Untuk mengenang kelas saya tercinta, 8D.
Pameran Filateli Dunia
18 Juni 2012
***
Walau nggak pernah bertemu, yang jelas saya butuh waktu.
Klise, memang. Namun itulah satu-satunya
jawaban yang sering Zea lontarkan kepada setiap orang. Kepada setiap kerabat.
Kepada setiap tetangga. Kepada setiap manusia yang menjulurkan tanya : “Ze,
nggak berminat cari pendamping hidup, gitu?” Dalam benak Zea, waktu tak lebih
dari sebatas menengok jam tangan bila ada yang bertanya, lalu mencerna ke mana
arah jarum pendek dan panjang mengacung. Atau, tak lebih dari letak dan posisi
matahari bergantung. Bulan yang bertakhta. Kapan jam tidur yang cocok untuk
kembali berkelana. Jam makan. Waktu pameran prangko maupun buku. Semuanya.
Semua hal-hal yang bersifat mengendap pada masa kini, namun tak sekali-kalinya
ia ungkit kumpulan urusan di zaman depan. Termasuk, urusan jodoh.
Usia Zea sudah menjejaki tiga puluh. Sudah
banyak waktu yang terbuang untuk berdiam, berjalan, berlari, hingga bergemuruh.
Namun, kebahagiaan belum juga bersimpuh. Hingga Zea hampir saja melupakan apa
definisi ‘cinta’ yang membuat banyak orang luluh. Tetapi, bukan berarti usaha
Zea luput dari lumpuh. Zea tetap berusaha, menerjang semuanya, menyingkirkan
keluhan masyarakat yang tak berarti, namun... ia selalu berpikiran : Jangan
pikir hanya kita yang membutuhkan waktu. Tetapi, waktu juga membutuhkan kita
untuk meragukan sesuatu.
Klise lagi? Kali ini–menurut Zea, tidak. Ia
bisa bernapas lega karena Rene Descartes pernah mengungkit persoalan ini. De
omnibus dubitandum. Segala sesuatu sudah sepatutnya diragukan. Sudah
seharusnya segala sesuatu harus dipertanyakan. Termasuk, kehidupan. Menurutnya,
untuk apa memaksa bahagia datang bila kebahagiaan itu sendiri belum sepenuhnya
siap? Untuk apa segera membina rumah tangga bila keuangan masih menjadi
persoalan basi? Untuk apa memiliki anak bila tak ingin postur tubuh membengkak?
Semua itu, semua pertimbangan itu, terkuak satu demi satu, seiring mengarusnya
waktu.
“Ze, kita harus banget ngantri sepanjang
ini?”
Kelopak mata Zea terbuka. Keramaian kembali
menyergap mata. Sejauh mata memandang, kumpulan manusia bermantel tebal sambil
menenteng semacam album, berarak-arakan seperti awan. JCC kembali dipadatkan
berbagai perbincangan asing. Aneka bahasa memencar di sana-sini. Zea
mengerutkan kening. Lagi-lagi, di tengah hiruk pikuk filatelis seluruh dunia,
dia harus terjebak oleh pertanyaan bodoh seorang pria bernama Doni.
“Harus lah,” sahut Zea pendek. Tatapan
matanya menyorot Doni tajam. “Don, kita akan mendapat sebuah stempel prangko
kerbau yang bersejarah. Prangko ini adalah prangko yang diluncurkan pada zaman
kemerdekaan. Nanti, saya akan mendapatkan prangko bergambar kerbau yang sedang
terbelit rantai. Kamu tahu apa artinya? Itu melambangkan kondisi Indonesia yang
baru saja bebas dari jeratan penjajahan. Lagipula... memangnya kamu punya
sesuatu hal yang bersejarah? Nggak, kan? Ya sudah, nikmati saya antrian panjang
ini.”
Doni menghembuskan napas berat seraya menaikkan
kacamatanya sedikit ke atas. Ia kembali sibuk kepada Nikon yang tergantung di
lehernya. “Terserah kata kamu deh, Ze. Sekarang, mending saya foto kamu dulu,
ya. Buat kenang-kenangan, Ze.”
Belum sempat kamera Doni memendarkan cahaya
silau, tangan Zea sudah lebih dulu menyergap halus lensa kameranya. Dengan
tatapan sinis, Zea berdengus kesal. “Untuk apa foto saya? Mending kamu foto
stempel prangko yang sebentar lagi akan saya dapatkan, ya.”
Doni terdiam. Tak lama, bibirnya memberengut.
Kameranya menurun tertahan. Sedangkan Zea, menyengir sambil terkikik pelan. Zea
tak menyangka jalinan pertemanannya dengan Doni bisa berjalan sebegini lamanya.
Mengingat koneksi pergaulan Zea yang sangat terbatas, atau banyak orang menyebut
dirinya mengidap anakronisme koneksi. Mudah remuk. Buruk. Lapuk. Suntuk.
Zea juga tak mengerti. Mengapa hubungannya
dengan Doni yang sebatas teman bicara dapat mematahkan penamaan bodoh itu.
Pertemuan yang berawal dari Australia 99, sebuah pameran filateli dunia
yang diadakan di Melbourne itu dapat memutar siklus kehidupan Zea sangat drastis.
Karena semenjak pertemuan itu, Doni, seorang fotografer sekaligus jurnalis yang
saat itu hanya kebetulan berada di pameran filateli tersebut dapat menjadi
teman akrab Zea. Bahkan, ke manapun Zea berkelana ke berbagai negara untuk
memenuhi album filateli yang tak Doni paham. Yang tak Doni mengerti.
“Ze, mengapa kamu itu seorang filatelis, sih?
Saya nggak nyangka bisa punya teman yang sebegini gilanya sama kumpulan prangko
kayak kamu. Beneran,” ujar Doni, menatap mata Zea yang masih menelisik ke arah
mesin stempel di ujung sana.
Mendengar itu, Zea mendelik tajam. Ia
menaikkan album prangkonya, mendekap lebih erat album penuh cerita itu. “Sok
banget, kamu. Kalau saya bukan seorang filatelis, kamu nggak akan ketemu saya,
tahu.”
“Ya ampun Ze, sinis amat, sih. Saya hanya
bingung, di tengah banyaknya perempuan-perempuan yang menggumuli versi baru LV,
mondar-mandir keluar Zara, mencari lipstik warna-warna cerah, kamu, dengan anehnya mendekap album prangko
yang usang itu, pergi ke berbagai negara, hanya untuk mengumpulkan sebuah
prangko. Sebuah kertas penanda yang sering dilihat di surat-surat!” cerocos
Doni panjang. “Sumpah, Ze. Empat tahun saya dekat sama kamu, saya belum ketemu
jawaban itu sampai sekarang.”
Zea tertawa. Tergelak keras di depan muka Doni
yang hambar akan ekspresi. “Hei, kamu tuh jadi teman saya nggak perlu mencari
tahu apa-apa.”
“Tetapi saya selalu terbuka sama kamu, Ze.
Itu masalahnya.”
Tawa Zea menyurut. Pandangannya kembali
mengeras, pendar netra yang selalu Doni kenal. “Don, bukannya saya pernah
cerita sama kamu, ya? Bahwa penyebaran prangko di Indonesia itu sudah sampai...”
“Saya nggak butuh jawaban itu, Ze. Jawaban
itu sudah saya hapal di luar kepala. Bahwa penjualan prangko di Indonesia sudah
lebih dulu terkenal ke luar negeri. Lebih dulu dimiliki dibandingkan
rakyat-rakyatnya. Keluh kamu tentang prangko Naga Air, prangko yang dicetak
pada saat imlek sudah kamu terangkan kepada saya. Bagaimana 90% prangko buatan
negeri kita lebih dulu sampai kepada filatelis di negara lain. Bagaimana
senangnya kamu dengan berkurangnya minat rakyat untuk mengirim surat, sehingga
filatelis gila kaya kamu nggak perlu bersusah payah mencari prangko hangat yang
baru dicetak. Ya, kan? Dan kamu benar-benar ingin menjadi filatelis-filatelis
seperti itu, yang menyabet prangko milik negara lain tersebut lebih dulu
dibandingkan rakyat-rakyatnya,” jelas Doni mulus. Berhasil membuat bibir Zea
bungkam, hanya sanggup menetaskan cengiran tak berarti.
“Tuh, kamu sudah tahu, Don. Jadi, untuk apa
saya menjelaskan...”
“Saya jadi ingin menjadi sahabat satu-satunya
yang terbaik buat kamu, Ze. Mengingat... ya itu, tadi. Kehidupan kamu tuh
seperti sudah disesaki penuh sama prangko-prangko di album usang kamu. Oleh
perjalanan kamu mengejar edisi prangko lama maupun baru. Tetapi, saya hanya
peduli sama kamu, Ze. Bagaimana masa depan kamu? Bagaimana urusan-urusan kecil
hidup kamu? Saya jadi bingung, kamu itu menyisihkan sebagian dari otak kamu
untuk hidup kamu sendiri, nggak sih?”
Zea tercenung. Udara tampak memadat,
menjejali tenggorokannya yang tercekat. “Don...”
“Come on, Ze. Saya selalu siap menjadi
tempat sampah yang baik bagi kamu.”
Sorot mata Zea mendadak mencair, menatap
kedua bola mata Doni lamat. Berkali-kali ia mengambil napas panjang, agar
tangis tak meluber lebih dulu daripada kata-kata. Zea membeku, tak tahu harus
memulai dari mana.
“...Ze?”
Zea menunduk lemas, menatap album
perjalanannya. “Saya hanya ingin kelihatan sebagai manusia yang hidup, Don.
Bukan sekadar raga yang berjalan.”
Doni berbalik terdiam. Memandang Zea yang tak
seperti Zea.
“Banyak orang bilang, di usia saya yang
ketiga puluh, saya seperti sampah. Malu-maluin keluarga saja karena belum juga
menikah. Belum juga memiliki pendamping. Tetapi... saya harus bagaimana, Don?
Saya selalu terkepung oleh waktu, terjejali berbagai pertimbangan yang membuat
saya ragu. Yang membuat saya sulit untuk mengambil langkah dalam hidup saya,
sulit mengambil keputusan dalam batin saya, dan semakin saya pikir... hidup
saya serasa kosong, Don. Hambar tanpa tujuan. Walaupun saya sudah berpersepsi
bahwa hidup saya sudah dituliskan di atas sana, saya takut keraguan saya ini
membawa rangkaian hidup saya menjadi ending yang nggak membekaskan
makna apa-apa. Nggak menyiratkan satupun kenangan buat saya.
“Oleh karena itu, saat saya berada di
Melbourne, saya menemukan hidup saya. Saya menyusun hidup saya kembali dari
nol. Saya memutuskan untuk menjadi seorang filatelis. Pengumpul
prangko-prangko. Saya membeli album prangko ini, dan saya bertekad untuk mengisi
album ini sepanjang waktu yang saya punya. Dengan berkelana ke berbagai negara.
Karena saat saya mengumpulkan prangko-prangko ini dari berbagai muara, saya tak
meragukan sesuatu. Justru, saya semakin penasaran ... di mana letaknya prangko
terakhir bagi saya, prangko yang membuat batin saya tak lagi berbicara, dan
membawa saya kepada dunia asal saya yang tak lagi saya ragukan. Hanya itu.”
Doni tertegun. Memandang album prangko yang
selama ini selalu menggandeng sahabatnya, mendekap tubuh sahabatnya,
menghadirkan berbagai tanya dalam benaknya. Doni menunduk, tak tahu harus
menjawab apa. Dia merasa kalah, bahwa album prangko lebih pantas disebut teman
terbaik untuk Zea. Bukan dirinya.
“Tapi kamu jangan keterusan menganggap saya
gila, Don. Album ini, kumpulan prangko-prangko ini hanyalah benda yang ingin
saya tunjukkan kepada suami dan anak saya, bahwa hidup saya juga pernah
berusaha. Bahwa saya juga pernah punya mimpi. Mimpi untuk melengkapkan album
ini, dan terus mencari definisi cinta yang tak membuat sedikitpun keraguan
dalam hati saya,” lirih Zea tak kuasa. Air mata menggenang di pelupuk matanya. “Ah,
saya jadi menangis, kan. Tak pantas untuk wanita berumur tiga puluh seperti
saya.”
“Maaf Mbak, Mas, jadi mau stempel prangko
kerbaunya?”
Petugas yang berada di samping mesin stempel
menyadarkan posisi mereka berdua. Zea segera menyeka air matanya, dan
menyerahkan selembar kartu putih kepada petugas berkumis itu. Setelah gambar
kerbau tercetak di kertas putih itu, Zea segera menyisipkannya ke dalam album
prangkonya.
“Dasar filatelis gila. Itu kan bukan prangko,
tapi stempel,” cetus Doni, menyunggingkan senyum.
“Bawel kamu, Don.”
Doni tersenyum puas. Ia senang sahabatnya satu
ini menuangkan kisah di balik prangko-prangko yang tak ia mengerti filosofinya.
Prangko yang selalu membuat jenuh dirinya. Namun, semua tanya telah terbalas,
bahwa dalam hidup Zea, jalan filateli-lah yang dapat menghadirkan cinta di hati
Zea. Meludeskan kata-kata dalam benak Zea. Karena Zea cuma butuh waktu. Dan
waktu sedang sibuk membutuhi Zea dalam meragu.
***
Mereka baru saja keluar dari gedung mewah
itu, dan mereka tampak bahagia sekali rasanya. Tawa mereka terumbar ke
mana-mana. Senyum mereka merunut simpul bahagia. Seolah lupa baru saja ada
tangis yang tercipta.
“Ze, mengingat soal meragu, pikiran saya
entah mengapa berlabuh pada perkataan Hamlet kepada Ophelia. Ragukan segala
sesuatu, tetapi jangan meragukan persoalan cinta.”
“Hamlet? Drama Shakespeare? Saya baru tahu
kamu baca hal-hal begituan.”
“Jangan meremehkan gitu dong, Ze. Tetapi,
ngomong-ngomong soal meragu, kenapa saya nggak pernah ragu ya untuk menemani
kamu ke pameran-pameran begini? Padahal untuk memotret berita yang lagi
hangat-hangatnya aja terkadang saya malas setengah mati. Aneh.”
Mendengar ucapan itu, hati Zea terhentak.
Segera ia membuka album prangkonya, dan melihat stempel prangko kerbau yang
terbelit rantai. Ia segera mendongakkan kepala, menatap wajah Doni di bawah
naungan renjana. Dan Zea mendadak sulit berkata-kata. Seolah berbagai keraguan
telah menyingsing hingga sirna. Hingga tak sanggup lagi untuk merongrong tanya.
Zea telah menemukan prangko terakhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar