Halaman

Minggu, 22 Juni 2014

Telepon dari Ine




SUMPAH, suami mana yang tidak senang jika diberi sapaan 'selamat pagi' dari sang istri saat sedang sibuk kerja di luar kota?

"Kriiing..."

Pasti rasanya berbeda, karena di tengah keletihan kita mencari uang, masih ada orang yang memberi perhatian penuh kepada kita.

"Kriiing..."

Tapi, apa jadinya jika telepon itu hadir saat jam masih menunjukkan pukul setengah lima pagi?

"Kriiing..."

Aku menggeram di bawah bantal. Ingin kusumpal kedua telingaku dengan ujung selimut, tetapi wajah Ine yang sedang menunggu jawaban terpahat jelas di benakku.

Malas, aku meraba-raba rak di samping ranjang. Butuh waktu singkat bagiku untuk menyambar ponselku dan menatap nama istriku dengan fotonya sebagai kelengkapan panggilan.

Mataku masih terpejam. Tapi aku berdoa semoga suaraku tidak berkata yang bukan-bukan.

Tak perlu berlama-lama, aku mengangkat telepon itu.

"Halo, Ne?"

"Pagi, Doni, Kebo." Suara itu masih hangat walaupun matahari belum juga muncul.

"Selamat pagi juga, Peternak Kebo Ine," jawabku asal. Bagus juga kedengarannya.

"Ih, kamu, nih! Nggak ada sebutan yang lebih bagus lagi buat aku, apa?"

Aku tersenyum. Entah karena bermimpi atau mendengar suaranya. "Ya sudah, ada apa, Ne? Kamu nggak bisa nelfon lebih pagian lagi, ya? Ayam aja belum bangun, lho."

Semoga dia tidak berpikiran bahwa aku pantas menjadi peternak ayam.

"Kok kamu nanyanya gitu, sih, Don? Aku nelfon pagi-pagi begini, kan, karena aku mau bertanya sesuatu."

Aku mendecak gemas. Kutarik selimutku lebih rapat. Yang benar saja, masa pagi-pagi begini aku sudah dijejali satu pertanyaan?

"Pertanyaan apa?"

Senyumnya terbayang lewat napasnya. "Aku mau bertanya.. Soal.. Kamu ingat, nggak, hari ini hari apa?"

Aku terkikik. Antara bahagia karena pertanyaan itu tergolong mudah dan sedikit tidak rela karena waktu tidurku diinterupsi dengan pertanyaan paling penting hari ini.

Aku sisipi tawa dalam jawabanku. "Selasa, lah, Ne. Ada-ada aja kamu."

Hening sesaat, cicitan burung mengisi kekosongan.

"Bukan, Don," sergahnya, "Kamu masa nggak ingat hari ini ada momen spesial apa?"

Aku mengambil napas, membalik badan menatap langit-langit kamar. "Wajib ya buat aku beri jawabannya sekarang?"

"Ya wajib, dong. Ini kan pertanyaan yang mudah."

Suaranya sudah mulai resah. Tapi kantukku juga makin menggelisah.

"Ne," panggilku halus. "Semalam aku kerja sampai jam dua belas malam. Kamu tahu sendiri kan bos yang satu itu keras kepalanya gimana?

"Ditambah lagi, kamu tahu juga, kan, Spanyol main semalam. Mereka kan tim favoritku. Ya aku jadinya nonton dan aku baru sempat tidur satu jam yang lalu. Jadi, maaf kalau aku nggak bisa.."

"Semalam aku juga nonton Spanyol kok, Don," potongnya cepat dengan nada menaik. "Lengkap dengan aku yang memakai jerseynya, bertuliskan nama pemain favorit kamu."

"Nah, ya sudah, berarti kamu kurang tidur juga, Ine.."

"Tapi, aku masih ingat kalau hari ini itu hari apa. Aku juga ngantuk, Don. Tapi seenggaknya aku masih ingat."

"Bukan begitu, Ne. Maksud aku.."

"Kamu itu sebenarnya keterlaluan, Don. Dari kita pacaran, sebenarnya kamu tuh nggak pernah ingat sama hal-hal yang spesial di antara kita. Aku kira kebiasaan itu akan hilang setelah kita menikah, tapi nyatanya?"

Aku bangkit dari posisi tidurku, beranjak duduk dengan mata yang masih meruyup.

"Ya sekarang mau gimana? Kamu bisa telfon aku satu jam lagi. Aku benar-benar mengantuk."

Aku tahu, di ujung sana Ine sedang merutuk-rutuk kesal. Tapi rasa kesalku karena jam tidurku yang mendadak kacau juga tak berhenti menyulut.

"Nggak, nggak perlu," ucapnya, "aku cuman mau bilang, selamat deh atas satu skor kemenangan Spanyol atas Belanda. Selamat bersenang-senang, Doni."

Telepon itu terputus.

Aku menggeleng-gelengkan kepala heran. Cepat, aku meletakkan ponselku di atas rak dan kembali menarik selimut.

Urusanku dengan kantuk memang belum usai. Letih masih mau memijit-mijit keningku hingga pulas. Tetapi sayangnya, celotehan Ine-lah yang masih belum minggat dari telingaku.

Entah mengapa, kalimat 'satu skor kemenangan Spanyol atas Belanda' terus mendengung. Merangkai irama. Membuat batas tidurku menipis, dan aku dibuat tersembul ke permukaan.

Spanyol menang atas Belanda?

Spanyol memang mencetak satu skor tetapi...

Spanyol menang atas Belanda?

Keningku berkeringat.

Lalu... Skor 5-1 yang kutonton tadi malam itu apa?

Pertandingan menyedihkan yang kusaksikan semalam itu benar-benar menyedihkan atau bagaimana?

Bukankah skor 1-0 Spanyol dengan Belanda terjadi... Empat tahun yang lalu?

... pada Final Piala Dunia 2010?

Sekejap, kedua mataku terbuka. Kudapati aku dengan selimut yang membungkus tubuhku dan bajuku yang basah karena keringat. Aneh. Bali seharusnya tidak sepanas ini.

Menyadari apa yang baru saja terjadi, aku segera bangkit dan melempar selimut ke sofa. Kunyalakan teve, lalu mencari-cari berita olahraga.

Dan hasilnya, aku sukses dibuat terbelalak tak percaya.

"Belanda Berhasil Menggilas Spanyol 5-1"

Aku dibuat menganga, diikuti dengan aksiku yang menyambar ponsel di atas rak di samping ranjang.

Kunyalakan ponselku dan di sana kutemukan jawabannya.

04:27 AM
Saturday, June 14

Aku tersenyum pada tanggal manis yang tertera di sana. Kuteriakkan rasa syukur pada mimpi yang sekelebat lewat. Tidak akan kubiarkan kejadian tahun itu kembali terulang tahun ini.

Karena aku berani bersumpah, istri mana yang tidak senang jika sang suami ingat dengan tanggal hari jadi pernikahan mereka?

Aku segera menekan kontak Ine, menunggu dengan girang saat nada panggilan muncul, dan senyumku merekah lebih lebar saat sebuah 'halo' kecil muncul di sana.

"Ne."

"Ya?"

"Ehm, selamat hari jadi lima tahun pernikahan kita, ya. Semoga kamu selalu betah sama aku. Maaf kalau baru tahun ini aku ingat sama tanggal 14 Juni ini," aku menggaruk-garuk kepala. "Duh, maaf. Bagus, nggak, sih, bahasa yang kupakai?"

Tak lama, kudengar ia tertawa. "Kamu sukses membuat aku tertawa sampai menangis di pagi-pagi begini, Don," dia mengambil jeda, "Kesambet apa kamu sampai ingat hari jadi pernikahan kita? Baru pertama kali lho, ini."

Aku tersenyum lega. Ah, jadi begini rasanya? Jadi begini rasanya memberi banyak cinta lewat sapaan di pagi hari?

"Kesambet apa?" Aku membeo ucapannya. "Kukira itu semua terjadi karena satu skor kekalahan Spanyol atas Belanda tadi malam, Ne."

Dia tertawa kembali, membuat aku dengan pagiku menjadi sangat berbahagia.



***

932 kata, tulisan ini diikutsertakan dalam #fiksibanguntidur @KampusFiksi

2 komentar:

  1. Bagus.... Bikin cerita tentang anak sekolahan dong :D

    BalasHapus
  2. Hahaha, ya, pasti kalau ada ide bagus lewat.

    Thanks, ya.

    :)

    BalasHapus