Kembali lagi! :D Merasa mempunyai hutang dan ditagih keras oleh waktu, saya akhirnya angkat tangan. Memungut satu kata demi kata, menyerahkannya pada tangan yang terus menengadah. Tangan apa? Tangan panjang berwarna putih polos. Kertas.
***
Ah, itu dia! Kardus-kardus bekas!
Matanya
merona seketika. Menghunus sebuah benda di seberang jalan. Layaknya filem
dengan sebuah kilat yang terus melewat. Kendaraan terlalu cepat sehingga
membuyarkan semuanya.
Kakinya
mulai melangkah tanpa ragu. Sekilas senyum mengiringi langkah kecilnya.
Berbinar memanah kumpulan kardus-kardus tak bermajikan itu.
Sebuah
mobil dari arah jauh melaju dengan cepat. Berlomba dengan cahaya, bunyi dan
gerombolannya. Termasuk, langkah kecil Mimi.
Mimi,
yang terlalu asyik dengan penemuannya tak peduli soal itu. Tak ada longokan, tak
ada tengokan. Pasrah dengan apa yang akan menghantamnya. Bertaruh, kardus itu
lebih penting dari nyawanya.
Mobil
semakin dekat, tetapi tidak ada antisipasi. Mimi terus berlari kencang, sama
seperti mobil tadi, yang akan menghadangnya.
Benar
saja, selang dua detik, teriakan sudah membahana. Menggores luka yang pedih
terhadap mata. Pemandangan pilu sudah bisa mengiris hati para manusia yang
melihatnya.
***
Di
Rumah Sakit, Budi benar-benar goyah. Dia benar-benar tidak terkendali. Keringat
dingin sudah menetes hingga jatuh tak terhitung. Perasaan takut sudah bergetar
kencang, membunyikan lonceng hatinya.
Mimi, Mimi, Mimi.
Nama
yang terus terngiang di telinga Budi. Sejak tetangganya mengabarkan bahwa Mimi
mengalami kecelakaan, hatinya tidak terus berhenti berceloteh. Buih-buih mata
sudah siap di belakang panggung. Opera menyedihkan akan segera disibak,
berlatar sebuah fiksi yang belum diungkap.
Kini,
dia sudah berada di samping adiknya yang terbaring lemas. Matanya mengatup,
senyum tak lagi muncul. Sejumlah harapan terus bermunculan di tengah tangis
yang sangat menyesakkan hati.
Bangun Mimi, bangun.
Tak
henti ia merapal kalimat sejenis itu. Berkali-kali, hingga kalimat itu seperti
menjelma menjadi mantra, menjadi napas baru yang menembus tubuh adiknya, hingga
Mimi menggerakkan tangannya dan matanya terbuka dengan sangat berat.
“Kak…”
Budi
mendongak pelan. Wajahnya ingin sumringah, tetapi entah mengapa tidak bisa.
Tangannya langsung menghampiri tangan Mimi. “Mimi…”
Dengan
gerakan mulut yang berat, Mimi mengucap, “Kak, tolong jaga bumi, ya. Mimi nggak
yakin, Mimi bisa mengabdi lebih lama,”
Budi
menganga, menggeleng-geleng. Tangisnya mengucur dengan spontan. “Nggak, Mimi.
Kamu itu kuat, kamu bisa menjalani semua ini, Mi,”
Mimi
mencoba tersenyum simpul, menyebarkan keindahan. “Mimi ingin yakin, namun
rasanya susah, Kak. Mimi hanya sadar, bahwa misi kita itu kekal, sedangkan Mimi
tidak,”
“Mi,
kamu itu pernah bilang, kamu ingin menjalani misi dengan giat, kamu pernah
bilang kamu mau menjadi alien Mars yang baik. Kamu masih ingat, kan? Kamu masih
mau seperti itu, kan? Kamu harus bangkit, Mi. Kakak nggak bisa berdiri
sendirian,” Tangisnya semakin menyesakkan pita suara. Tercekat dalam segenggam
kesedihan. Kesedihan yang sama seperti saat ingin kehilangan ayahnya. Ayahnya,
yang merangkai semua cerita ini dengan indah, hingga dirinya dan adiknya
percaya, bahwa semua itu benar adanya. Percaya bahwa dirinya adalah makhluk
asing yang diturunkan di bumi dengan sejumlah misi, menyelamatkan bumi dari
bahaya. Dirinya tahu, itu konyol. Itu fana. Tetapi, dia percaya. Sangat
percaya.
...Budi, ayah ingin bilang sekali
lagi, rawatlah bumi seperti kamu mencintai hidup. Kamu hanya cukup berpikir,
zaman masih membentang luas. Generasi Mars masih menunggu di belakang. Kita,
alien-alien kecil hanya cukup menjalani misi dengan sebaik-baiknya. Mars sangat
sayang kepada Bumi, Budi. Ketauhilah.
Mimi
tersenyum kecil, “Mimi bukan alien, Kak,”
...Nanti, jika ayah lebih dulu
kembali ke Mars, meninggalkanmu dan adikmu sendirian, tak usah khawatir. Kamu
tinggal menurunkan rahasia hidup ini kepada adikmu dan berkata: sayangilah bumi
seperti Mars menyayangi Bumi. Bilang kepadanya, kita adalah alien ajaib, bukan
manusia biasa. Jangan mengungkap cerita ini terlalu cepat, Budi. Karena adikmu
pasti akan mengetahuinya lebih cepat. Jangan cemas.
“M...Mimi?”
“Mimi
itu manusia biasa, Kak. Mimi sama seperti manusia lainnya, berpijak di tanah,
lahir di bumi dengan menembus rahim masing-masing,” Mimi mengambil napas
panjang, berusaha untuk kuat dalam mengutus kata-kata. “Tetapi tak ada yang
salah, Kak. Cerita fiksi itu benar-benar membuat kita kuat, sekaligus berbeda,”
Saat dia beranjak dewasa, dia
akan mengetahui segalanya. Dirinya akan menyadari, cerita ini akan membuat kita
berbeda. Cerita belaka dari Ayah ini akan menguatkan jalinan kalian. Ini yang
akan menopang hidup kalian, percayalah.
Budi
menyeka air matanya, terharu melihat drama yang akan segera berakhir ini.
Cerita yang akan berwujud dalam butiran debu hingga berbaur dengan luasnya
udara. Tak memandang arah.
“Cerita
ayah membuat Mimi lebih mensyukuri hidup, Kak. Cerita ayah yang membuat Mimi
kuat di balik segala keterbatasan,”
“Tapi,
Mi. Mimi jangan tinggalin Kakak lebih dulu. Kita harus menjalankan misi ini
sampai selesai. Bumi masih butuh bantuan kita, Mi. Masih banyak orang-orang
jahat di bumi ini,” Budi semakin terisak tangis. Dia benar-benar tidak siap
menutup semua lembaran cerita ini.
...Sampai pada saatnya, kita
memang harus menutup lembaran cerita ini semua. Karena jika kita sudah membuka,
kita harus berani untuk menutup, Budi. Tak usah cemas, penutup tak selalu
mengerikan. Alien-alien yang diutus Mars masih tetap ada di luar sana. Masih
ada orang yang bersifat layaknya penghuni Mars. Tak usah khawatir, Budi.
Budi
menangis dengan derasnya. Dia merasakan atmosfer yang sama saat memori-memori
mengingatkannya kepada perbincangan empat mata dengan ayahnya, saat kematian
sedang mendekat. Namun dirinya tak lagi-lagi siap. Menutup semuanya. Dia belum
siap.
Mimi
menggerakkan tangannya dengan berat, menatap mata Budi yang sudah penuh dengan
air. “Kakak jangan nangis. Mimi yakin, Kakak masih bisa menjalani misi walau
tanpa Mimi. Mimi yakin, kok, soalnya Kakak selalu ikhlas menjalani hidup. Walau
hanya terus memungut sampah, tetapi Kakak ikhlas. Itu yang buat Mimi yakin,”
“Mimi...”
lirih Budi dengan membalas tatapannya. Tatapan lurus dengan menegaskan
kata-kata.
“Maafkan
Mimi belum sempat memberi kenang-kenangan untuk Kakak, ya. Namun Mimi hanya
ingin titipkan kepercayaan kepada Kakak. Mimi serahkan peran Mimi dalam misi
ini untuk Kakak,”
Budi
tidak bisa lagi berkata-kata. Terbata-bata pun tidak. Hanya tangis yang
menjelaskan semuanya.
“Kak,
sayangilah bumi seperti Mars menyayangi Bumi. Ubahlah bumi menjadi planet yang
indah. Bahagiakanlah seluruh manusia di muka bumi. Karena Kakak, tak pernah
sendiri. Mimi dan Ayah, akan memantau Kakak dari teropong di planet Mars,”
Tiba-tiba
napas Mimi mulai sesak. Jantungnya bertalu tak beraturan. Tenggorokannya
tercekat dengan keras. Sebuah ruh akan direnggut pada saat yang bersamaan.
Meninggalkan raga yang sudah menjadi teman lama.
Mata
Mimi mendelik, mengucap dengan tergagap-gagap, “...Kak, tolong jaga bumi,
ya...”
Tatapan
kosong Mimi berubah menjadi mata yang menutup. Kepalanya terbaring lemas dengan
senyum yang mencerah. Wajahnya menampakkan senyum bahagia dalam sebuah
perpisahan yang manis.
Budi
teriak diiringi tangis yang semakin membanjir, menggenggam tangan Mimi dengan
erat. Membelai rambut panjang adiknya yang sangat ia puja. Lagi-lagi dia harus
kehilangan orang yang ia amat sayangi.
“Ya,
Mimi. Kakak selalu ingat. Selalu,” Budi memeluk tubuh adiknya erat dengan air
mata yang terus mengalir di tebing pipinya.
Dia
pun mendekatkan bibirnya ke telinga Mimi, berharap adiknya masih bisa mendengar
sebuah bisikan cinta terakhir darinya.
“Kakak
janji, Mimi. Kakak janji. Kakak, akan menjadi agen Mars yang bisa membahagiakan
bumi, manusia, dan kamu,”
Budi, waktu memang terus
berperan. Perlahan, alien-alien akan kembali ke planet asalnya. Tapi tak usah
khawatir, kau jalankan saja misimu dengan sebaik-baiknya. Karena kami, akan
selalu menontonmu dalam teropong Mars yang amat jauh, namun dekat di hati.
...Selamat menjadi agen Mars,
Budi.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar