Halaman

Selasa, 15 April 2014

Golput


Mereka bilang aku hitam. Dekil, bau, gempal, seperti raksasa. Setiap aku keluar rumah, segerombol anak kecil selalu mendekatiku dan menertawaiku dengan puas. Tapi tidak dengan Ibu. Menurutnya, kulitku manis seperti kopi buatannya.

"Urutan 17 ya, Mas. Nanti dipanggil."

Usiaku tahun ini genap 17 tahun. Pada tahun inilah Ibu berkata bahwa aku sudah bisa memilih dan menentukan nasib negara. Keren, memang. Tetapi perkaranya, tidak sesimpel itu.

Pak Joko, tetanggaku berkata seraya terbahak, 'Kamu tahu? Bagaimana caranya agar anak-anak itu berhenti mengejek kamu hitam?' Aku memandangnya serius. 'Kamu nggak usah ikut acara lima tahun sekali itu!'

Dan Ibu, menolak hal itu bukan main.

"Andreas, nomor 17."

Aku ingat bagaimana reaksinya waktu itu. Matanya membelalak amat lebar, seraya berkata, 'Kamu itu, ya, kalau sudah buta, jangan sok tahu! Kamu itu kemakan sama omongan orang-orang, tauk! Kamu tega melihat Ibu menangis terus dengan pemerintahan yang amburadul ini?!'

Kini, kertas suara sudah membentang di hadapanku. Aku meraba-raba. Braille.

Bilik TPS mendadak sunyi. Sekelebat panggilan anak-anak itu terngiang kembali.

"Hitam..! Buta..! 

...Hitam..! Buta..!"

Aku memejamkan mata. Menahan bulir air mata. Tak lama, aku melipat kertas suara itu kembali seperti semula.

Maafkan Andreas, Bu. Pak Joko benar.

Aku menggigit bibir.

Andreas ingin jadi golongan putih.


***

199 kata, dibuat dalam rangka 'iseng' mengikuti #CERMIN @bentangpustaka dengan tema Pemilu. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar