sampai sekarang, banyak malam yang kulalui dengan torehan kisah. Ada kisah yang kupikirkan sendiri, ada kisah teman sekolahku yang terbawa hingga ke rumah, ada cerita dalam setitik bintang, atau bahkan sekadar bulan yang mendesah. Tetapi, tak ada yang lebih istimewa dibandingkan jawaban Mama yang selalu meriah. Menarik sekat jiwaku yang telah lelah, hingga siap mendengarkan lagi jawaban Mama yang begitu indah.
Mungkin, ini terdengar aneh. Tetapi, kami berdua selalu sukses terkekeh.
Jadi, aku memiliki sejumput ritual yang kulakukan bersama Mama sebelum tidur. Kebiasaan aneh yang sebenarnya lebih berujung ke arah ngawur. Ritual itu berwujud... sejumlah pertanyaan bodohku yang kulontarkan kepada Mama, dan Mama harus menjawabnya, hingga aku puas melindur. Hingga Mama terkadang ikut mengantuk, terseret-seret waktu yang perlahan mengendur. Memang, jawaban Mama tak sepenuhnya jujur. Tetapi, selalu manjur membawaku menuju alam tidur.
“Sudah malam, saatnya kita tidur.” Mama mulai menarik tirai jendela. Sigap, aku melompat ke ranjang, tempat segala kisah bermula. Mama mematikan lampu, dan dunia terasa buta. Rengkuhan selimut membungkus tubuhku berada. Mama duduk di sampingku, dengan bantal yang siap menyangga punggungnya. Bintang, bulan, semua makhluk malam serasa merangkum kami dalam satu buana. Buana milik kami bersama. 
Dalam gelap, pendar bulan ternyata sanggup menembus jendela kamarku yang tipis. Sinar bintang pun ikut-ikutan merintis. Aku meringis. Gigiku muncul berbaris. Gelap ternyata tak membuat aku menangis. Justru, berbagai rasa aneh yang biasanya muncul, kini tak bisa aku gubris. Termasuk, kepingin pipis.
Aku mencoba memejamkan mata. Dalam satu detik, gelap segera menyerobot hingga membuai netra. Ah, ternyata berdoa lebih nyaman begini rasanya. Dengan mata terpejam, lirih doa dalam jiwa, bintang warna-warni di kelopak mata yang mengatup ... aku berdoa semoga aku bermimpi indah, dan keluargaku juga. Atau, siapa tahu semua keluargaku bermimpi sama. Bertemu di suatu tempat, lalu menertawakan keajaiban yang ada.
“Sudah berdoa?” ujar Mama tiba-tiba.
Aku membuka mata, menyimpulkan senyum pendek. “Sudah, dalam hati.”
Sunyi melewati kami dengan takzim, menyisihkan hening malam yang terasa dingin. Aku menyengir, ini waktunya bermain. Bukan maksudku ingin minta dikelonin, tetapi aku iseng saja ingin mengajukan pertanyaan yang terkadang membuat pusing. Segera kucari kumpulan pertanyaanku yang selalu kuajukan kepada Mama setiap malam, bahkan kususun urutannya. Ya, urutan pertanyaan-pernyataan itu.
“Ma, kupu-kupu itu indah, kan?”
Mama melenguh, aku tahu hatinya mengeluh. Siapa sih yang nggak bosan setiap hari diajukan pertanyaan yang sama? Dengan nada  tenang, ia menyahut sungguh, “Indah, lah...”
Aku bernapas lega, bagus kalau Mama masih ingin menyahut. Tak perlu aku memberengut. “Kupu-kupu kan dulunya ulat, tetapi ulat itu kan jelek banget, Ma. Kok bisa jadi indah seperti kupu-kupu begitu sih, Ma?”
Mama menghela napas. Banyak makna yang sebenarnya terjejas. Tetapi, ia lebih memilih bungkam, menjawab dengan bebas, “Ada fasenya. Ulat yang kata kamu jelek itu merajut benang-benang putih, hingga membekapi tubuh ulat itu sendiri. Nah, itu yang disebut kepompong. Lalu, beberapa hari kemudian, tukutukutuk... kepompong itu menetas, menjadi seonggok makhluk yang mengibarkan sayap indahnya, hingga terbang bebas... jauh ... ke langit ...”
Aku menatap langit-langit kamar. Meresapi jawaban Mama yang tak pernah hambar. Sebenarnya, itulah yang aku cari. Jawaban Mama yang memapahkanku menuju lingkaran imaji tak bertepi. Membawa pikiranku pergi, tetapi tetap bersama realita yang menanti. Urusan jawaban, aku sudah tahu sendiri. Bu Guru di sekolahku sudah menerangkannya berkali-kali.
“Kalau kangguru, kenapa ada kantung di perutnya, Ma?” tanyaku lagi.
Mama terdiam. Aku menunggu. Bisa jadi dia mencari jawaban baru, atau mengingat jawaban apa yang ia berikan kepadaku pada malam-malam sebelumnya. “Oooh, itu. Kalau nggak ada kantungnya, anaknya mau diletakkan di mana? Kasihan kan, anaknya ...”
Mama tertawa, sedangkan aku hanya mengangguk-angguk. Banyak makna yang harus kureguk. Satu demi satu, bagaikan menenggak susu bubuk.
“Macan tutul sebenarnya kan nggak galak ya, Ma?” celetukku lagi.
Mama tercenung. Merenung. Dan sepertinya logika harus terpaksa digantung. “Eeeh... iya.”
“Iya, sebenarnya kalau kita nggak deketin, dia nggak akan marah ya, Ma? Tetapi, kenapa kalau kita jauh dia nggak marah?”
Mama berdeham. Pertanyaanku saja mungkin ia tak paham. “Dia nggak akan marah kalau nggak diganggu. Oleh karena itu, kita lihatnya dari arah yang jauh, memang untuk apa sih lihat dekat-dekat?”
“Ma, mengapa Mickey harus sama Minnie, sedangkan Donald harus dengan Daisy?”
“Ya, mungkin karena mereka sejenis. Tikus dengan tikus, bebek dengan bebek.”
“Kalau Winnie the Pooh kok suka madu? Dia kan bukan lebah?”
“Tetapi dia beruang madu.”
“Kalau kelinci kenapa suka wortel, Ma?”
“Kan wortel mengandung vitamin A.”
“Ma, kenapa kalau malam kita harus tidur?”
“Memangnya kamu nggak capek seharian ini? Kita semua kan butuh istirahat.”
Aku tertegun. Semua kesadaranku terlonjak bangun. Rekaman-rekaman gambar bergilir masuk ke otakku, berbaris hingga tersusun-susun. Ah, mungkin ini alasannya mengapa aku selalu mengajukan pertanyaan kepada Mama setiap malam, karena Mama selalu menuntun. Menuntun aku menuju gerbang mimpi, meresapi gejolak diri, menyibak Nirwana hati. Tak peduli lagi dengan teori-teori basi. Lagipula, bukankah itu yang susah dicari? Bukankah ‘rasa’ yang mendukung segala tetek-bengek teori? Bukankah rasa percaya yang membuat teori terpatri pasti di dunia ini?
“Ma, apakah setiap manusia bisa menepuk lalat? Kan susah banget ...”
“Ma, jerapah kok lehernya panjang?”
“Ma, gajah kok bisa punya belalai?”
“Ma, ini kok bisa...”
“Ma, kalau ini...”
“Ma...”
Dengan segala kesabarannya, Mama menerangkan dengan hati-hati. Mulai dari jawaban yang logis atau pun tidak, aku tetap sukses dibuatnya terdiam pasi. Membuat mulutku terjahit rapat, tak dapat menyela, menyergah, atau menentang jawaban Mama yang tak pernah basi. Tak akan mati. Karena, jawaban Mama penuh dengan sebilah hati. Tak berlandaskan teori, tetapi selalu membulat pasti.
Sebab itulah, kualirkan segala ceritaku, kisahku, segalanya yang terjadi pada hari yang sudah kulalui, kepada Mama. Kuceritakan kisahku di sekolah, di perjalanan, di mana pun, karena aku tahu, Mama tak akan bosan menanggapi. Mama selalu memberikan celetukan yang tak pernah sepi, selalu rapi, sekaligus menyejukkan lereng hati. Bahkan, aku tak segan-segan mengarang cerita, mengarang sosok ‘teman’ di sekolah yang sebenarnya tak ada, meminta saran terhadap apa yang sebenarnya tak terjadi, karena aku tahu, Mama selalu memiliki solusi. Apa saja. Walaupun pertanyaanku itu belum terjadi, walaupun sebuah kejadian belum padat akan bukti, tetapi Mama selalu bisa menunjukkan jalan terdekat, terapat, terhangat, terpadat ... akan sebuah makna ... kepada aku, si Manusia Pencari. Pencari tambatan arti.
Sebenarnya ada satu pertanyaan yang sudah lama berkecamuk dalam otakku, tetapi tak sekalinya aku tanyakan kepada Mama : Mama memang tak bosan ya, menjawab puluhan pertanyaanku? Bahkan, kutanyakan hal itu kepada diriku sendiri, seolah membalikkan cermin, hingga terpatut bayanganku sendiri, seorang diri : dan memangnya kamu tak bosan bertanya tentang hal yang sama kepada Mama setiap malam?
Ternyata, setiap malam, setiap pertanyaan-pertanyaan anehku yang berhasil Mama terjang, tercipta sebuah jawaban, bagi satu pertanyaan yang tergantung lama dalam otakku. Dan aku mengerti hal itu sekarang. Aku puas. Aku cukup terbelalak, dengan sebuah senyum yang membentang...
Jawaban Mama-lah yang membawaku tidur, menuntunku ke alam mimpi, merengkuh realita dalam hati, dan siap memanggilku bila matahari telah menggandeng pagi.

***
Malam itu, gemerisik daun mengecup desauan angin mesra. Bulan merapatkan spasinya dengan bintang, agar saling mengumbar cinta. Burung-burung bertengger, rumput-rumput bergoyang lihai, danau tampak tenang nan stagnan, seolah mengundang kasih di tungku angkasa.
Malam itu, di situlah kelopak mataku mengatup, bibirku menutup, tak lagi menjorokkan tanya. Aku habis oleh kata-kata. Aku kalah telak bersama teori tak berjiwa. Aku digilas berbagai macam rasa. Jawaban Mama berhasil mengantarku menuju alam maya, dengan sebagaimana mestinya.
“Semoga mimpi indah...” Mama keluar kamar, dengan jawaban yang masih menggetarkan debar.

Kebayoran Lama
Sofwan Rizky

2 komentar: