Saya
tahu kamu butuh diam. Saya tahu kesedihan kamu sudah sepatutnya diredam.
Karena
apa, saya juga nggak sanggup melihat kamu menangis. Meringkuk sendiri, terisak
sendiri, tetapi secara nggak langsung hati saya juga ikut-ikutan meringis.
Kamu
tahu kenapa? Di saat jarak kita yang sudah tak mengenal angka, di saat
detik-detik bergilir tanpa makna, kamu meninggalkan saya dalam sebuah ruangan yang
khusus akan satu makna: kamu menangis.
Lho,
saya harus berbuat apa? Saya hanya bisa diam di kursi ini, berhadapan dengan
kamu yang menangis sendiri, dan saya nggak tahu apakah saya harus menenangkan
kamu, menggenggam tangan kamu, menghapus air mata kamu–saya tahu ini basi
memang, apalah asalkan kamu nggak begini.
Konyol,
ya memang. Saya selalu kebagian sisi pahit dari kamu. Saya juga nggak pernah
menyangka bisa sebegini relanya, bisa sebegini berkorbannya untuk perempuan
kayak kamu. Awalnya, saya giring kamu ke zona yang membuat kamu nyaman, saya
pertemukan kamu dengan cowok yang kamu idamkan, tetapi lihat, kamu kembali
kepada saya di saat kamu sudah mengakhiri itu semua. Ya, boleh deh kalian
semua anggap saya pengecut. Cibir saja saya sesuka hati. Hidup saya memang aneh
begini. Saya juga nggak tahu. Saya hanya ingin dia bahagia, makanya itu saya
perjuangkan. Tetapi... di saat dia sudah menangis begini, saya harus ... nah,
itu dia. Saya harus bagaimana?
Kini,
saya cuman bisa diam. Saya nggak tahu ini karena persepsi alamiah saya bahwa
kamu butuh diam, atau memang saya nggak bisa berkata apa-apa. Atau bahkan, saya
nggak bisa melawan lelaki yang sudah menyakiti kamu, yang sudah membuat kamu
menangis. Karena, semua itu kembali ke satu pertanyaan dangkal yang membuat
saya jauh lebih dangkal: saya cuman sahabat kamu tok. Saya berjuang
segede monaspun saya juga akan menjadi sahabat di mata kamu. Tapi, kalau saya
diam, sahabat macam apa saya, atau... patutkah saya disebut orang yang
mencintai kamu, yang ingin kamu tetap bahagia?
He-he-he,
kamu benar-benar sukses meninggalkan saya dalam kebisuan ini. Buktinya, otak
saya nyeletuk sana-sini kan, dilatari dengan adegan kamu menangis tersedu-sedu
saat ini. Kamu itu hebat, memang. Begini nih, yang buat saya bodoh di hadapan
kamu : pikiran saya tuh semrawut, tapi tindakannya nol. Saya nggak bisa buat
apa-apa di saat kamu menangis seperti ...
Eh,
tunggu. Siapa bilang? Saya bisa, kok. Saya bisa tenangkan kamu. Saya bisa
mengusir kesedihan kamu. Saya bisa membuat kamu melupakan lelaki itu. Asalkan,
kamu mau dengar. Sedikiiiit saja. Karena kalau banyak-banyak, pasti kamu bilang
saya basi. Atau, ‘ngambil quote siapa, lo?’. Jadi, izinkan saya, seorang
sahabatmu ini, berkata sama kamu ...
“Mel,
jangan nangis terus, dong. Makin jelek masalahnya.”
Dan
saat kamu mendengar itu, perlahan-lahan kamu mendongakkan kepala, dan terbitlah
satu senyum kecil di sana. “Sialan lo.”
See? Saya bisa,
kan?
Karena
apa, saya nggak akan pernah bangga bila saya bisa menangisi seorang
perempuan. Tetapi, saya akan bangga, bila suatu saat saya bisa membuat perempuan berhenti
dari tangisnya.
Dan, dengar ini,
saya rela bila selalu menjadi orang yang membuat kamu berhenti menangis, Mel. Sumpah.
Boleh, ya?
Selesai
Pause. Ini curhat sedikit saja, ya. Pertama-tama, saya maaf sekali jarang update blog ini karena apa, padatnya kehidupan anak kelas 9 SMP. Try out, ulangan, ujian praktek, duh, mendingan nggak perlu diteruskan. Jadi, mumpung hari-hari santai begini, ruang ide saya entah mengapa serasa kepenuhan. Dan anehnya, ide-ide itu bisa dibilang lain dari sebelumnya. Entah karena efek bosan, saya jadi mencoba sekaligus menghibur kebosanan saya dengan menulis genre Metropop. Saya nggak tahu, apakah Monolog Lelaki sudah dikatakan berhasil, soalnya ini genre Metropop yang pertama kali saya buat. Kalau dibilang sulit, jelas. Sulit dalam arti membuat bacaan yang mengalir, dan nyaman untuk dibaca. Dan ... ya, Monolog Lelaki ini sukses mengobati kebosanan dan keletihan saya dalam menjalani kehidupan kelas 9 SMP ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar