Halaman

Minggu, 29 Juni 2014

Ciuman


SEBELUM bertemu denganmu, aku tak pernah menganggap penting arti esensial dari sebuah ciuman.

Arti harafiah ciuman bagiku tidak lebih dari ketika bibirku datang lalu melandasi permukaan bibir seseorang. Ya, hanya itu. Masalah perasaan, aku selalu angkat tangan. Embel-embel itu tak pernah kukenali saat satu kecupan hadir. Aku hanya mendaratkan sebuah kecupan, bergerak lihai, mempertahankannya untuk sekian detik, lalu melepaskan diri tanpa menyisakan perasaan apa-apa.

Dan mungkin, hal itulah yang menjadikan berpuluh-puluh pengalaman berciumanku kalah telak dengan ciuman pertamaku denganmu.

Aku ingat. Saat itu siang sedang terik, dan seluruh saudara perempuanmu sedang bermain di luar. Ibumu sedang menjemur baju di halaman belakang. Sedangkan ayahmu, sedang bekerja di luar kota.

Sepi. Saat itu kamu sedang sendiri. Tapi siapa sangka, siang itu kamu bertemu denganku untuk kali pertama, lalu mengajakku ke sudut kamarmu yang terasa senyap. Cepat, kamu mendekatkan bibirmu ke arahku, hingga menempel tanpa memperhitungkan semacam strategi.

Dingin, bibirmu kucecap seperti peppermint.

Kamu menciumku dengan ragu-ragu. Matamu menyiratkan rasa canggung yang membuatku gemas. Satu-dua detik, kamu menjauhi diri, lalu detik setelahnya kamu menciumku kembali. Jujur, apa yang kurasakan saat itu sungguh luar biasa. Aku tak pernah menyangka bahwa kamu memiliki gaya ciuman yang asyik. Ciumanmu membuatku nyaman. Waktu serasa berhenti, dan aku dibuat tidak peduli.

Hingga akhirnya ciuman itu berhenti. Kamu mengakhiri ciuman kita, hingga akhirnya, 

Aku melihat satu senyum manis terbit di bibirmu.

Kapan terakhir kali aku melihat satu senyum yang ikhlas, yang membuat aku jatuh terpana? Ya, aku memang bertanya begitu, tetapi... mengapa jawaban yang kudapatkan adalah tidak pernah?

Ciumanmu menyisakan sejentik rasa adiktif. Baru kali ini, lewat sebuah ciuman yang amat singkat, aku membawa pulang satu rasa asing yang tidak pernah kuketahui keberadaannya.

Cinta.

Ya, cinta.

***

SEJAK saat itu, frekuensi berciumanku denganmu sudah bisa digolongkan menjadi sebuah rutinitas.

Di saat sepi memerangkap, kamu selalu menawarkanku waktu untuk sekadar mencicipi sejuknya bibirmu. Aku dibuat tak kuasa. Kulihat gaya ciummu pun berkembang, hingga matamu memendarkan rasa yang juga kurasakan.

Tapi, ada satu momen yang tidak kumengerti sampai sekarang. Momen yang hadir tanpa sebab, yang meninggalkan aku dalam palung penuh tanda tanya.

Saat itu, kamu menciumku seperti biasa. Keahlianmu yang sudah kuakui pun berjalan lancar selayaknya ciuman-ciuman kita yang kemarin. Saat itu kamu pun juga bersolek cantik. Pipimu merah merona seperti tomat. Alismu tegas menggoda. Dan bulu matamu... Andai saja hal itu bisa kupetik untuk kubawa pulang.

Detik itu, aku dibuat terperangah. Ciumanmu makin persis seperti candu.

Namun, apa yang kudapatkan saat ciuman itu mereda, dan kamu melepaskan diri dari diriku?

Perlahan, bulir air mata turun, membasahi lereng pipimu.

Saat itu aku sungguh heran. Ingin sekali aku menghapus air mata yang mengacaukan wajah cantikmu. Tapi, aku bisa apa? Aku tidak bisa apa-apa, karena aku hanya sanggup menciummu.

Kamu pun meninggalkanku, dan beranjak mendekat ke arah cermin di pojok kamar. Di sana, kamu menangis lebih deras. Kamu menatap wajahmu, lalu kamu menangis lebih kencang. Sedihmu pun membawamu untuk mengacak-acak perabotan di sekitar.

Semua terbanting keras. Menghasilkan berbagai bunyi yang memekakkan.

Pintu kamarmu pun tergedor beberapa kali. Membuat suasana hatiku makin gelisah, seiring dengan rasa takutku bahwa ciumanku tadi menyisakan rasa luka yang seharusnya tak kamu dapatkan.

Suara ibumu terdengar dari luar sana. Dan dari nadanya, hal itu semakin membuatku terperosok jauh.

"Nak, buka, nak! Jelaskan sama Ibu ada apa!"

Kamu tak menjawab. Kamu hanya terus menangis.

***

CIUMAN kali itu menjadi satu ciuman yang kusesali untuk terjadi.

Malam itu, kamu berias dengan sempurna. Kamu memakai gaun panjang milik kakak sulungmu, dilengkapi dengan bando cantik milik kakak keduamu yang tersampir di kepala. Kamu mematut diri dengan girang di depan cermin. Berputar-putar, membuat gaunmu mengembang anggun.

Aku lagi-lagi dibuat terpukau. Kamu selalu menyisihkan ciuman kita di bagian terakhir untuk membuatmu makin terjerat bahagia.

Tetapi, kali itu ada satu yang terlupakan. Satu hal yang kusadari namun bodohnya hal itu tidak kubicarakan.

Kamu segera meraih tubuhku, dan mendaratkan satu kecupan penuh pada diriku. Kamu mahir bergerak, merebut sejuta rasa yang telah kupendam lama. Aku seperti ingin meledak. Baru kali itu, ciuman kita berlangsung lama. Sungguh, saat itu kamu membuatku bertanya-tanya. Tapi apa daya, kamu tetap menciumku, mempersilakan aku untuk mendengar deru napasmu, yang lamat-lamat menjelma menjadi satu bisikan gaib yang merayap menghampiri kita, seolah mengucapkan...

...inikah sebuah ciuman perpisahan?

Tepat setelah kalimat itu muncul, pintu kamarmu terbuka. Memperlihatkan ibumu yang berdiri kaku, menatap aksi kita berdua yang berlangsung syahdu.

Saat itu ciuman kita berhenti. Kamu memutar punggung, mendapati tatapan ibumu yang tajam, menghunus dirimu seolah mencabik-cabik.

"Mama?" Ucapmu, seperti kehabisan bahasa.

Ah, itu yang ingin kukatakan padamu tadi. Kamu lupa mengunci pintu.

Kamu terus merengkuhku dalam genggaman tanganmu. Ibumu melangkah maju, derap langkahnya pelan namun terasa menghentak. Kamu menatap matanya yang tak berhenti membundar tak percaya.

"Kamu ngapain?" Tanya ibumu, dengan nada parau.

Kamu menggeleng, lalu mulai menangis.

"KAMU NGAPAIN?!"

Seketika, kamu menutupi bibirmu. Genggaman tanganmu makin erat. Aku makin takut. Seandainya tubuhku lebih besar, aku siap menjadi perisaimu saat ini.

"Maksud kamu apa, hah?"

PLAK!

Sebuah tamparan menghampiri pipimu. 

Aku terdiam. Sudah kutebak bahwa kalimat selanjutnya pasti siap membunuhku.

"Kodratmu itu laki-laki, Adam! Garis takdirmu itu menjadi laki-laki!" Ibumu menarik tubuhmu, dilanjuti dengan aksinya yang menyobek gaun indahmu menjadi beberapa bagian.

Kamu menjerit, namun ibumu tak kalah berteriak.

"Kodratmu laki-laki, Nak, laki-laki,..."

Setelah gaun itu terburai, ibumu berhasil menemukan aku di genggaman tanganmu. Dan ia terkejut bukan main.

Seketika, ia menyambar wajahmu dalam cengkraman lalu menekan bibirmu keras, hingga..

Dia menghapuskan bekas-bekas ciuman kita yang masih ada. Menghapus warna merah di bibirmu yang sejak dulu aku puja. Aku menjadi ingat senyum manismu pada kali pertama dengan bibir merah itu.

Sejurus kemudian, ibumu menatap aku dalam pandangannya. Dia meremas diriku, sebelum ia mengakhiri hidupku yang penuh cinta sejak bertemu denganmu.

"Benda keparat!"

Dan, ya, ibumu melemparku ke arah celah jendela yang terbuka. Tangismu memenjarakan kata perpisahan yang kucoba bisikkan.

Tubuhku melayang, tangismu semacam soundtrack yang mengiringi kepergianku. Jeritmu meruap, membuat kenangan ciuman kita kembali meluap.

Namun lagi-lagi, aku bisa apa? 

Sungguh, aku hanya sanggup menciummu. Setidaknya itu yang kuinginkan terjadi saat ini. Sebelum aku berujung tiada, ditelan arti penting sebuah ciuman.


***

995 kata, diikutsertakan dalam #NarasiSemesta @KampusFiksi




1 komentar: