15 tahun tersibak. 180 bulan merebak. 5.471
hari melesak. 131.304 jam mendesak. 7.878.240 menit tak tertolak. 472.694.400
detik tak terelak. Di mana kamu sekarang, manusia terimpit waktu yang sesak?
Jutaan napas yang telah kamu isap, mungkin
kini sedang menaikkan kumisnya. Puluhan waktu yang sudah lama kamu genggam,
mungkin kini sedang mencabut uban antara satu dengan yang lainnya. Wajah
buyutmu, kakekmu, nenekmu, mungkin sedang mengepung langkahmu dengan jutaan
pesona. Lalu, kini kamu bertanya-tanya : apa gunanya lilin-lilin yang menyala?
Hidup memang benar-benar seperti satu lilin
yang memercikkan api. Sekali kejap, sudah melahirkan asap yang berhembus
sepenuh hati. Kamu dapat melihat asap-asap itu meruap di horizon, mengusir
detik, mengibaskan acara, lalu menjejakkan memori, hingga tercengang-cenganglah
kamu di ujung bumi. Kamu benar-benar tak mengerti, mengapa satu momen yang
sekali melintas, begitu mudah melekat di hati. Dan di inti hati, kamu
bertanya-tanya : Apa gunanya lilin yang menyala bila suatu saat akan mati?
Lihatlah, tak ada bedanya asap dengan sebuah
memori. Mungkin terlihat lunak, namun padat berisi. Padat akan berbagai
situasi. Pasti kamu berpikir, asap padahal sebuah substansi yang gampang sekali
melahirkan benci. Dapat membuat orang-orang menggertakkan hati. Tapi,
rasakanlah ... saat asap menyepuhkan seringainya ke matamu yang tak mengerjap,
di situlah air matamu mulai menunjukkan inti. Asap tetap asap, dan memori tetap
memori. Tak selamanya kelam akan menyebalkan, tak selamanya gelap akan terus
mengikis hati. Karena, saat kamu menjentikkan satu jarimu pada gumpalan asap
yang sangat dibenci, di situ lah kamu bisa melihat asap yang mudah sekali
rapuh, mudah sekali lumpuh. Dan, itu tak ada bedanya saat kamu menjentikkan
jari untuk sebuah memori. Karena, kamu sama-sama telah menyentil hati.
Maka, di setiap detik yang kapan saja bisa
memenggal lehermu, berterima kasihlah kamu kepada sang Pencipta Waktu.
Bersyukurlah atas kebahagiaan yang telah menyatu. Berterima kasilah atas orang
tua yang dengan sangat mencintai kamu. Tunduklah kamu kepada waktu yang tak
jenuh menunggu. Kepada kitabmu. Kepada junjunganmu. Kepada anggota tubuhmu. Kepada
pagi. Kepada malam. Kepada udara yang bebas kau reguk. Kepada teman yang dapat
mengalirkan senyummu. Kepada guru-gurumu. Kepada nasi uduk yang setia menjadi
sarapanmu. Kepada air mineral. Kepada teknologi. Kepada laptopmu. Kepada Bill
Gates. Kepada penjerat sastra. Kepada pengenyam filsafat dunia. Kepada
Aristoteles. Kepada Kant. Kepada Euclid. Kepada Phytagoras. Kepada Pascal.
Kepada Gauss. Kepada Khawarizmi. Kepada Moivre. Kepada semua simpul yang
menggoyangkan bandul waktu, karena dia masih menjaga kamu, melindungi kamu...
dalam lilinmu yang perlahan memendek, menua, dan menuju kubangan hampa...
Akhirnya,
aku hanya bisa ucapkan, selamat ulang tahun bagimu yang ke-15. Tataplah langit,
dan pandanglah jutaan asap yang berarak-arakan menyerupai awan. Itu artinya,
mereka selalu bersedia untuk kau sentuh, untuk kau resapi, untuk kau pahami.
Betapa berharganya kumpulan waktu yang makin lama terasa seperti setetes air
yang menggelayut di ujung daun, dan perlahan jatuh ke tanah. Singkat, padat,
dan mudah berubah menjadi pipihan bias.
Jagalah lilinmu sendiri. Terbukalah dengan
waktu. Karena dalam udara yang berhembus cepat, lilinmu mudah sekali untuk
menggelapkan diri. Membungkam api sendiri. Hingga mati–hanya meninggalkan kumpulan memori.
Hadiah kecil untuk 15 tahunmu,
Sofwan Rizky
Tidak ada komentar:
Posting Komentar