Khusus hari ini, saya menulis sebuah kisah kecil. Mendadak, sih, tetapi senang saja bisa menulis cerita untuk Indonesia. :D Walau terlalu panjang, semoga tetap bisa dinikmati.
Selamat membaca! ;D
***
17
Agustus 2012
Dalam satu ruangan yang lengang,
mereka masing-masing beriak tenang. Ada satu yang termangu di depan jendela,
ada yang mengetik, ada juga yang sedang mengusutkan kening saat melihat Koran hari
itu. Dirgahayu Indonesia Ke- 67.
Kartini menyengir santai, walau
hatinya terasa terbahak puas. Indonesia
masih hidup? “Kawan, Indonesia hari ini berulang tahun!”
Jemari Cut Dien berhenti
bergerak. Mungkin, ia tersentak. Bersikap kalem, membenamkan matanya yang
terbelalak. Ia memutar punggung, bertatap mata dengan Kartini. “Indonesia berulang
tahun?”
Pattimura yang sedang duduk
termenung pun terlonjak. “Benarkah? Indonesia masih bertahan?”
Kartini mengangguk lemas, tanpa
daya.
“Apakah wajahku masih tertoreh di
uang sepuluh ribu?” tanya Cut Dien mendesak, seiring dengan nada bicaranya
yang hampir tersedak. Bergetar, juga gentar.
“Sayang, belum ada Koran khusus
untukmu, ya. Sehingga kau tidak perlu ketinggalan zaman begitu,” Kartini
mendelik tajam ke arah Cut Dien, melipat tangan di dadanya. “Wajahmu sudah lama
lenyap dari uang sepuluh ribu. Sekarang, uang Indonesia satu itu sudah berganti
tokoh, sekaligus warna. Sultan Mahmud Badaruddin yang memantau di sana. Ingin
mengadakan survei, katanya. Ia ingin mengecek, apakah ada kejujuran yang
disekap jauh-jauh di depan hadapan uang sepuluh ribu?”
Cut Dien tertawa. Ia kembali
meneruskan ritual mengetiknya. “Baguslah, kalau begitu. Sungguh, aku
benar-benar tak nyaman bila wajahku ada di sana. Bukan begitu, Thomas?”
Pattimura melirik Cut Dien. Nama
aslinya terselip dalam kalimat tersebut. “He? Ya, begitulah. Walau wajahku
termasuk dalam uang seribu, tetapi tetap saja. Banyak juga kok, orang yang
menyelewengkannya.”
“Duh, sudah hentikan. Aku nggak tega
mendengar perbincangan kalian. Indonesia pasti sekarang sudah ambruk, sudah
sekarat. Tetapi lihat saja, Indonesia sudah di ujung ambang, masih saja ada
yang menyambitnya berkali-kali. Bisa jadi, pecutan itu lebih perih dibandingkan
malaikat pencabut nyawa,” ujar Kartini, menundukkan wajahnya lesu.
“Aku juga merasakan hal yang
sama. Indonesia dulu dengan Indonesia sekarang memang berbeda. Aku jadi sedih,
mengingat bagaimana aku memperjuangkannya dulu.” Tutur Cut Dien hambar.
“Maksudnya, kau menyesal, begitu?”
sergah Pattimura, dengan tekanan nada di setiap kata.
Cut Dien hanya menghela napas
berat. Entah mengapa, saat ‘Indonesia’ berkelebat di benaknya, jemarinya
mendadak kelu. Sulit untuk kembali mencium bibir mesin ketik. “Bukan begitu,
Thomas. Aku hanya sedih, apakah ada manusia sekarang yang memperjuangkan
Indonesia seperti kita dulu?”
“Zaman sudah berbeda. Kini, cuman
segelintir orang yang menganggap Indonesia bukanlah hanya tempat berpijak.
Tempat hidup. Mereka lebih memilih, memanfaatkan Indonesia untuk berbagai
bisnis, merebut segala sumber daya yang tertanam. Dan itu benar-benar mengerikan.
Mereka tidak tahu kalau Indonesia itu hidup. Indonesia itu ada. Ia melihat. Ia
juga merasakan. Betapa sakitnya menahan cekikan warganya setiap hari. Bahkan,
setiap menit.”
Keheningan pun perlahan
membungkus mereka menjadi satu. Hanya kolaborasi napas sendu yang berbaur,
menggeliat masing-masing. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Nama mereka
sudah terlanjur dikenang. Senjata bambu mereka sudah tumbang. Mereka hanya bisa
berdoa. Bagaimana peperangan saudara terjadi kini.
Tiba-tiba, pintu ruangan itu
terbuka. Mereka semua terkesiap. Pattimura, bergegas berdiri. Ia menyipitkan
mata. Dan dalam sedetik, sebuah senyuman terbit di bibirnya. “Bung Karno! Bung
Hatta!”
Tinggallah Cut Dien yang terjebak
penasaran. “Benarkah? Itu mereka?”
Kartini tahu, ada yang tak beres.
Ia menyipitkan kedua bola matanya, meneliti sosok yang hadir di belakang
punggung kedua tokoh proklamator itu. “Tunggu, siapa itu?” jemarinya menunjuk
sosok yang masih menjadi bayang hitam.
Bung Karno dan Bung Hatta, dengan
wajah lesu dan lemas, melangkah masuk, dan mereka menjawab dengan lirih. “Dia...
Indonesia.”
***
Pattimura membawa beberapa kursi,
mempersilakan ketiga tamu itu untuk duduk. Saat ia mempersilakan Indonesia
untuk duduk, entah mengapa hatinya serasa teriris pilu. Ngilu. Melihat
bagaimana sosok Indonesia yang sudah tua, mau duduk saja begitu susah. Kulitnya
yang sudah mengeriput, tampak lemah, tertindas oleh borok dan luka di
mana-mana.
“T-terimakasih, Thomas.”
Indonesia mendongakkan kepalanya, menunjukkan wajah reotnya, tetapi masih
sanggup-sanggupnya ia memancarkan senyum kehangatan. Dan senyum itu membuat
Pattimura bergidik. Pundaknya melemas. Ia tak kuat bila terus-terusan berdiri.
“Ehem, ya. Ternyata, kalian sudah
berkumpul lebih dulu. Baguslah, kalau kalian masih berinisiatif. Merasa
terpanggil, ya?” ujar Bung Karno, menyudutkan sedikit tawa, walau itu terasa
begitu pahit. “Oh, ya. Kami membawa Indonesia ke sini. Dia sedang berulang
tahun hari ini. Karena katanya, dia kangen. Dia rindu orang-orang seperti
kalian.”
Kartini tersedak. Dia segera
menutup matanya, menampung butir air matanya yang menandak rontok. Ia terisak
sesak. Tubuhnya tergoncang goyah. Dia tak kuat. Dia tak sanggup. Setelah sekian
lama ia tak bertemu dengan Indonesia, dan saat waktu mempertemukan mereka, ia
mendadak... iba. Bagaimana ia melihat
tubuh Indonesia yang semakin kurus, hanya kulit tipis seperti selembar tisu
yang membekap tulang, luka-luka bersebaran di mana-mana, pundak yang bobrok,
wajah yang seperti meleleh, semuanya. Kartini tak sanggup melanjutkannya lagi.
“...Ya, mungkin kalian kaget.
Mungkin kalian sedih. Tetapi, begitulah keadaan Indonesia kini. Begitulah yang
Indonesia bendung selama ini. Tubuhnya yang kecil, semakin ringkih menampung
kejahatan-kejahatan yang tercipta. Kejahatan-kejahatan yang memuncak tinggi,
sehingga tubuh mungil Indonesia pun sudah tak sanggup mencegahnya lagi,” jelas
Bung Karno.
Pattimura mengambil napas
panjang, menjadikan kumpulan oksigen itu seperti sebuah kompensasi yang
mengiringi matanya. Matanya menangkap pemandangan yang begitu miris. Indonesia
benar-benar tampak menderita. “Ehm, ya, Indonesia. Sudah lama, ya, kita tidak
berjumpa lagi.”
Indonesia kembali tersenyum,
menunjukkan matanya yang pecak sebelah. “Ya, sudah lama sekali, ya.”
Pattimura diam membisu. Bulu
tangannya merinding kompak. Ia tak tahu harus melanjutkan apa lagi. Namun, ia
tidak bisa menahan pertanyaannya terlalu lama. Sehingga, ia terlanjur
menumpahkannya. “Indonesia, mengapa matamu pecak sebelah?” tanyanya gugup.
Sedangkan Indonesia hanya
menengadahkan wajah, memegang matanya yang pecak itu. “Oh, ini.” Ia berkata
singkat, senyumnya belum juga mengempis. “Ini karena banyak rakyat miskin yang
menderita, Thomas. Banyak tangis yang bergulir dari mata-mata mereka. Sehingga,
ya begini. Karena setiap mereka menangis, aku juga menangis, lebih parah malah.
Setiap mereka terisak, bahkan aku tak sanggup bernapas. Setiap mereka bangun di
pagi hari dengan mata yang bengkak... ya, mataku pasti sudah seperti ingin
loncat keluar. Aku tak kuat melihat mereka seperti itu.”
Pattimura menautkan alisnya,
Indonesia benar-benar tidak seharusnya mendapatkan siksaan begitu perih. “Bukannya
rakyat-rakyat miskin yang sering membuat ulah, ya?”
Indonesia terkekeh kecil, “kehidupan
sekarang sudah terjungkir balik, Thomas. Kaum-kaum proletar yang menuntut, yang
memberontak di mana-mana itu tak separah mereka yang sedang merajalela di dunia
atas. Mereka gemertak, karena yang kaya pun juga semakin merebut hak-hak
mereka. Merampas standar kemampuan mereka.” Indonesia menelan ludah pahitnya, “kaum-kaum
miskin limbung karena mereka kehilangan arah. Harga-harga bahan pokok hidup
yang naik membuat mereka tersungkur. Mereka tak lagi bisa mengikut pasrah
terhadap muara negara. Mereka kehilangan tujuan. Karena... ya, tujuan mereka
hidup cuman bahagia. Mereka nggak muluk-muluk untuk memiliki mimpi. Masih bisa
makan aja sudah bersyukur. Dan parahnya, kini hak makan mereka saja sudah
terebut oleh tangan-tangan jahil kelas atas.”
“Bukankah kita kaya SDA,
Indonesia?” Pattimura menuangkan keheranannya lagi. Kartini sudah roboh,
menangis-nangis histeris di pelukan Cut Dien. Kesedihan telah menohok
jantungnya, mungkin.
Indonesia tiba-tiba melihat
tubuhnya yang cungkring, tipis, dan itu terlihat begitu miris. Namun, masih
sempat-sempatnya saja ia untuk menyunggingkan cengiran kalem. “Inilah yang
membuat badanku remuk, Thomas. Badanku tak sanggup menopang bagaimana manusia
bergantung penuh terhadap uang. Ya, selembar kertas itu. Uang seolah
menggantikan peran Tuhan. Kini, banyak mereka yang lebih takut miskin dibanding
takut mati. Bukan hanya bagi kaum miskin, tetapi yang kaya pun sama. Uang
berlimpah-limpah yang mereka dapat bukan membuat mereka bersyukur. Itu semakin
membuat mereka tak puas.
“Jadilah, mereka merekrut
orang-orang desa dengan janji-janji manis. Dan alhasil, mereka tergiur. Mereka
lebih memilih ke kota yang menjanjikan dibandingkan di pedesaan. Lalu,
ambruklah kita dalam urusan pertanian. Tahu, tempe, pun kena imbasnya.
Bagaimana kedua objek itu, tahu dan tempe, hal yang seharusnya sudah bisa kita
kuasai –melihat kesuburan alam kita, menambah tersuruknya negaraku. Tahu
Sumedang saja mungkin sudah tidak asli Sumedang. Manusia-manusia lebih memilih
ke tempat-tempat yang ‘uang’nya menjanjikan. Kelas atas pun mulai memperbudak
mereka dalam sebuah proyek besar-besaran. Dan, proyek mereka pasti tak luput
dari peranku, Thomas. Secara tak langsung, tambang, timah, kekayaan yang
kupunya pun raib secara perlahan. He-he, kau bisa lihat lah bagaimana tubuhku
bisa setipis ini.”
“Seolah-olah uang menggiring kita
kembali kepada kapitalisme.”
“Memang sangkar yang paling tepat
untuk uang hanya itu, kan? Dalam sangkar itulah kita bisa melihat, bagaimana
yang kaya semakin kaya. Dan semakin terpuruklah negaraku dalam soal ekonomi.
Apalagi, kini uang sudah bermutasi menjadi berbagai hal, mulai dari kartu ATM,
saham, bunga, dan sebagainya. Padahal, uang pun bukan satu-satunya sasaran yang
bisa kita salahkan. Uang hanya medium. Hasrat kitalah yang menghantarkan kita
kepada hal-hal tak diinginkan. Sebut sajalah yang sedang eksis, korupsi. Duh,
duh, duh, banyak sekali sekarang manusia yang merenggut hak-hak orang lain
lewat uang. Ada yang korupsi lewat jalur pajak, bahkan Al-Quran pun juga
menjadi salah satu satu korbannya. Jika sudah begitu, kesengsaraan akan
menjalar ke mana-mana, sampai ke akar-akarnya–tak lain dan tak bukan, rakyat
miskin.”
Saat rentetan kalimat diucapkan
oleh Indonesia, Cut Dien segera menyerobot, “ada kalanya kita harus kembali ke
zaman barter. Lewat barter, kita tak butuh mata. Kita hanya butuh rasa percaya.
Kita tak perlu melihat-lihat bagaimana besarnya barang yang akan kita dapatkan
atau betapa kecilnya barang yang akan kita rengkuh. Tetapi, bukankah itu begitu
indah, di kala manusia saling membutuhkan?”
Indonesia tersenyum tipis, dan ia
tertawa. “Dalam konteks uang pun sebenarnya kita bisa menemukan keindahan, Cut
Dien. Tetapi, ya itu masalahnya, hasrat kitalah yang menjebloskan kita ke dalam
lubang penuh maki.”
Cut Dien terdiam. Ia lebih
memilih mengelus punggung Kartini yang masih menangis.
Bung Hatta pun akhirnya
berceletuk, “dan saya bingung juga. Mengapa mereka terlalu senang bergumul
dengan uang, bila di akhir kehidupan, sekali renggut, habislah sudah?”
Mendengar pernyataan itu,
Indonesia kembali terpingkal pelan. “Gaya bicaramu seperti Mephistopheles saja.”
Bung Hatta mengernyitkan kening,
kedua alisnya menyatu, “Apa itu? Jenis nyamuk?”
“Bukan, bukan. Hanya seorang
tokoh dalam karya Goethe, Faust.”
“Tetapi, jika direnungi,
pertanyaan yang dilontarkan Bung Hatta ada bagusnya juga bila dipikirkan.
Sepertinya manusia berkomplot dengan kawanan uang untuk mendapatkan kepuasan
diri. Bukankah bila kita kaya, kita akan bangga? Kita bisa membanggakan diri?”
“Thomas, jika mereka setelah kaya
akan benar-benar mati, di mana tempat mereka membanggakan diri?” tandas Bung
Karno tegas.
Percekcokan itu pun dijawab
santai oleh Indonesia, “di akhirat nanti, mungkin.”
Cut Dien pun segera memotong, “Hih,
kalau di surga nanti segala doa bisa dikabulkan, salah satu doaku adalah semoga
waktu tak mengizinkan mereka menyombongkan kekayaan mereka.”
Kartini yang sejak tadi mematung
pun akhirnya berceloteh. Ia menyeka air matanya, memeriksa tenggorokannya yang
sejak tadi tercekat. Setelah itu, ia mulai bicara. Dengan nada goyah. “Aku
hanya sedih melihatmu, Indonesia. Bagaimana sekarang umurmu sudah 67 tahun,
tetapi kau tetap saja rela menahan pedih. Rela menjadi tempat pelampiasan
kejahatan mereka. Kukira, setelah aku pergi, akan ada generasi di zaman maju
yang akan membahagiakanmu. Membuatmu bangkit kembali. Tetapi kenyataannya?
Orang-orang itu hanya memperburuk keadaan.”
Cut Dien pun mengangguk, “aku
juga salut kepadamu, Indonesia. Perjuanganku untuk membelamu tak sia-sia. Walau
kondisimu sekarang yang sedang hancur, namun kau tetap menjadi Indonesia yang
kukenal. Kubanggakan.”
Pattimura pun ikut berujar, “manusia
zaman sekarang tak seperti yang kuharapkan. Bahkan, bila Tuhan mengizinkanku
untuk bangkit lagi, aku rela untuk memperbaiki keadaanmu, Indonesia. Aku
benar-benar mencintaimu. Amat teramat sangat.”
Bung Karno dan Bung Hatta ikut
manggut-manggut, Kartini turut menggerakkan kepalanya yang tersandar di pundak
Cut Dien.
Mendengar pengakuan itu,
Indonesia terenyuh. Ia memercikkan sedikit senyum rapuh, namun tetap menguatkan
mereka semua. Ia meletakkan tangannya di dada, dan berkata lantang, walau
akhirnya menjelma menjadi bisik-bisik halus, “aku benar-benar merindukan orang
seperti kalian. Sangat rindu. Asal kalian tahu.”
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar