Dear
Atlas,
Sudah
lama aku tidak menulis. Sudah lama pula otakku serasa digedor-gedor namun tak
kunjung kuputar kuncinya agar terbuka. Aku merasa telah menjadi manusia yang
sok sibuk, meninggalkan salah satu ritual yang selalu menyajikanku kewarasan
dalam sebuah takaran yang pas. Dan kini aku serasa lupa bagaimana caranya untuk
memulai suatu paragraf yang baik, ataupun mengorek-ngorek diksi yang dulu
sering kupakai untuk menghiasi sebuah kalimat. Aku menjadi jarang membaca, Goodreads Challenge-ku benar-benar
terlantar. Aku menjadi jarang menonton film, ataupun mengecek IMDb untuk
sekadar memberi bintang pada film yang sudah kutonton setiap harinya. Dan kini
saat hal-hal itu mulai menyeruak, mereka semua menyergapku dalam satu
pertanyaan besar: Gila, aku ini kenapa?
Jumat
kemarin dosen kimia dasarku menjelaskan tentang teori Le Chatelier pada bab
Kesetimbangan Kimia. Dia berkata bahwa konsep itu bukan hanya terjadi pada
suatu sistem, tetapi manusia juga bisa merasakan hal yang sama. Zona nyaman
yang sudah kita diami selama ini bisa kita sebut sebagai kesetimbangan, dan
saat satu gangguan datang, kita akan berusaha mencari kesetimbangan baru dengan
perubahan seminimal mungkin.
Aku
pun mulai merunutnya satu-satu. Aku telah menyelesaikan pendidikanku di SMA
(yang bisa dibilang dua tahun itu merupakan suatu perjalanan yang cukup gila),
dan kini titelku berubah menjadi seorang mahasiswa teknik yang dunianya berubah
signifikan. Yang dulu menuju sekolah hanya menggunakan satu Metromini, kini aku
harus menuju kampus dengan menempuh empat belas stasiun lewat Commuter Line.
Berdesak-desakan dengan para karyawan yang beradu dengan waktu kerja, dan
berbagi letih dengan mereka lagi saat jam pulang mulai berlaku. Waktu luang yang
dulu kusisihkan untuk sebuah bacaan dan film, kini waktu yang berharga itu
kugunakan untuk tidur dan mengistirahatkan tubuh. Satu jam lebih yang kutempuh
di dalam gerbong kereta kugunakan dengan merebahkan kepala lalu menutup mata.
Sampai
pada suatu waktu aku merasa bahwa kesemrawutan ini sudah semakin akut. Ranselku
rasanya semakin berat karena keluh dan resahku sendiri. Diimpit seperti
sekantung ikan teri dari Kebayoran hingga Tanah Abang, lalu berlomba-lomba
layaknya lari marathon dengan para karyawan untuk berganti kereta tujuan Bogor
saat transit di Tanah Abang. Mengucap syukur bila mendapat duduk, atau hanya
bisa mengumpulkan napas saat harus menahan lutut hingga stasiun Universitas
Indonesia. Kalau keseharianku yang seperti ini disorot dan bisa kamu tonton di
televisi–gila, aku ini miris sekali, kan?
Pagi
itu sebelum kusampirkan tas di pundak dan menutup pintu kamar, aku berbalik
badan dan menilik rak bukuku sendiri. Rasanya seperti bertemu kawan lama yang
tak pernah saling bertegur sapa. Dari situ, kuambil satu buku berjudul Madre karya Dee Lestari yang merupakan
salah satu buku penggerakku untuk menulis blogku sendiri, yakni Dapur Sampah. Selama
di kereta, dengan tangan kanan yang mengait pada pegangan, aku mulai membaca
buku cerpen dan prosa tersebut. Aku memulai dengan cerpen Madre, yang bercerita
tentang Tansen, seorang pria berambut gimbal yang bergelut dengan sebuah ragi
bersejarah. Lelaki ini gemar menulis blog, sebagian kisah hidupnya setelah
bertemu dengan ragi roti itu ia tuliskan di sana.
Dan,
ah, membaca buku itu membuatku lupa akan waktu.
Tepat
saat aku tiba di stasiun tujuan, aku merasa diriku terpanggil lagi. Untuk
mencari buku mana yang patut kubaca, mencari review orang di Goodreads, ataupun
mulai menulis lagi.
Diriku
yang sekarang lahir dari berbagai jenis bacaan dan film. Dan yang kurasa,
bacaan dan film ini-lah yang mampu memapahkanku menuju ketenangan dari
keletihan ini.
Semenjak
saat itu, aku selalu membawa bacaan untuk menemaniku selama perjalanan di
kereta. Baik dalam bentuk nyata, maupun e-book
yang kumasukkan di handphone-ku
sendiri. Sesekali aku membuka notes untuk
menulis. Menulis apa saja yang hadir di benakku; mulai dari pemandangan yang
kutangkap lewat jendela kaca, orang-orang di sekelilingku, ataupun kereta yang
tertahan menunggu sinyal masuk Manggarai.
Hingga
pada suatu titik, aku memutuskan untuk segera membuat blog baru. Blog dengan
namaku sendiri, yang berisikan fiksi yang kubuat atau sekadar racauan mahasiswa
biasa yang sebenarnya nggak penting-penting amat. Pada malam sebelumnya, aku
membaca ulang beberapa post di Dapur Sampah dan rasa ingin untuk menulis itu
kembali menetas. Dan pada malam berikutnya, aku pun merangkai blog baruku ini,
dengan nama:
Yah,
mungkin memang belum seberapa. Masih ada beberapa hal yang perlu kubenahi,
namun belum terealisasikan karena lagi-lagi terantuk jadwal kuliah dan tugas
yang makin menumpuk. Tetapi setidaknya, hal ini sudah mendonasikan kebahagiaan
yang besar untuk diriku sendiri. Telah kutemukan obat kewarasan yang paling
ampuh saat pikiranku sudah mulai serabutan.
Atlas,
bertemu dengan suatu hal yang kamu cinta tidak akan melahirkan rasa bosan.
Justru dengan rasa cinta itu akan terbentuk satu rahim yang membuat dirimu
nyaman, baik dalam diam yang menenangkan maupun ramai yang menyesakkan. Cintai
dirimu sendiri. Setidaknya hal itu bisa membuatmu yakin bahwa semua akan
baik-baik saja, bahkan timbul satu rasa untuk menyebarkan cinta dan kebaikan
yang sudah kamu miliki.
Dan
aku telah menemukan kesetimbangan baru yang disebut-sebut oleh dosen kimia
dasarku tadi.
Jakarta, 29 November 2015
S.